Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku

Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku

Hujan masih belum reda, dan hari ini benar-benar seperti tak ada matahari.

Sebuah pesan dari email matahari.as.mentari@gmail.com datang ke emailku yang ternyata sudah kuterima sekitar seminggu yang lalu. Maklum, aku mengecek email tidak tiap hari. Kadang, aku lupa bahwa aku punya email dan bisa berkomunikasi lewat email itu.

Di pesan itu, Mentari menginginkan sebuah pertemuan terakhir denganku. Katanya, aku harus mengabulkannya sebagaimana dua tahun lalu itu dia mengabulkan permintaan yang sama dariku. Sebelum kuiyakan, kubalas pesan email itu dengan: bukankah pertemuan terakhir kita pernah terjadi dua tahun lalu di Pojok Cafe? Jika kau meminta pertemuan terakhir juga, maka pertemuan dua tahun lalu bukanlah pertemuan terakhir. Itu berarti kau belum mengabulkan permintaanku, maka yang dinamakan pertemuan terakhir itu takkan pernah terjadi.

            Aku mengetik pesan itu sambil tersenyum.

            Ternyata, tak membutuhkan waktu yang lama, dia kembali membalas emailku: Kalau begitu, mari kita tunaikan keinginan pertemuan terakhirmu dan pertemuan terakhirku malam ini. Pojok Cafe. 21.00. Setelah itu, aku pastikan akan melupakanmu.

            Aku tersenyum membaca balasan email dengan ketikan kaku–tidak seperti yang selalu kubaca darinya via pesan Whatsapps, dulu. Entah mengapa, kurasakan perasaan yang campur aduk saat membaca email itu. Yang pasti, ada sedikit rasa rindu yang kubayangkan akan terbayar lunas, sekaligus rasa bersalah yang menghantui karena sudah dua tahun, aku meninggalkannya–sama sekali tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya. Tapi, aku juga merasakan sedikit rasa kecewa karena sebelum-sebelumnya banyak rumor bahwa dia telah memiliki kekasih baru. Juga, aku merasakan seperti ada pisau yang menghujam dadaku ketika dia bilang akan melupakanku. Sepertinya, aku masih menginginkannya.

            Sambil menyenderkan badanku ke kursi kerjaku di kantor, aku menghela napas. Kusandarkan belakang kepalaku ke dekapan tanganku. Sepertinya, aku harus menyiapkan kata-kata pertamaku ketika kembali bertemu dengannya. Tentu juga aku harus menyiapkan hati, perasaan, dan pikiranku untuk segala kemungkinan yang akan terlontar dari mulutnya. Kemudian aku melihat ke arah jendela dan seingatku, hujan benar-benar belum berhenti dari pagi tadi. Matahari pun belum menyambangiku lewat jendela itu seperti biasanya. Mungkin malam ini, pikirku, sambil kubalas email itu dengan kata bahwa aku akan datang.

***

Telepon genggam Mentari berbunyi. Tertulis nama kontak di sana: Bunda Telkomsel.

“Kenapa tidak kau angkat saja? Kuperhatikan sudah beberapa kali ibumu menelpon. Barangkali penting….” kataku di suatu malam, dua tahun lalu, di balkon Pojok Cafe.

“Ya. Yang paling penting bagi ibu, akhir-akhir ini, adalah pernikahan. Kutebak, dia meneleponku sekarang hanya untuk membahas itu. Sungguh!” Dia menengok ke arah jalan raya, yang di sana, mobil masih ramai berlalu lalang. “Aku masih muda!”

“Mungkin bagi ibumu, kau sudah siap. Matang. Dua puluh sembilan tahun adalah umur yang kelewat pas.” kataku.

“Aku belum siap! Apa lagi jika lelaki itu bukan kau, Mas.”

“Kalau aku siap, kau mau menikah denganku?” Kataku merayu.

“Haruskah pertanyaan itu ditanyakan padaku?”

“Kadang pernikahan bukan tentang siap atau tidak siap, Sayang. Orang bilang, pernikahan adalah perihal takdir dan jodoh. Jika sudah ditakdirkan jodohmu datang hari ini, tak ada yang bisa mengelaknya.” kataku sambil meneguk habis sisa Matcha yang telah mendingin.

“Bagaimana jika takdir jodohku, ternyata bukan kamu, Mas?” tegas Mentari sambil memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Dengan tangan gemetar, dia memegang tanganku, kemudian dia menunduk. Dia menangis dan air matanya jatuh.

Kulepaskan tanganku dari genggamannya. Kupegang pipinya dan kudongakkan wajahnya ke arahku. Kuusap air matanya dari pipi merona itu. “Matahariku, cahayaku. Jangan sia-siakan air matamu untuk lelaki sepertiku. Kau harus tahu, di hidupmu, air mata sebening berlian ini lebih berharga ketimbang aku!”

Isaknya masih kudengar. Dia melihatku dengan penuh iba. Kadang, aku tak mengerti jalan pikiran dan perasaan wanita dihadapanku ini. Dia terlalu percaya bahwa denganku, dia akan bahagia.

“Andai saja ibu mengerti bahwa kau adalah kebahagiaanku, Mas, terlepas siapapun dirimu di matanya.” katanya perlahan sambil menahan isak.

“Inilah yang tak kumengerti darimu, Sayang. Mengapa kau begitu yakin bahwa aku bisa membahagiakanmu?” Aku diam sejenak ketika tatapan matanya begitu tajam ke arahku. Mungkin ada yang salah dengan perkataanku. Tapi, kurasa itu harus diperjelas. Aku takut ekspektasinya terhadapku akan hancur sesudah menikah nanti. Itu pun jika kami benar-benar ditakdirkan berjodoh.

“Tentu saja aku yakin! Apa kau yang tidak yakin bahwa aku akan memberikan kebahagiaan, Mas?” Aku merasakan aura yang keras kepala dari perkataannya. Aku sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia, dengan seriusnya, mengulang-ulang pertanyaannya. Sampai akhirnya kupaksakan untuk mengucapkan hal yang selama ini kupendam dan kusembunyikan darinya.

“Itulah yang dijelaskan ibumu padaku waktu itu.” kataku pelan.

“Kapan? Apa yang dikatakannya padamu? Perihal bahwa kau tidak akan bisa membahagiakanku?” mukanya terlihat kesal sekali. Dia ambil Latte itu dan dia teguk habis. “Kau tahu ibuku, kan? Jika dia sudah melihat sesuatu dengan gelap mata, dia tidak akan pernah melihat kebaikan itu lagi! Dan si brengsek yang harus kuakui sebagai ayah itu telah menggelapkan matanya, menggelapkan akal sehatnya kepada hampir setiap lelaki!”

“Kuyakin, semua ucapan dari ibumu itu sangat berdasar dan beralasan. Dia wanita berpengalaman soal pernikahan, Sayang! Mungkin….” pembicaraanku dipotong. Aku mengerti apa yang harus dilakukan seorang lelaki ketika menghadapi wanita dalam keadaan seperti ini: diam.

“Mungkin yang salah adalah pengalaman pernikahannya yang gagal! Itulah alasan yang cukup mendasar baginya. Aku sering kali diceramahinya soal lelaki. Katanya, lelaki yang kau percaya dan kau cintai bukanlah yang terbaik, dan itu terbukti pada ayahku. Dia sangat percaya bahwa yang namanya cinta itu membutakan akal sehat dan mengeruhkan pikiran yang jernih. Sebagaimana hal yang terjadi padanya tiga puluh tahun lalu. Seorang wanita yang terbius dan membuatnya melihat segala hal dari lelaki yang dicintainya sebagai hal baik, sekalipun itu hal buruk.

“Belum lagi, ibuku begitu percaya bahwa kegagalannya dalam pernikahan itu dipengaruhi oleh kepercayaan nenekku tentang kisah Dyah Pitaloka. Dia sangat bersikukuh kalau hancurnya rumah tangganya juga diakibatkan karena ibuku tidak mendengarkan peringatan nenekku alias tidak mempercayai mitos itu. Bagian lucunya, itu juga yang dibesar-besarkan sebagai kekhawatiran atas hubungan kita, Mas. Sungguh kolot, kan!

“Yang terpenting, kita bukanlah mereka. Kuperjelas bahwa aku bukanlah ibuku, dan kau bukan ayahku! Jalan kisah hidup mereka tak bisa disamakan dengan kita, Sayang! Aku percaya bahwa jika kita menikah nanti, kebahagiaan itu akan datang menyambangi kita. Kebahagiaan akan menyelimuti kau dan aku, juga anak-anak mungil-lucu yang lahir dari rahimku!”

Aku tertegun mendengar semuanya. Semua penjelasannya sangat membuatku tak ragu untuk memilihnya sebagai pasangan, sebagai istri dan ibu dari anak-anakku kelak. Aku membayangkan bahwa di rumah kami yang walau kecil dan sederhana, berkumpul semua kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu akan dimulai ketika setiap bangun tidur di pagi hari, kulihat dirinya masih memeluk tubuhku. Kemudian, beberapa waktu kemudian, tangisan kencang dari bayi-bayi kami akan meramaikan suasana rumah, meskipun kutahu itu akan merepotkanku pada awalnya.

Suatu sore nanti ketika bayi-bayi itu sudah menjadi anak-anak yang menyebalkan, aku bisa melihat dirinya marah-marah karena mereka susah untuk makan. Atau kericuhan pagi hari ketika dia takut anak-anak telat ke sekolah, sementara anak-anak belum mandi dan sarapan, tapi malah masih menonton kartun di televisi. Dia akan mengomeliku ketika handuk bekas mandi kutaruh di atas tempat tidur, membuat seprai tempat tidur jadi basah dan lembab. Belum lagi, dia akan menceramahiku soal bagaimana cara yang benar mengambil baju dari lemari agar tidak jadi berantakan dengan dalih bahwa cara itu adalah cara terbaik menghargai istri yang susah payah menyetrika pakaian-pakaian yang menumpuk setiap harinya. Juga, setiap hari Minggu, dia akan memintaku tetap bangun pagi untuk ikut bersih-bersih rumah, dan kau tahu, pasti saat itu aku masih mengantuk dan merasa kesal, tapi tak berani mengomelinya.

Di suatu liburan sekolah nanti, bersama dia dan anak-anak, beberapa tempat wisata dalam kota dan di luar kota akan kami masukan kedalam daftar liburan kami. Anak-anak pasti akan senang jika diajak berkemah, bermain di curug, ke tempat hiburan, ke mal, atau sekadar memasak frozen food yang telah disiapkan di depan rumah. Kami akan posting semua hal itu ke media sosial kami untuk memberitahukan kepada siapapun, termasuk ibunya, bahwa kami bahagia. Sangat bahagia meski masih berupa bayang-bayang.

“Kau ingat, kan, sebuah cerita dari Chinua Achebe yang pernah kukatakan padamu? Nnaemeka dan Nene bisa melewati pernikahan mereka dengan tanpa kehadiran orang tua yang punya pemikiran kolot, seperti ibuku! Mereka bahagia bersama anak-anak mereka, dan orang tua berlakulah selayaknya orang tua. Mereka tinggal menyaksikan kebahagiaan anaknya dengan tanpa ikut campur! Ingat, Mas, Marriage is a Private Affair! Kita bisa seperti mereka!” Lanjutnya, tapi aku masih diam dengan bayangan-bayangan itu.

Kemudian, aku tiba-tiba berdiri dari tempat dudukku. Tanganku menarik tangannya untuk ikut berdiri. Kami berpelukan dan air mataku menetes. Tubuhnya yang pada awalnya kaku-keras karena emosi, langsung lemas. Tangannya membalas pelukanku. Sementara hujan mulai turun, dan kami meninggalkan Pojok Cafe dengan satu ucapan terakhir dalam pelukan itu, “Sudah larut malam, cafe ini akan tutup. Aku juga tak mau membuat ibumu khawatir.”

Setelah itu, kami pergi dengan tanpa satu patah pun kata keluar dari mulutku, juga mulutnya. Mungkin dia berharap ada kata-kata terakhir dariku setelah mobilku sampai untuk mengantarnya ke depan pintu gerbang rumah ibunya itu. Kamu tahu, perasaanku saat itu terlalu berkecamuk sehingga aku bahkan tak sempat memikirkan untuk mengucapkan selamat malam atau salam lainnya. Tapi, air mataku menetes setelah dia menutup pintu mobil.

***

            Ingatan tentang dua tahun itu terbayang kembali saat aku menunggu kehadiran Mentari malam ini di tempat yang dijanjikan. Dadaku berdebar, aku tak yakin jika rangkaian kata maaf yang kusiapkan akan berhasil kukatakan padanya. Aku juga tak yakin dengan siapnya aku, jika ternyata dia datang bersama seorang lelaki yang telah menjadi suaminya. Apalagi mereka datang bersama anak-anak lucu yang menggemaskan. Kurasa, sakitnya hatiku ketika itu lebih dari sekadar tembakan jarak dekat ke arah dadaku. Ya, Tuhan, bagaimana ini? Apa aku pulang saja dan kembali mengecewakannya setelah dua tahun berlalu?

            Orang-orang, satu persatu, telah meninggalkan cafe. Malam pun semakin larut seiring puluhan lagu telah kudengarkan. Tak biasanya, hampir setiap menit, aku selalu membuka email. Barangkali ada kabar terbaru darinya tentang pertemuan malam ini. Tapi, apa hakku mengharapkan kabar dari seseorang yang bukan siapa-siapa? Aku memang sebuah lelucon bahkan bagi diriku sendiri.

            Sampai akhirnya tulisan ini hampir selesai kutulis, dan pelayan itu sudah mengatakan terkait close order dan waktu tutup cafe tinggal lima belas menit lagi, dia tak datang. Entah apa alasannya, yang pasti, kecewanya aku karena dia tak datang malam ini, sepertinya setimpal dengan perasaan kecewa yang dialaminya saat perpisahan kami dua tahun lalu. Segeranya aku berkemas meninggalkan cafe dan keinginan bertemu Mentari, kuakhiri saja tulisan ini dengan kata-kata: hujan di pipiku begitu deras, dan hari ini, matahari yang benar-benar telah melupakanku sama sekali tak menyambangiku.