Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku #2

Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku #2

*Baca Cerita Sebelumnya: Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku


matahari.as.mentari@gmail.com
Bogor, 1 Febuari 2025
Tertanda: Mentari

Maaf, Mas, pertemuan yang aku janjikan 3 hari lalu di Pojok Cafe batal aku tunaikan. Tentu aku punya alasan untuk menjelaskan ini padamu. Mohon kamu bersabar untuk membacanya, sebab pesanku ini akan cukup panjang.

Sekali lagi aku minta maaf, Mas, karena ingkar terhadap janjiku sendiri. 3 hari lalu, tepat pada malam ketika aku hendak menemuimu, tiba-tiba aku mengalami guncangan batin, entah mengapa. Namun yang pasti, bukan karena aku tak ingin bertemu kamu. Sungguh, malam itu aku sudah siap untuk berangkat. Aku sudah berdandan. Aku bahkan sudah memakai gaya busana kesukaanmu: baju kebaya berwarna hitam, rok batik bermotif kawung, sepatu pantofel hitam, dengan gaya rambut Butterfly Cut, dan bahkan gincu berwarna merah jambu……

Di kamar, sambil terbata-bata aku menghela napas panjang dan menunda untuk membaca surat darinya. Kututup aplikasi email dan kusimpan ponselku di atas meja. Aku termenung sebentar. Tak lama lalu merobohkan diri di atas kasur. Mengapa email itu datang, padahal aku tak pernah mengharapkan akan mendapat email kembali dari Mentari. Sejak malam itu, ketika ia tak menemuiku di Pojok Cafe, ketika ia ingkar terhadap janjinya, aku sudah merelakan segalanya, termasuk perasaanku terhadapnya.

Sengaja aku menunda untuk membaca keseluruhan surat darinya. Tapi entah mengapa, rasanya aku seperti tak sanggup untuk membaca keseluruhan suratnya itu, tak sanggup mengetahui apa alasan dia untuk ingkar terhadap janjinya. Seperti suasana langit pagi ini mendung + berawan, tanpa kilau hangatnya matahari seperti biasanya. Dan aku kini seperti matahari yang selalu diselimuti kabut dan hujan. Kota ini basah, dan selalu basah.

Semakin lama aku termenung, kabut yang basah di luar jendela itu seperti menembus dinding kamarku, membasahi foto-foto, jam, lukisan, pot bunga, bahkan menyelimuti dinding perpustakaanku yang menyimpan pelbagai judul buku-buku masa lalu. Semakin larutlah segala hal yang menyangkut tentangnya: tentang kenangan kami ketika bersama.

Seperti pada suatu sore, kami tamasya ke Kebun Raya Bogor, hanya sisa kami berdua. Orang-orang, tua dan muda, juga anak-anak sudah berduyun-duyun berkemas dan meninggalkan area Kebun Raya. Saat itu, gerimis turun. Kota Bogor basah oleh kabut tipis yang menyelinap di antara pohon-pohon purba yang sangat tua usianya. Kami berdua berteduh di sebuah pendopo kecil, dekat Tugu Lady Raffles: sebuah tugu yang berisi kata-kata puitis berbahasa Inggris klasik karya Lady Raffles, nama lain dari Olivia Madamne yang merupakan istri dari Sir Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa, bertuliskan: oh thou whom neer my constant heart/ one moment hath forgot/ tho fate severe hath bid us part/ yet still – forget me not.

“Kamu, Mas, yang selalu berada di hatiku, tak pernah sedikit pun akan kulupakan, walaupun takdir memisahkan kita nanti, yang entah kapan waktunya, janganlah pernah lupakan aku,” ujar Mentari sambil merayu memegang tanganku.

Aku tersenyum tipis dan sedikit malu-malu. Sesuai permintaannya yang begitu manja, walaupun ia sendiri sudah membaca sendiri ceritanya, kuceritakan kembali padanya bagaimana Tugu Lady Raffles itu dibangun oleh Sir Thomas Stamford Raffles untuk mengenang istrinya sendiri yang meninggal pada tanggal 20 November 1814—di Bogor pada usia 43 tahun dikarenakan menderita penyakit malaria, dan seterusnya sampai pada akhirnya kuceritakan pula bahwa Raffles pada akhirnya mengabaikan makna dari tugu itu sendiri, dari kata-kata puisi itu sendiri, dengan menikahi perempuan bernama Sophia Hull.

“Sebentar, Mas. Hemmm, bagaimana kalau aku terkena penyakit malaria itu sekarang? Apakah nasibku akan sama dengan Lady?” desak Mentari.

“Tentu tak akan sama, sayang. Dahulu itu, pada masa mereka hidup, tentu penanganan dan obat malaria belum ada. Sekarang zaman sudah begitu canggih. Kita bahkan sudah melewati zaman Covid-19 yang meresahkan seluruh dunia, kecuali mereka yang bermukim di Kampung Adat, orang-orang gunung dan hutan.”

“Tapi, Mas, bagaimana jika aku akan seperti Lady? Walaupun zaman ini canggih, namun takdir berkata lain dan aku tak akan selamat, misalnya?” Mentari semakin mendesak.

“Kamu bukan Lady, sayang, kamu adalah Mentari. Dan aku bukan Raffles. Aku juga tak akan seperti Raffles yang mengkhianati cintamu. Dan, sayang, aku kan sudah pernah bilang padamu, bahwa kisah cinta pada perjalanannya lebih indah dan mungkin jauh lebih baik jika tidak dituliskan dengan kata-kata puitis.”

Ia tersenyum manis, mendekatkan mukanya ke mukaku seraya merayu-rayuku. Selalu saja, ketika aku sedang bercerita ia pasti menatap tajam mataku tanpa sedikit pun berpaling untuk sekadar menoleh. Kadang aku sering tiba-tiba gugup dan sesekali malahan aku yang keseringan mengalihkan pandanganku sendiri. Ketika kejadian itu berlangsung, ia memegang mukaku dan didekatkan ke mukanya sendiri, tak lama ia memelukku. “Kamu benar, Mas. Kisah cinta jauh lebih baik jika tak dituliskan. Aku percaya melalui pelukan inilah cinta menjadi indah.”

Aku suka pada sejarah, walaupun aku tak menempuh pembelajaran itu di pendidikan formal. Sedangkan Mentari menyukai sastra, dan memang ia sendiri merupakan lulusan sastra indonesia di Universitas Pakuan, salah satu universitas yang cukup terkenal di Bogor. Kami berdua senang tamasya ke tempat-tempat yang bernuansa sejarah dan budaya. Ketika kami tamasya di Kebun Raya itu, dan ketika tinggal hanya kami berdua, kami bagaikan Adam dan Hawa yang membicarakan dan mempertanyakan banyak hal dalam hidup ini. Sebagaimana ia memberiku beberapa pertanyaan, ketika selesai kuceritakan tentang Tugu Lady Raffles itu, ketika kami selesai berpelukan, yang kini bahkan masih belum bisa kuberikan jawabannya: “Mas, tahukah kamu berapakah harga cinta? Dan pernahkah kamu bertanya tentang, adakah cerita-cerita yang bisa menyelamatkan kita dari kematian? Apakah kamu bisa menjawab pertanyaanku itu?”

Tidak. Aku harus mencari perhatian lain, kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran dan perasaan ini agar semakin tak larut ke dalam genangan itu. Membaca buku? Ya, mestinya aku membaca buku pagi ini, sebab kegiatan rutinku ketika libur bekerja adalah membaca buku-buku yang tertunda aku tuntaskan. Segera aku mengambil buku Rahasia Nusantara karya Asisi Suhariyanto dan buku Sejarah Bogor karya Saleh Danasasmita di rak perpustakaan kamar kecilku. Buku yang menceritakan sejarah bagiku seperti mesin waktu. Dengan segala keterbatasan umurku dan dengan segala keterbatasan pengalaman hidupku yang terlalu muda hidup di dunia ini, catatan sejarah itu mampu membawaku tepat ke dalam bayangan bagaimana situasi-kondisi dari cerita sejarah itu sendiri, jauh sebelum aku lahir ke dunia ini.

Entah bagaimana mulanya sejarah bisa mendominasi hasrat belajarku ini. Seingatku, aku lahir di Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Ketika umurku 7 tahun, ayah dan ibuku pindah ke Bogor, tepatnya kini kami berumah di daerah Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kata ibu, mengapa kami pindah ke Bogor, karena ayahku waktu itu mendapat tawaran pekerjaan di Kebun Raya Bogor dari temannya yang seorang arsitek bernama Sukanto, murid dari seorang anak arsitek terkenal bernama Friedrich Silaban. Ayahku sendiri lulusan filologi di Universitas Gajah Mada, namun karena kesenangannya pada tumbuhan dan bunga-bungaan, ia menerima tawaran bekerja di Kebun Raya sebagai teknisi perkebunrayaan. Mungkin, dari pembelajaran dan pekerjaan ayahku itulah bibit-bibit hasrat belajar sejarahku tumbuh-berbunga di dalam diri ini.

Kini umurku 30 tahun. Aku sudah banyak membaca catatan sejarah, baik meminjam buku-buku dari Ayah, buku pribadiku sendiri, maupun membaca di berbagai perpustakaan. Bahkan aku juga sudah membaca bagaimana polemik Jawa dan Sunda dalam prosesi Perang Bubat di Serat Pararaton dan Kidung Sunda/Sundayana, yang membuatku sedikit merasa heran mengapa itu membikin jalan panjang mitos tentang larangan pernikahan seorang Jawa dan Sunda, yang jika melanggar akan menimbulkan malapetaka, dan anehnya hari ini sebagian masih ada yang mempercayainya, termasuk Nenek dan Ibunya Mentari.

Padahal kenyataannya, Perang Bubat secara kesahihan sejarah belum dapat dipastikan kebenarannya. Ditambah, ketika aku membaca terjemahan naskah Sunda Kuna Perjalanan Bujangga Manik dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna olahan Noorduyn dan Teeuw, di situ dijelaskan bahwa Bujangga Manik menempuh pengembaraan pulau Jawa-Bali, dan diceritakan pula bahwa Bujangga Manik belajar ke daerah Jawa Timur untuk mempelajari karya Sastra Jawa. Seharusnya, jika Sunda dan Jawa berkonflik gara-gara Perang Bubat, tak mungkin Bujangga Manik sebagai seorang pangeran Sunda yang hidup berdekatan dengan berakhirnya Perang Bubat diperbolehkan oleh Raja Sunda sekaligus oleh orang-tuanya ke daerah Jawa, begitupun sebaliknya tak mungkin Kerajaan Jawa/Majapahit menerima Bujangga Manik. Aneh bukan?

Dan kenyataannya bahkan kini, dewasa ini, banyak pernikahan seorang Jawa dan Sunda yang baik-baik saja, harmonis, tenteram, tak seperti ketakutan dan larangan dalam mitos tersebut. Entah aku belum bisa memaknai dan mendapatkan bagaimana mitos larangan menikah antara Jawa dan Sunda itu bisa ramai sekaligus tumbuh-berkembang. Sejauh ini yang aku masih curigai tentu ulah adu-domba Belanda, yang tentu saja banyak alasan atas kecurigaan tersebut. Dari situlah kekhawatiranku lalu timbul, ketika berhubungan dengan Mentari yang merupakan keturunan Sunda, dan lagi ketika Ibunya akhirnya membahas mitos itu juga kepadaku, seakan memberi sinyal bahwa aku tak boleh untuk meminang Mentari.

***

Sudah 1 minggu berlalu. Aku belum juga membaca isi lengkap surat dari Mentari. Di samping aku sibuk bekerja, memang karena belum siapnya aku untuk membaca keseluruhan surat darinya. Apakah sekarang waktunya aku menuntaskan membaca surat darinya?

Tidak. Aku memutuskan untuk tidak membaca surat dari Mentari. Aku masih belum siap untuk menghadapi dampak dari perasaanku sendiri ketika nanti membacanya. Lebih baik sepulang kerja ini aku mampir ke Kedai Teh Jaya Abadi. Rasanya ada dorongan kuat untuk aku mampir kembali ke sana. Entah mengapa.

17:00, di Kedai Teh Jaya Abadi. Aku memesan Roti Gulung dan Teh Susu Arab. Teh Susu Arab menjadi minuman favoritku di Kedai ini, semenjak 1 minggu yang lalu aku pertama kali datang ke sini. Aroma kayu-manis, kapulaga, dan cengkehnya khas sekali, dicampur dengan gula dan susu yang memberikan kesan kehangatan di Kota Hujan yang selalu basah ini. Hal itu mengingatkanku ketika aku pertama kali mampir ke kedai ini, ya, ketika 1 minggu yang lalu itu, aku pertama kali bertemu dengan Ayu, seorang wanita cantik yang tak pernah aku duga-harapkan bisa berkenalan dengannya, seperti telah diberkati waktu dan ruang atas pertemuan dan perkenalan kami.

Waktu itu, setelah memesan Teh Susu Arab dan menunggu dihidangkan, aku memandang ke luar jendela, persis seperti sekarang ini posisiku duduk. Suasana di kedai teh sangat tenang dan nyaman, dengan aroma berbagai teh yang semerbak-harum-mewangi. Saat itu, matahari sudah mulai terbenam, dan langit mulai berubah menjadi merah jingga. Malam tiba.

“Maaf, A. Ini pesanannya, Teh Susu Arab dan Roti Gulung saja, ya. Selamat menikmati hidangannya.”

“Ya, benar. Terima kasih ya, Mbak,” sahutku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang wanita yang berjalan menuju ke arahku. Aku gugup. Wanita itu memiliki rambut panjang dan hitam mengkilau yang tersinari cahaya lampu kedai, dan matanya yang besar dan coklat. Ia tersenyum dan memandangku dengan mata yang berseri. Ia lalu berhenti tepat di depanku duduk.

“Halo,” katanya dengan suara yang lembut. “Namaku Ayu. Aku langganan di kedai ini. Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya.”

Aku tersenyum dan memperkenalkan diriku. “Halo Ayu. Ya, aku baru kali pertama ke kedai teh ini. Senang bertemu denganmu.” Sambil tersipu aku memberanikan diri.

Begitulah cuplikan-adegan pertama kali aku bertemu dengan Ayu di Kedai teh Jaya Abadi ini. Rasanya kenangan itu semakin dalam menyelimutiku lagi saat ini.

Setelah itu, aku ingat, Ayu lalu duduk di seberangku dan memesan secangkir Teh Susu Arab hangat juga. Kami yang baru bertemu dan saling kenal berbicara tentang berbagai hal, dari pekerjaan, hobi, hingga impian kami untuk masa depan. Aku dan Ayu berbicara selama beberapa jam lamanya, dan aku merasa aneh seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Bahkan aku merasa sangat nyaman berbicara dengannya. Ia memiliki kepribadian yang sangat ceria dan optimis. Aku merasa seperti telah menemukan seorang teman lama yang merindukan suasana cerita. Dengan kehadiran Ayu, rasanya perasaan dan pikiran yang menyelimutiku tentang Mentari mulai terobati.

Ayu adalah seorang bidan yang bekerja di sebuah rumah sakit di Bogor. Ia memiliki hati yang baik dan selalu ingin membantu orang lain. Seperti dalam ceritanya yang Ia ceritakan padaku di sela-sela mencicipi Teh Susu Arab, Ayu mendapat seorang pasien yang kurang mampu dan tidak memiliki biaya untuk membayar ongkos rumah sakit. Pasien itu adalah seorang ibu janda yang sedang hamil yang membutuhkan perawatan dengan segera, karena ada kelainan di dalam kandungannya. Ayu merasa kasihan dengan pasien itu dan timbul dorongan kuat untuk membantunya. Ia memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada pihak rumah sakit agar memberikan bantuan tanpa memikirkan bayaran, namun ia mendapat penolakan keras.

Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka tidak bisa membantu pasien yang tak mampu membayar biaya rumah sakit, sebab perlu menempuh serangkaian administratif yang panjang jika ingin gratis. Ayu merasa kecewa dan marah sekali dengan keputusan pihak rumah sakit. Ia merasa bahwa pihak rumah sakit tidak memiliki hati dan hanya memikirkan tentang uang dan keuntungan.

Ayu akhirnya memutuskan untuk membantu pasien itu dengan cara lain. Ia meminta bantuan dari teman-teman dan keluarganya untuk membantu biaya perawatan pasien itu. Dengan segera setelah uangnya terkumpul dan disetorkan, seorang pasien itu langsung bisa mendapat perawatan yang dibutuhkan.

Namun, konflik antara Ayu dan pihak rumah sakit tidak berhenti di situ. Pihak rumah sakit memanggil Ayu untuk membicarakan tentang tindakannya. Mereka mengatakan bahwa Ayu telah melanggar aturan rumah sakit dengan membantu pasien yang miskin itu dengan biaya sendiri. Ayu tak habis pikir. Dengan ketenangannya yang mampu mengendalikan emosinya ia berkata, “membantu orang yang memang sedang membutuhkan, dan lagi sebagai sesama perempuan dan sesama manusia,” begitu ucapannya ketika bercerita padaku dengan nada penekanan dan napas yang dalam.

Mendengar cerita Ayu itu, aku merasakan spirit perempuan pejuang sekelas Kartini, Dewi Sartika, Herlina, dan mungkin saja Srikandi dalam pewayangan berdiri di belakangnya. Begitulah, cerita 1 minggu yang lalu itu, bagaimana pertemuanku dengan Ayu di Kedai Teh Jaya Abadi, dan bagaimana ia bercerita pengalaman kerjanya di rumah sakit, yang kini menyelimutiku kembali.

Dan kini, ketika aku mampir ke kedai ini lagi, aku seperti berharap Ayu ada di sini. Sambil memutar-mutarkan cangkir teh, mataku sibuk melirik ke luar jendela, ke pintu kedai, seakan aku percaya bahwa Ayu akan mampir ke kedai sore ini. Apakah harapan ini disebabkan karena aku ingin melupakan Mentari? Apakah ini artinya aku menyukainya? Atau karena ketidakberdayaanku atas perasaan kepada Mentari yang menginginkan seseorang kini berada di sampingku? Entahlah, aku tak tahu.

***

Notif email di ponselku berbunyi, tertanda pesan dari Mentari. Tanpa berlama-lama aku langsung membukanya.

matahari.as.mentari@gmail.com 22/02/2025

Bagaimana, Mas, apakah kamu sudah membaca keseluruhan surat dariku? Lalu, mengapa kamu tak membalas suratku itu? Apakah kamu marah dan benar-benar sudah melupakanku?
Dengan penuh harap, aku akan menunggu jawabanmu sampai malam ini: 21:00.

Sial, aku benar-benar telah lupa suratnya itu. Terhitung sudah 20 hari lamanya aku tak membaca dan mengabaikan suratnya. Kini aku harus benar-benar membaca keseluruhan suratnya. Lagipula aku sudah siap untuk segala hal yang nanti akan diutarakan Mentari dalam suratnya. Ya, aku sudah siap!

Segera setelah jam istirahat dan makan siang, aku memesan kopi di kantin kantorku. Perlahan-lahan aku mengambil ponselku di saku celana. Membuka layar ponsel dengan sidik jari. meng-klik aplikasi email. Dan lalu mulai aku lanjutkan membaca surat dari Mentari. Kembali dimulai dari awal.

matahari.as.mentari@gmail.com
Bogor, 1 Febuari 2025
Tertanda: Mentari

Maaf, Mas, pertemuan yang aku janjikan 3 hari lalu di Pojok Cafe batal aku tunaikan. Tentu aku punya alasan untuk menjelaskan ini padamu. Mohon kamu bersabar untuk membacanya, sebab pesanku ini akan cukup panjang.

Sekali lagi aku minta maaf, Mas, karena ingkar terhadap janjiku sendiri. 3 hari lalu, tepat pada malam ketika aku hendak menemuimu, tiba-tiba aku mengalami guncangan batin, entah mengapa. Namun yang pasti, bukan karena aku tak ingin bertemu kamu. Sungguh, malam itu aku sudah siap untuk berangkat. Aku sudah berdandan. Aku bahkan sudah memakai gaya busana kesukaanmu: baju kebaya berwarna hitam, rok batik bermotif kawung, sepatu pantofel hitam, dengan gaya rambut Butterfly Cut, dan bahkan gincu berwarna merah muda. Kamu pasti akan menyukai penampilanku, Mas.

Tapi, Mas, malam itu Ibu menahan dan bahkan melarangku untuk menemuimu di Pojok Cafe. Ibu bilang dalam bahasa Sunda, “lamun Neng keukeuh arek nyamperkeun manehna, Umi mah teu redo pokona salangit-sabumi.” Tentu, kamu tahu artinya, Mas, tak perlu aku terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Aku jawab juga dalam bahasa Sunda, “Umi. Naha atuh ulah sok percaya keneh ka mitos kitu. Ayeuna teh geus jaman moderen, geus taun 2025. Umi teu tiasa nyamakeun oge carita pepegatan Umi jeung Bapa ka carita Neng jeung si Mas. Pepegatan ti kawinan lain gara-gara mitos atuh, Umi. Eta mah takdir. Tuh tempo Mang Usro jeung Bi Onah ge nu Sunda jeung Sunda bisa pepegatan, bisa teu harmonis. Loba atuh conto nu kitu mah, lain masalah larangan Sunda sareng Jawa wae.” Begitu jawabku, Mas.

Ibu tetap dengan pendiriannya, Mas, tak memperbolehkan aku pergi menemuimu. Aku awalnya sudah bertekad untuk pergi dari rumah demi bertemu kamu, dan mengabaikan larangan Ibu. Namun, aku menyadari satu hal, bahwa cara itu tak baik untuk aku lakukan. Ibu bersikap begitu tentu mempunyai alasan, selain karena trauma atas pernikahannya, ditambah Nenek yang selalu bercerita tentang mitos itu, bertambahlah suasana hatinya terbakar api dendam tak berkesudahan.

Padahal sudah kujelaskan, Mas, bahwa mitos itu adalah adu-domba pada zaman kolonialisme Belanda di Tanah-Air kita. Dan kini, sebagaimana yang kamu ceritakan dulu padaku, kan sudah banyak fakta-fakta sejarah yang melunturkan mitos itu. Tapi Ibu tetap saja dengan pendiriannya. Ditambah, Mas, Ibu dengan segala keterbatasan pendidikannya memang sulit terbuka dengan fakta dan sejarah baru yang kini mulai bertebaran.

Bagaimana menurutmu, Mas? Apa tanggapanmu soal ini?

Sejauh ini aku belum dan bahkan tidak memberikan hatiku pada siapa pun laki-laki selain dirimu, Mas. Selama dua tahun ini, tentu banyak laki-laki yang mendekatiku. Sungguh, dengan segala kejujuran ini, aku tidak memberikan hatiku pada mereka. Sebab, aku masih menunggumu!

Selesai membaca surat darinya, kuteguk kopi secara perlahan-lahan. Tak terasa, asap di hawa panas kopi yang mengepul tadi kini sudah mengudara ke langit, menjadi awan kelabu di pikiran dan perasaanku. Tapi, setelah Mentari mengatakan bahwa ia tak memberikan hatinya kepada siapa pun dan masih menungguku, aku merasa setelah sekian lama menanti, matahari kini mau menyambangiku lagi.***

  • Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.

    Lihat semua pos