dok. tendensibunuhdiri
Membaca judul “Khotbah Iblis” dalam pertunjukan Teater RAS, saya otomatis teringat pada judul artikel “Rekonstruksi Citra Perempuan dalam Alkitab pada Kumpulan Puisi Perempuan yang Dihapus Namanya karya Avianti Armand” yang pernah ditulis oleh Langgeng Prima Anggradinata. Penelitian itu membuktikan bahwa rekonstruksi itu menghasilkan makna lain dari setiap puisi di kumpulan puisi tersebut, seperti tentang kisah Tamar (Kejadian 38) dan Batsyeba (2 Samuel 11). Citra perempuan dari kisah Tamar dan Batsyeba yang muncul di Alkitab dan tafsir-tafsirnya “direspons” oleh Avianti Armand dengan diskusi-diskusi melalui puisinya. Bayangan saya terkait “Khotbah Iblis” itu akan mirip karena mengaitkan kisah yang berada di dalam kitab suci (Al-Quran) dengan bentuk barunya dari hasil pemaknaan Teater RAS, dan tentu bisa menjadi tawaran menarik untuk didiskusikan selanjutnya.
Sejalan dengan itu, Derrida pernah mengatakan bahwa makna itu tidak bisa diputuskan. Sederhananya, ketika suatu “teks” mengalami proses pembacaan dan diinterpretasikan, maka di saat yang sama makna lain dan interpretasi lain akan siap membatalkan pemaknaan seseorang tersebut. Dalam pemahaman decontstuction-nya, Derrida begitu keras mengatakan bahwa dalam peristiwa interpretasi tidak perlu membuat kesimpulan kebenaran tunggal, karena tidak harus absolut. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, interpretasi lahir sebagai makna baru, bahkan bukan dari pemikiran si pembuat “teks” (maksud?) dan penerimaan “pembaca” sebelumnya. Sebegitu murninya suatu pemaknaan dan akhirnya memperoleh makna-makna ganda dalam suatu proses interpretasi. Kadang, kegandaan makna akan memperkaya khazanah informasi dan bisa bertentangan di sebuah kepala dalam proses pemaknaan yang bersamaan.
Begitulah pergolakan yang ada pada (sebagian) kepala penonton ketika pertunjukan “Khotbah Iblis” karya Teater RAS (28/12) yang rampung dengan riuhnya tepukan tangan penonton. Bahkan, saya sendiri mengalami pergolakan yang demikian sejak dari lama. Ketika pertama kali mendengar kabar bahwa pementasan kali ini teks-naskah pertunjukannya dibuat sendiri oleh Teater RAS secara kolektif itu, saya langsung tertarik pada apa yang ingin disampaikan Bang Ayenk (selaku sutradara) melalui pembacaannya terhadap peristiwa “Khotbah Iblis” nantinya.
Bukan hal baru memang ketika mendengar khotbahnya si Iblis ini. Banyak orang yang telah membaca atau mendengar suatu peristiwa yang konon akan terjadi, yaitu ketika suatu hari di masa yang akan datang (setelah kiamat) bahwa iblis akan berkhotbah di depan para pengikutnya yang telah dihisab oleh yang Maha Kuasa. Artinya, bagi banyak orang, memaknai judul itu pun, memaksa siapapun harus membuat seakan-akan judul tersebut menjadi kontroversial, dilematis, dan bersifat prismatis. Bagi penonton, apa hal yang membuat penonton harus mendengarkan khotbah iblis jika bukan pengikutnya yang nanti akan mencerca, menyalahkan, dan meminta pertanggungjawaban iblis di neraka setelah yaumul hisab? Setidaknya itu yang terjadi sebelum memasuki ruangan pertunjukan.
Di Ruang Pertunjukan
Pertunjukan di panggung dimulai ketika segerombolan “iblis” yang dipimpin oleh semakhluk Raja Iblis dengan pakaian yang serba mentereng dan ngejreng, datang membuat suatu konsepsi ruang waktu yang di antah-berantah. Raja Iblis, sebagaimana sosok “Bos” besar ingin mendengarkan report hasil pekerjaan semua anak buahnya. Yang menarik, semua laporan yang diberikan memang merupakan hasil yang ingin didengar oleh sang Raja, namun bukan dari hasil pekerjaan semua anak buahnya. Saya sendiri tertawa dengan permainan ini. Bukankah kita pernah mendengarkan istilah bagi seorang kawan yang perilakunya keterlaluan sebagai “iblis aja hormat sama lu mah!” atau “iblis aja salut sama lu mah!” atau “iblis aja kurang sesat dibanding lu!”.
Kemudian sepasang “iblis” (saya mengatakan, kalau di antara mereka ada yang berjenis kelamin laki-laki, mungkin itulah yang disebut Succubus dan Incubus) yang melaporkan bahwa masih ada sekelompok manusia yang masih taat beribadah di antara orang-orang yang sesat. Akhirnya, sang Raja pun memutuskan untuk menyesatkan kelompok manusia taat itu agar sesat dan berbuat maksiat. Sampai sini, tupoksi dan porsi tokoh-tokoh iblis masih “di rel” dan sesuai ekspektasi penonton. Sepertinya, akan ada peristiwa penyesatan di kemudian adegan.
Tiba-tiba ruang waktu berganti pada peristiwa kumpulnya manusia (berwujud perempuan) sosialita yang membicarakan harta, tahta, dan pria. Sekumpulan manusia ini merupakan penggambaran kesesatan di bidang tertentu, misalnya pada prostitusi, kecurangan-kecurangan/penipuan, penyalahan kodrat, dan juga termasuk pada peristiwa-peristiwa politik. Cukup menggiring penonton pada kenyataan yang memang nyatanya demikian (banyak terjadi dewasa ini), yang disampaikan dengan satire dan tendensi tertentu yang pas. Meskipun, di adegan ini, Teater RAS sangat berani menampilkan “kevulgaran” pembahasan dan isu-isu kontroversial. Tapi, ya, itulah seni di kacamata pemikiran dan ide yang hanya akan salah jika bertentangan dengan pemikiran dan ide yang lainnya. Pada dominasi pertunjukan apa pun pada penonton, sayangnya, penonton selalu tidak diberi ruang untuk itu.
Beranjak dari peristiwa itu, kemudian ada titik di saat iblis akhirnya memiliki misi dan visi yang berbelok dengan kodratnya. Memang, seperti yang kita tahu, bahwa iblis diberi kelebihan sebagai makhluk yang rasional, logis, memiliki daya kritis, dan Ayenk memanfaatkan hal itu untuk mengatakan bahwa jika manusia sudah maksiat semuanya, maka semesta akan “diselesaikan/dihancurkan” oleh yang Maha Kuasa. Jika demikian, maka Iblis akan kembali ke neraka, dan semua iblis di pertunjukan ini tidak ingin masuk neraka? Diputuskanlah bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk menghalangi (baca: menunda) kehancuran semesta. Maka, mereka bermaksud untuk berbuat hal-hal yang tidak menyesatkan manusia, dan cenderung sebaliknya.
Itulah yang terjadi pada gerombolan iblis yang akhirnya masuk kembali di sebuah peristiwa adegan kampanye Jayadi, tokoh calon walikota yang terkenal korup. Tentu saja, peristiwa adegan itu setelah adegan panjang di sebuah perkampungan yang menjadi cara deskriptif-naratif Ayenk untuk menjelaskan fenomena manusia. Peristiwa perkampungan itu penuh dengan kemaksiatan mulai dari judi daring, narkoba, seks, pencurian, dan minuman keras, sampai pada peristiwa kampanye Jayadi. Saya sendiri melihat fenomena yang ingin dijelaskan Ayenk sesuai dengan pemikiran sosial di era post-truth seperti hari ini. Dasarnya, pemikiran ini merupakan fenomena yang membuat seseorang akan berusaha menyembunyikan kebenaran dengan upaya-upaya pelibatan perasaan dan keyakinan dibanding argumen-argumen berdasarkan fakta.
Orang-orang pada peristiwa perkampungan dan kampanye tersebut meniadakan kebenaran dengan berdalih kebenaran dengan segala rasionalitasnya sangat tidak berguna ketimbang keyakinan mereka pada suatu hal yang membuat perasaan dan kehidupan mereka lebih baik. Kita ambil contoh judi, narkoba, money politics. Ketiga hal yang menjadi pembahasan pada bagian ini sangat relevan untuk dikupas. Orang-orang telah tahu secara rasional dan fakta bahwa judi akan memiskinkan, narkoba akan merusak, dan money politics dengan sosok walikota korupnya akan berdampak buruk bagi mereka semua. Namun, orang-orang ini telah meniadakan fakta tersebut karena mereka masih yakin bahwa judi akan membawa kekayaan, narkoba akan menghadirkan ketenangan, dan money politics akan membawa kesejahteraan.
Tercengannya saya ketika peristiwa-peristiwa di atas merupakan upaya perbandingan dengan segerombolan Iblis yang datang untuk menyadarkan orang-orang. Sampai sini, paradigma penonton akan mengalami difusi tentang apa makna “iblis” dan “manusia” atau “sesat” dan “kebenaran” sebenarnya? Sampai akhirnya, peristiwa penyadaran yang diupayakan oleh para iblis ini mengalami kegagalan dan entah mengapa begitu mudah manusia mengalahkan iblis ini sebenarnya, dan mereka bertahan dengan keyakinan terhadap apa yang ada di hati mereka masing-masing. Kemudian, peristiwa pertunjukan diakhiri dengan suatu pidato/khotbah dari Raja Iblis diikuti dengan orang-orang yang mengenakan semacam mukena. Dan terjadilah kehancuran.
Dekonstruksi Kisah-Peristiwa Pertunjukan
Luar biasa adalah kata-kata yang bisa saya sampaikan seusai pertunjukan dilahap saksama. Selain itu, saya melihat upaya-upaya memahami peristiwa khotbah iblis yang dipercaya dalam kepercayaan agama Islam dengan makna yang baru. Jika melihat kisah yang dijelaskan QS Ibrahim 22-23, kisah itu hanya akan muncul pada bagian akhir pertunjukan. Di beberapa tafsir akan ayat ini, peristiwa tersebut terjadi ketika manusia telah dihisab dan digolongkan untuk masuk surga atau neraka. Khotbah ini jelas terjadi di neraka ketika Iblis dan para pengikutnya pertama kali memasuki neraka jahanam. Saat itu manusia-manusia akan mencerca iblis dengan nada-nada protes dan penyesalan. Orang-orang akan menuntut iblis dan menyalahkannya atas dosa-dosa manusia yang mereka lakukan sendiri. Tentu saja iblis tidak akan pernah mau disalahkan atas dosa-dosa yang diperbuat manusia. Menurutnya, iblis hanya menyerukan dan manusia telah melakukan seruan-seruannya. Logikanya, manusia bisa saja tidak mengikuti seruan-seruan iblis itu karena pada dasarnya telah dikabarkan dalam kitab suci (yang maha benar dan membawa kebenaran) bahwa iblis akan menyesatkan.
Saya yakin bahwa developing teks dan penggarapan pertunjukan “Khotbah Iblis” ini tidak main-main dan secara serius berbagai referensi dan sumber telah menjadi fondasi ide dan gagasan. Ayenk sebagai nahkoda pasti akan mengajak pasukannya untuk melakukan banyak riset, pencarian, dan menyiapkan argumen terbaik untuk membekali pertunjukan ini. Dari penjelasan itu, saya sendiri yakin karena siapapun dapat melihat hasil dari pembacaan Ayenk dan Teater RAS terhadap suatu peristiwa yang jelas dikabarkan oleh Al Quran. Karena, jika terkesan asal-asalan atau melenceng barang sedikit pun, mereka akan tahu akan berhadapan dengan siapa? Dan overall, pertunjukan ini memang penuh dengan kehati-hatian dan sejauh ini berada di tingkat “aman”. Dengan begitu tidak akan menarik jika membahas upaya transformasi dan intertekstual dari kisah khotbah iblis dengan pertunjukan “Khotbah Iblis” versi Teater RAS.
Yang menarik justru hal-hal pembangun atau upaya menggiring penonton dengan narasi-narasi yang dianggap bisa memperjelas adegan terakhir. Jika diperhatikan, adegan awal sampai kepada peristiwa kampanye, merupakan dimensi-dimensi yang ditambahkan untuk menggiring penonton pada peristiwa utama seperti judul pertunjukan ini. Jangan dipertanyakan dan dibahas terkait adegan sosialita dan orang-orang di perkampungan. Justru yang menarik adalah bagaimana developing tokoh para iblis pada pertunjukan ini. Perangai dan penokohan iblis pada kisah-kisah yang terdapat pada horizon pengetahuan penonton (yang garang, sesat-menyesatkan, intrik, cerdik, logis, pembangkang, sombong dan lain-lain) dihancurkan begitu saja oleh pertunjukan ini. Tentu bukan karena tampilannya, namun pada bagaimana visi misi iblis yang seperti orang-orang tahu bahwa mereka akan menghasut, menyesatkan, dan menyerukan jalan-jalan buruk bagi manusia, tiba-tiba dibelokan oleh karena iblis-iblis ini takut pada neraka.
Di bagian sebelumnya, saya mengatakan bahwa ini adalah pemanfaatan yang dilakukan oleh Ayenk atas pemahamannya terkait iblis yang logis, rasional, dan kritis. Namun, keterjadian difusi pemahaman akan berakibat fatal, sebenarnya. Pengaburan atau pembenturan, apa pun bentuk dan dayanya akan selalu menghasilkan suatu penghancuran (dekonstruksi) yang membuat orang-orang akan berkewajiban membangun kembali (rekonstruksi) yang telah hancur tersebut. Dalam kisah manapun, iblis telah dikabarkan akan selalu berbuat sesat-menyesatkan, hasut-menghasut, dan menyerukan kemungkaran sampai hari kiamat. Teks itu didekonsrtuksi dengan penampakan iblis yang takut dengan neraka, sementara mereka tentu jelas berasal dari sana. Apakah ada ikan yang takut pada air?
Apakah penilaian penonton terkait iblis akan berubah karena dekonstruksi Ayenk terkait iblis pada pertunjukan ini? Apakah ada yang seperti itu? Bukankah ini hanya pertunjukan? Tentu ini berlebihan. Saya yakin, penonton cukup sadar dan cerdas untuk tidak terdekonstruksi pemikiran dan penilaiannya terhadap iblis. Ini hanya perhatian saja untuk meniadakan fenomena logical fallacy yang mungkin bisa terjadi pada penonton, bahkan para pelaku pertunjukan.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa Avianti Armand pun telah merekonstruksi citra perempuan dalam Alkitab, khususnya kisah Tamar dan Batsyeba, dan itu sah dilakukan sebagai upaya pemaknaan baru dengan visi teks yang baru. Di sini, Ayenk pun telah berhasil merekonstruksi Iblis dengan catatan bahwa ini merupakan upaya satire untuk menerangkan bahwa, kadang, secara tragedi dan tragis manusia seakan lebih sesat dari iblis itu sendiri. Namun juga harus diingat, bagaimanapun, Al Quran akan menjadi kebenaran tunggal apa pun yang dikatakan Derrida terkait makna. Setidaknya, itulah yang harus dimiliki orang-orang beriman, agar tidak kembali akan menyaksikan “Khotbah Iblis” di neraka nanti, sebagaimana harapan pada penggalan ayat berikut ini: “…dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka…” (QS Ibrahim: 23).