Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi: Suatu Pembacaan

Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi: Suatu Pembacaan

Al-Quran

Dok. halimunsalaka (PDS H.B Jassin)


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan puisi? Sampai mana batas-batas dunia puisi itu sendiri? Dua pertanyaan tersebut tentu akan membawa kita pada serangkaian teori tentang puisi, kajiannya, wahana pandangannya, tesis – antitesisnya, dan lain sebagainya — dari berbagai tokoh terkemuka Indonesia maupun Dunia yang telah lama mengarungi samudera kehidupan puisi beserta maknanya.

Namun, bagaimana kalau kitab suci Al-Quran ditulis-ulang dalam bentuk-perwajahan puisi? Atau, bagaimana jika kitab suci Al-Quran perwujudannya dibentuk dalam struktur puisi? Dua pertanyaan inilah yang akan mengantarkan kita pada satu sosok yang lumrahnya disebut “Paus Sastra Indonesia” atau arsiparis kesusastraan Indonesia. Yupss, seorang yang bernama Hans Bague Jassin (baca: H.B Jassin). Sebab, menurut kesaksian Jassin sendiri, ia sudah mencari-cari dan belum menemukan Al-Quran yang ditulis dalam perwujudan puisi, yang lalu membawanya pada ide untuk menggarap puitisasi kitab suci Al-Quran.

Setelah sekian lama berteman dengan waktu untuk mendapatkan bukunya, akhirnya saya dapat membaca serangkaian polemik kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi (terbitan Pustaka Utama Grafiti, 1995),  yang mana secara singkat persoalannya mengacu pada serangkaian polemik tentang bentuk-struktur Al-Quran (olahan H.B Jassin) yang ditulis-ulang dalam perwajahan puisi. Menariknya, olahan pemikiran HB Jassin ini tak dikerjakannya secara mandiri, melainkan dibantu oleh D. Sirojuddin A.R (seorang ahli kaligrafi Arab terkemuka). Di sini terlihat secara jelas, bahwa Jassin tahu diri dan tidak asal menggarap kebun keilmuan yang bukan ladang garapannya. Tabik! Al-fatihah buat Empu Sastra Indonesia. Amiin.

Walaupun persoalan Al-Quran Berwajah Puisi sudah terlampau usang-heubel, sekitar 1990-1995-an ramai-ramai polemiknya, namun tetesan-tetesan makna dari polemiknya itu masih dan akan selalu bermanfaat sampai hari ini, mungkin seterusnya jika kita baca ulang. Terlepas apa dan bagaimana kita memungut sisi isi makna yang mana, dan hendak seperti apa. Sebab, hemat saya, jika meninjau kerja-kerja kepenyairan atau para penyair dalam kehidupan puisinya, lintasan waktu dan perubahan ruang tak sampai memperpendek umur atau menghapus makna dari perjalanan puisi, ia (puisi) semacam kejadian-kejadian yang bisa saja terulang, mengisi perubahan waktu dan ruang itu sendiri, memberi makna baru — pada hidup yang baru.

Bagaimana H.B Jassin Terpikirkan Membikin Puitisasi Al-Quran?

Inilah pertanyaan yang mungkin akan mengantarkan kita menyusuri bagaimana seorang Jassin terpikirkan hal tersebut, atau bentuk Puitisasi Al-Quran yang bagaimana-kah hasil olahannya itu. Dalam pengantar buku Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi, Jassin menguraikan rasa penasarannya mengenai Al-Quran yang dari zaman ke zaman itu mengapa tidak ditulis dalam perwujudan puisi, melainkan selalu ditulis dalam perwujudan prosa. Dan mengapa Al-Quran yang begitu indah bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis secara indah pula perwajahannya. Kira-kira begitu singkat pandangan hal-ihwal pikiran Jassin yang menimbulkan ide mengenai Al-Quran Berwajah Puisi.

Sejalan dengan itu, timbul ide penyusunan Al-Quran Berwajah Puisi juga dikarenakan ketika Jassin merevisi kembali Al-Quranul Karim Bacaan Mulia untuk cetakan yang keempat. Loh, memangnya apa itu Al-Quranul Karim Bacaan Mulia? Al-Quranul Karim Bacaan Mulia merupakan proyek terjemahan Al-Quran Jassin yang pertama, yang isi terjemahan bahasa Indonesianya lebih puitis dari terjemahan Al-Quran lainnya (atau katakanlah terjemahan bahasa Indonesianya versi Sang Paus Sastra itu sendiri), namun bentuk-strukturnya belum seperti atau berwajah puisi, melainkan masih dalam perwujudan prosa. Berbekal peristiwa itulah, akhirnya Jassin terpikir mengapa tak membikin saja terjemahan Al-Quran yang memiliki struktur perwajahan puisi.

Mengenai rujukannya, Jassin menggunakan Al-Quran standar yang dibelinya dari Departemen Agama Republik Indonesia. Lalu muatan terjemahan Al-Quran Berwajah Puisi yang dikerjakan Jassin itu tentu tak mengubah huruf di dalam surat maupun memotong isi surat dalam Al-Quran. Ia hanya menyusun ulang susunan ayat dan surat dalam Al-Quran itu menjadi seperti struktur perwajahan puisi (erat dengan larik dan bait), mengenai kalimatnya juga sesuai dengan tanda koma dan tanda titiknya, pula masih sesuai dengan syarat yang ditentukan Departemen Agama. Sederhananya, jika Al-Quran pada umumnya (bahasa Arab maupun terjemahan Indonesianya) berbentuk prosa memanjang menyamping, versi Al-Quran Berwajah Puisi olahan Jassin terpenggal ke bawah membentuk bait-bait serupa puisi pada umumnya.

Jika pembaca budiman penasaran ingin membaca dan melihat terjemahan Al-Quran Berwajah Puisi, bisa berkunjung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin di Taman Ismail Marzuki. Sebab, walaupun Al-Quran Berwajah Puisi itu tetap diterbitkan, bahkan mendapatkan surat tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, nomor P-III/142/B-II/630/82, namun izin edarnya kemudian dilarang oleh Departemen Agama itu sendiri. Loh, mengapa demikian? Inilah yang menimbulkan polemik. Para Ulama dan Pemangku Agama banyak yang tak setuju dengan apa yang menjadi proyek puitisasi Al-Quran garapan Jassin. Secara singkat, banyak Para Ulama dan Pemangku Agama memprotes, “bahwa terjemahan Al-Quran Berwajah Puisi Jassin lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.” O, ya, Benarkah demikian?

Aha! Sebelum memasuki serangkaian polemiknya, ada baiknya kita kenang ketika Jassin berurusan dengan para ulama atau pemangku agama, islam khususnya. Pada persoalan terbitnya cerpen Langit Makin Mendung, yang pengarangnya tertulis Ki Pandji Kusmin. Jassin sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Sastra waktu itu (yang menjadi Heboh Sastra) meloloskan cerpen Langit Makin Mendung yang isinya memuat kontroversi. Jassin dianggap meloloskan cerpen yang isinya menistakan agama Islam, melecehkan Tuhan, dan menghina Nabi Muhammad SAW, bahkan para ulama.

Menariknya, Jassin tak membongkar siapa sebenarnya Ki Pandji Kusmin, dan tetap menjaga identitas pengarang sebagai wujud pembelaan terhadap karya sastra yang utuh. Namun, tak sampai di situ, Jassin juga tetap mempertanggungjawabkannya secara berani di depan hukum, yang menyebabkan ia dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dan lagi-lagi, tak semua para ulama atau pemangku agama menyerang Jassin, masih banyak pula yang membela dan mendukungnya, sebagaimana kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi hasil garapannya.

Bagaimana Sebenarnya Titik-Tolak Para Ulama dan Pemangku Agama Islam Mengenai Puitisasi Al-Quran?

Dalam buku Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi, banyak sekali memuat tulisan-tulisan dari para ulama, pemangku agama, bahkan kawan-kawan dari H.B Jassin itu sendiri. Kurang-lebih sekitar 61 surat dan 31 artikel dalam surat kabar/majalah yang terkumpul. Maka, di sini saya hendak menghadirkan beberapa surat dan artikel saja, agar tak terlalu panjang catatan ini.

Pertama dari M. Quraish Shihab, yang secara bijak mengatakan bahwa, Al Quran Berwajah Puisi itu, (prosesinya menulis kembali) ayat, baris demi baris. Namun satu ayat belum tentu merupakan kalimat sempurna. Tidak jarang kesempurnaan kalimatnya berkaitan dengan penggalan ayat berikut. Di sisi lain masyarakat kita mengetahui bahwa baris baru mengandung informasi baru, yang tidak berhubungan langsung dengan sebelumnya.

Nah, di sini, kerancuan makna memungkinkan dapat muncul, bila ayat berikut masih berhubungan dengan ayat yang sebelumnya, sedang ia ditulis dalam baris baru. Tanda-tanda baca Al-Quran, menurut Quraish, walaupun dicantumkan dalam ayat yang ditulis pada baris berikut, tetap masih dapat menimbulkan kerancuan, karena popularitas baris baru sebagai awal kalimat, melebihi popularitas tanda-tanda baca itu sendiri. Di sini sementara para ulama ekstra hati-hati mengedarkan Al-Quran Berwajah Puisi. (M. Quraish Shihab – dalam Republika, Kamis 28 Januari 1993).

Kedua dari Chusnul Huda mengemukakan pendapat lain, ia berkata, masyarakat justru harus diingatkan, karena maksud Jassin menerjemahkan (Al-Quran Berwajah Puisi) ini dalam bentuk sastra, barangkali, untuk konsumsi umat Islam yang paham tentang sastra dan puisi. Sehingga kandungan Al-Quran bisa lebih meresap. K.H. Bisri Mustofa dari Rembang (bapak ulama yang juga penyair K.H. Mustofa Bisri) pernah menerjemahkan Alquran dalam bahasa Jawa, yang dinamakan Ibris. Al-Quran tersebut lalu dikonsumsi khusus oleh orang-orang yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Kalau terjemahan K.H. Bisri dibaca orang Batak, mungkin juga akan menimbulkan pro-kontra. Begitupun dengan upaya Jassin saat dalam puitisasi Al-Quran, karena yang menanggapi orang yang tak paham sastra. Maka muncul pula-lah kontroversi yang berkepanjangan. (Chusnul Huda – Surabaya Post, Minggu, 31 Januari 1993).

Lalu, ketiga dari D. Sirojuddin A.R (sebagaimana orang yang terlibat dalam garapan Jassin) mengemukakan bahwa, lebih dari seratus tokoh yang dimintai pendapatnya oleh H.B. Jassin, hampir seluruhnya memberikan dukungan dan menganggap perlu hadirnya bentuk penulisan mushaf seperti (Al-Quran Berwajah Puisi) itu. Jika pun timbul reaksi tidak pro, Sirojuddin yakin karena yang bersangkutan belum melihat langsung halaman-halaman isi mushaf Al-Quran Berwajah Puisi. Sekilas pandang, umumnya banyak yang memberikan jawaban, bahwa itu tidak ada masalah dan tidak melanggar proses penerjemahannya.

Pihak Departemen Agama sendiri menjamin al-Qur’an Berwajah Puisi mengikuti tata tertib Mushaf Standar Indonesia seluruhnya, kecuali bentuk lay-outnya saja. Terbukti, dengan diperiksanya mushaf yang bahkan berkali-kali oleh Lajnah Pentashih. Bedanya, surat Tanda Tashih Lajnah hanya menyebutkan “mushaf al-Qur’an ini”, tidak menyebut “mushaf al-Qur’an Berwajah Puisi”, sebutan dan data lengkap sebagaimana untuk mushaf-mushaf lain yang minta Tanda Tashih Lajnah. Itu artinya, menurut Sirojuddin, Lajnah hanya membenarkan tetapi tidak mengakui adanya mushaf Al-Quran Berwajah Puisi.

Sirojuddin menyayangkan, masyarakat sudah terlebih dahulu mengetahui (atau hanya mendengar) isu “mempuisikan” Al-Qur’an, sebelum melihat sendiri bentuk jadinya. Akibatnya, timbul dugaan-dugaan, bahkan prasangka. Ketua MUI K.H. Hasan Basri, misalnya, sebagaimana dikutip Media Indonesia Minggu, 29 Agustus 1993, akan tetap menolak terbitnya al-Qur’an Berwajah Puisi karena dianggap mempermainkan Al-Quran. Sungguh, menurut Sirojuddin, tidak sejumput pun ada keinginannya (bersama Jassin) untuk mempermainkan Al-Quran. Penyusunan ayat-ayat yang “berwajah” puisi itu, mengutip keinginan dan maksud H.B. Jassin, semata-mata untuk memperindah perwajahannya saja. (D. Sirojuddin A.R – Jurnal Ulumul Qur’an, November 1993).

Agaknya, ketiga uraian di atas sudah menggambarkan jelas apa dan bagaimana titik-tolak kontroversi terhadap Al-Quran Berwajah Puisi, walaupun secara singkat saja. Maka, selanjutnya, apa yang dapat kita petik dari serangkaian polemik tersebut?

Selayang Pandang Puitisasi Al-Quran

Ketika selesai membaca kontroversi tersebut, saya rasa persoalannya terletak pada puisi itu sendiri. Maka, ada baiknya kita hadirkan perbedaan lay-out dan terjemahan seperti apa Al-Quran Berwajah Puisi dengan Al-Quran pada umumnya.

Dalam tulisan Sirojuddin, lay-out atau tata cara penyusunan ayat pada Al-Quran Berwajah Puisi didasarkan pada pertimbangan unit masalah untuk setiap baris. Namun di sini, saya akan menghadirkan terjemahan bahasa Indonesianya saja, sebab akan rumit rariweuh jika kita hadirkan bahasa Arab dalam bentuk teks tertulis (sebagai gantinya akan saya hadirkan gambarnya).

Sirojuddin mengemukakan tentang, jika saja setiap qari di Indonesia paham Bahasa Arab (demikian saya membayangkan), maka manakah di antara 4 susunan ini yang paling pas dan termanis pengertiannya? Sebaiknya saya coba menerjemahkannya dengan memberi tanda // sebagai pembatas tiap baris:

1. Al-Qur’an Berwajah Puisi: / Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” / padahal mereka tiada ber-iman (8). / Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). /

2. Mushaf Standar Indonesia: / Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal mereka tiada / beriman (8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu / dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). Di hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, /

3. Mushaf Madinah/Qadisiyah: / Penglihatan mereka ada sumbat, dan bagi mereka siksa yang besar (7). Dan di antara manusia / ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal mereka tiada beriman (8). / Mereka hendak menipu Allah dan orang- orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri / sedang mereka tidak sadar (9). Di hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. /

Atas dasar itu, menurut Sirojuddin, sejak awal ia sudah melihat, tata susun Al- Qur’an Berwajah Puisi mempunyai keunggulan ganda: enak dibaca, mudah dihafal, tidak mumet dan sub-sub masalahnya terkoordinasi di tiap-tiap baris. Ia menegaskan pula: disadari atau tidak, dengan membiarkan dua mushaf terakhir (dan mushaf-mushaf lain) beredar di antara pembaca kita, sesungguhnya kita sudah bersikap sangat demokratis. Mengapa untuk al-Qur’an Berwajah Puisi tidak?

Bagaimana menurut pembaca sekalian? Manakah yang menarik untuk dilafalkan oleh qari?

Bagaimana pun juga, lanjut menurut Sirojuddin, jika saja setiap ayat (terjemahan) di atas di-tempatkan di setiap baris, selain susunannya lebih manis, pengertiannya pun tidak akan berbeda dengan puisi kita. Terminal-terminal di ujung ayat sendiri diistilahkan dengan fasilah (pembatas), diambil dari firman Allah sendiri dalam surat Fussilat ayat 3 atau 44, dan bukan qafiyah (terminal huruf di ujung bait puisi atau sajak). Tetapi, Ahmad Badawi (Min Balagatil Qur’an, h. 75) memandang sama saja: kedudukan fasilah dalam ayat menempati kedudukan qafiyah dalam bait puisi. Karenanya, fasilah adalah qafiyah, dan hukum-hukum puisi berlaku juga untuk al-Qur’an.

Dengan demikian, Sirajuddin menegaskan bahwa, penamaan al-Qur’an Berwajah Puisi paling tidak, didekatkan ke hal semacam itu, tidak untuk menganggap dia benar-benar puisi. Salah satu keberatan al-Qur’an disebut puisi, mungkin bisa juga kita sambungkan dan berkaitan dengan firman Allah (QS As-Syu’ara: 224-225) tentang kelakuan penyair yang tidak beriman yang hidup di antara dusta dan kejorokan. Maka kita ketahui bersama, Nabi Muhammad SAW dibersihkan dari sifat-sifat ina, sehingga timbul anggapan tidak layak al-Qur’an ciptaan Penyair.

Dalam QS Yasin: 69 dinyatakan, “Kami tidak mengajari dia (Muhammad) puisi, dan berpuisi itu tidaklah layak baginya.” Dari contoh itu, menurut Sirojuddin, tidak tampak penolakan al-Qur’an sebagai puisi. Demikian juga firman Allah dalam QS al-Haqqah: 43, “Dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair,” menunjuk kepada ‘manusia’ sebagai penyair dimaksud: al-Qur’an bukanlah karya orang tersebut.

Syahdan. “Apakah Allah SWT adalah Penyair Agung, dengan firman-firman-Nya yang lebih dari sekadar syair biasa?” Celetuk Sirojuddin di akhir catatannya. Selebihnya sila pembaca telusuri lengkap kontroversinya. Sungguh, saya sudah tak kuat meneruskan pembahasan ini semua. Assalamualaikum Wr Wb.***