Proposisi Kesenimanan

Kesenimanan adalah berbagai macam laku hidup atau tugas kreatif dan atau kerja-kerja kesenian yang merujuk pada perannya sebagai manusia di antara manusia lain, dalam hal ini akan disebut-dibicarakan, selaku seniman teater, aktor-kreator, teaterawan maupun dramawan, yang berkarya dan yang mencipta, dengan segenap daya hidup dan kesadaran bahwa teater, adalah suatu operasi sosial di tengah masyarakat, sekaligus upaya komunikasi sosial melalui medium seninya itu.

Bagi saya penjelasan kesenimanan itu kemungkinan dapat melingkupi sebagian dari pengertian serta peran atau laku seniman teater. Mula-mula ia memahami dan mengerti apa yang dialaminya itu maupun apa yang menjadi konsern penciptaannya, seniman teater lalu menunaikan latihan demi latihan dengan merasakan (apa yang ia pahami dan timbul dari pengertiannya itu), dan kemudian menggarap (hal ihwal yang telah dialami, disadari, plus dihayati dalam penciptaan dan pemanggungan teater). Dengan perbekalan dari mengalami, menyadari, menghayati, memaknai, menggarap, dan ditambah sisi lain pula ada keterlibatan, keterampilan, serta kemampuan dalam merumuskan keadaan sekaligus memberi aksentuasi pada persoalan yang diangkatnya, dan kesemua hal ini merupakan proses pergulatan seniman teater menjalani tugasnya dalam penciptaan dan pemanggungan.

Sepanjang tahun 2024 lalu, saya mengalami sekian banyak menonton pertunjukan, dan teater kita masih melayani segala bentuk “penyesuaian” dengan dunia imajinasi penonton saat ini. Sehingga teater harus dicocok-cocokkan dengan kenyataan hidup, atau sekedar menyanggupi permintaan relevansi lainnya, meskipun memang sah-sah saja (dalam proses/kegiatan kreatif), tapi persoalannya untuk apa, sebab ini sudah lumrah dalam keseharian hidup. Jadi, dengan atau tanpa teater, semestinya hidup memberi makna, dan tugas manusia adalah menjadi manusia.

Ada kecenderungan yang mencolok dalam sejumlah teater yang telah saya tonton, bahwa hampir keseluruhan muatan-muatannya berasal dari “akibat-akibat” atau “dampak-dampak”, dan bukan penggalian atas “sebab-sebab” dengan segala pembayangan penciptaan “sebab” yang mungkin bernilai pada suatu nanti. Akibatnya, banyak di antara lakon-lakon teater yang memproyeksikan kenyataan hidup sebagai peristiwa teater lebih dulu, di atas segala-galanya. Segala hal yang merupakan akibat-akibat serta dampak-dampak itu, semuanya dapat tempat di atas panggung dengan berbagai olahan perspektif yang matang. Sudut pandang boleh “lain daripada yang lain”, tapi pertimbangan atas variabel faktor lainnya juga dibutuhkan dalam penyikapan dan penanggapan. Sehingga, kegelisahan yang berangkat dari data-posisi-imajinasi, selain sebagai upaya mengungkapkan permasalahan sosial yang terabaikan dalam masyarakat, juga dimunculkan untuk mempertanyakan hubungan subjek antara tubuh, identitas, dan keinginan.

Barangkali, di situlah letak (atau posisi) estetika yang berkemungkinan mengguncang jalannya tatanan yang timpang. Estetika ditujukan untuk mengusik atau mengganggu, mengungkap kontradiksi atau represi dalam budaya dominan, semacam provokasi terhadap tatanan yang dimapankan. Sehingga estetika ini akan menempuh ujian berbagai tantangan dan rintangan di lapangan kebudayaan suatu masyarakat; diskursif antara penerimaan dan penyangkalan.

Teater yang konsern dengan kompleksitas permasalahan sosial bukanlah teater yang menyalin kenyataan di atas panggung, melainkan teater yang menanggapi dan memproyeksikan nilai-nilai yang justru berada di luar teater, sebagaimana terjadi dalam politik maupun ekonomi yang menciptakan tatanan simbolik yang mapan atau sistem nilai budaya dominan tertentu yang mendangkalkan nilai-nilai kesenian.

Estetika teater bukan sekedar meningkatkan kesan indah. Begitupun tujuan teater bukan semata-mata penyampaian informasi, melainkan lebih dari itu juga dapat menumbuhkan pengalaman/kenikmatan estetik. Pengindah teater berkenaan dengan “bentuk pemanggungan” dan berkenaan dengan “makna penciptaan”. Aspek ini dikenal pada kerja-kerja seniman teater—yang bukan sekedar menuruti permainan estetika belaka, tetapi menguak apa yang seringkali diabaikan atau ditekan oleh wacana dominan. Estetika yang bergairah menjelajahi apa yang tersembunyi atau tidak terkatakan dalam suatu masyarakat, akan lebih menggali ekspresi yang tidak disadari dari ketegangan dalam struktur simbolik, sekaligus mengacaukan “imajinasi” yang seringkali menopang tatanan simboliknya.

Dengan demikian, seniman teater memang berada di jalan yang rawan, yang penuh resiko, karena minatnya mencari presisi dalam memahami arti dan tanda-tanda, serta gejala-gejala dalam pemanggungan dan penciptaan yang dirasanya perlu, dan harus diakrabi lagi. Sehingga kesenimanan menjadi usaha yang aktif untuk mengakrabi diri di dalam pergaulan hidup dan menempuh penelitian panjang hidupnya sendiri. Afirmasi sekaligus negasi dari proposisi kesenimanannya tercermin dalam orientasi karya-karyanya pada kemungkinan untuk restrukturisasi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi pemaknaan simbolik.

Tugas seniman teater adalah bagaimana membayangkan “sebab” atau “estetika” tandingannya itu diuji dalam pergolakan tata nilai kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Substansi laku seniman teater bukanlah kapitalisme, melainkan gerakan nilai. Kapitalisasi dalam kesenian hanyalah masalah teknis ekonomis dari kemungkinan sebagai akibat, sedangkan fundamental perjuangan keseniannya ialah memelihara keindahan hidup dengan gairah transformasi diri, transformasi sosial, transformasi rohani, dan kesetiaannya dalam menyangga nilai-nilai hidup manusia.

1-2 Januari 2024

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos