dok. Peta Potensi Investasi Terpadu
Pemekaran Bogor Barat menjadi kabupaten baru jika dikonsepkan secara utuh dan matang, kami rasa, selain menawarkan tantangan—tentu akan menjadi peluang unik yang dipengaruhi kondisi geografis wilayah dari ciri khas Bogor Barat itu sendiri. Pemahaman mendalam tentang aspek geografis amat sangat penting untuk merumuskan strategi pembangunan dan perencanaan wilayah yang efektif. Sebab, kita tahu, Bogor Barat memiliki beragam karakteristik geografis, yang secara khusus kita kerucutkan menjadi daerah pemukiman lereng pegunungan dan daerah pemukiman dataran rendah, yang mesti dipertimbangkan secara utuh menyangkut pendekatan pembangunan infrastrukturnya.
Lihatlah topografi yang berbukit-bukit dan curam, di Kecamatan Pamijahan misalnya, tentu akan menyulitkan pembangunan transportasi, aksesibilitas, dan seterusnya, yang mustahil dipilih sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat. Pembangunan infrastruktur dan transportasi harus mempertimbangkan geometri jalan yang aman dan efisien untuk menghindari kecelakaan dan kerusakan infrastruktur akibat bencana alam, seperti tanah longsor dan risiko banjir. Atau, bayangkan saja misal, bagaimana jika para perancang pemekaran memilih daerah Kecamatan Nanggung sebagai upaya refleksi atas potret kesejarahan, dengan dasar mengait-hubungkan pada Kantor Bupati pertama (Kab. Bogor) pada masa Ipik Gandamana, dan tidak mengindahkan kenyataannya aspek wilayah yang juga rawan bencana, serupa Kecamatan Pamijahan?
Dengan begitu, kita tahu, di balik topografi dan wilayah rawan bencana, pemekaran wilayah juga biasanya diikuti oleh peningkatan urbanisasi yang pesat. Proses ini dapat menyebabkan lonjakan jumlah penduduk, sehingga meningkatkan permintaan akan infrastruktur dasar seperti perumahan, layanan kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Dalam konteks ini, perencanaan yang cermat sangat penting untuk memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun mampu mengakomodasi pertumbuhan tersebut. Sebagai contoh, tata kelola (calon) Pusat Pemerintahan yang efektif dan berkelanjutan adalah kunci dalam menghadapi tantangan yang muncul akibat pemekaran. Kerjasama antara pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan responsif.
Penerapan prinsip-prinsip tata ruang yang baik, seperti zonasi yang jelas, pengaturan penggunaan lahan, dan perlindungan terhadap area hijau, harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang seimbang. Dan tak lupa, pengembangan kawasan perkotaan dan letak kawasan pusat pemerintahan juga harus mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dapat membantu menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi konflik yang mungkin muncul akibat pergeseran sosial akibat urbanisasi. Oleh sebab itu, kami rasa, perencanaan wilayah harus fokus pada pengembangan yang berkelanjutan, yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga melindungi lingkungan, dan bahkan warisan budaya.
Sejalan dengan itu, akan timbul pertanyaan tentunya. Wilayah apa saja yang akan masuk ke dalam pemekaran Kabupaten Bogor Barat? Lalu bagaimana kajian dan perencanaan pemekaran Kabupaten Bogor Barat yang digadang-gadang sudah memiliki dua opsi yang akan dijadikan Pusat Pemerintahan, antara Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Rumpin?
dok. Peta Potensi Investasi Terpadu
Secara umum, kita bisa melihat dengan saksama, wilayah pembangunan Kabupaten Bogor bagian Barat terdiri dari 14 kecamatan (baca: SK DPRD Kab. Bogor no.12 Tahun 2007), yaitu: Kec. Leuwiliang, Kec. Leuwisadeng, Kec. Nanggung, Kec. Pamijahan, Kec. Parung Panjang, Kec. Dramaga, Kec. Rumpin, Kec. Sukajaya, Kec. Tenjo, Kec. Tenjolaya, Kec. Ciampea, Kec. Cibungbulang, Kec. Cigudeg, dan Kec. Jasinga. Calon Daerah Otonom Baru (DOB) Bogor Barat memiliki total 166 Desa, dan dengan jumlah penduduk 1.606.619 jiwa (baca: Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2024-2026) tersebar di Leuwiliang (125.552 jiwa), Leuwisadeng (77.871 jiwa), Nanggung (99.812 jiwa), Pamijahan (159.236 jiwa), Parungpanjang (118.727 jiwa), Dramaga (111.112 jiwa), Rumpin (147.432 jiwa), Sukajaya (67.988 jiwa), Tenjo (73.845 jiwa), Tenjolaya (64.428 jiwa), Ciampea (170.206 jiwa), Cibungbulang (147.544 jiwa), Cigudeg (135.373 jiwa), dan Jasinga (107.493 jiwa).
Secara khusus, dari empat belas kecamatan yang masuk kategori pemekaran Kabupaten Bogor Barat, Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Rumpin, dan Kecamatan Leuwiliang dipilih sebagai calon pusat pemerintahan yang tengah dibahas dan dikaji dalam perumusan Ibu kota Kabupaten Bogor Barat, nantinya. Memang, ketiga kecamatan pilihan itu kami tinjau berada di posisi cukup strategis, baik secara perekonomian, ketertataan fasilitas perkotaan yang sudah lengkap, luas lahan kosong (milik pemerintah) untuk pembangunan, serta perencanaan aksesibilitas transportasi ke dalam maupun ke luar kota.
Cigudeg Sebagai Pusat Pemerintahan
Dari empat belas kecamatan tersebut, maka timbul pertanyaan paling mendasar: mengapa Kecamatan Cigudeg diajukan sebagai nominasi pilihan Ibukota atau pusat pemerintahan Kabupaten Bogor Barat nantinya? Tentu, pengajuan ini dengan berbagai pertimbangan dan kajian yang memang belum dibuka untuk umum. Namun, jika dilihat secara wilayah geografis, pemilihan Cigudeg sebagai pusat pemerintahan pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sebagaimana menyitir kajian BIG (Badan Informasi Geospasial, 2019), dalam sebuah wawancara dengan anggota tim ahli yang terlibat dalam studi Desa Cigudeg pada Tahun 2008, mengatakan bahwa penentuan Desa Cigudeg didasarkan pada indeks sentralitas (baca: Aksesibilitas Desa Cigudeg Sebagai Calon Ibukota Kabupaten Bogor Barat. 2019).
Ketika diteliti Tim BIG, seharusnya persoalan indeks sentralitas berdasarkan kelengkapan fasilitas infrastruktur, sementara faktanya menunjukkan bahwa fasilitas infrastruktur Kecamatan Cigudeg tidak selengkap Kecamatan Leuwiliang, yang menariknya alasan utama persoalan itu hanya merujuk pada lahan daerah yang masih kosong. Jauh lebih menarik lagi, ketika terbaca alasan dasar pemilih Kecamatan Cigudeg beserta Desa Cigudeg-nya sebagai kandidat ibukota DOB Kabupaten Bogor Barat pada tahun 2008 lebih didasarkan pada pertimbangan politik(?). Walaupun terkesan aneh, tapi pilihan wilayah berdasarkan pertimbangan politik diperbolehkan dalam perencanaan daerah (Rencana Tata Ruang Wilayah) selama tidak bertentangan dengan alokasi ruang dalam pola ruang.
Sedangkan jika dilihat dari potensi bencana, Cigudeg masuk kategori “zona merah” rawan bencana. Pembaca mungkin masih ingat peristiwa banjir bandang dan longsor yang sempat menimpa beberapa wilayah di Kecamatan Cigudeg dan Sukajaya awal tahun 2020 lalu. Intensitas hujan yang saat itu memang sangat tinggi menyebabkan sungai Cidurian, yang melintasi kawasan Kecamatan Cigudeg, meluap dan mengakibatkan sejumlah kurang lebih 3000 orang di kawasan Desa Sukamaju harus terkena dampaknya. Banjir bandang tersebut bisa saja terulang kembali kapan saja, mengingat kejadian tersebut terkadang memang masih kerap terjadi di kawasan sekitaran pinggir sungai Cidurian ketika intensitas hujan tinggi meskipun tidak sedahsyat tahun 2020.
Hal itu sejalan dengan kajian yang kami tinjau dari Mohammad Mahfud dkk. yang terbit tahun 2022 di Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Pakuan yang menerangkan bahwa pemetaan potensi bahaya banjir di Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, dengan metode Topographic Wetness Index (TWI) mampu memvisualkan dengan baik potensi bahaya banjir di daerah tersebut. TWI menggambarkan nilai indeks kebasahan lahan dihitung berdasarkan kondisi topografi yang dikelompokkan menjadi 5 interval. Nilai indeks kelembaban tertinggi 9,657 – 22,185, merupakan daerah potensi bahaya banjir sangat tinggi terdapat di Desa Sukamaju, Rengasjajar, Tegallega dan Batujajar dengan luas wilayah 2.513,87 ha atau 1%, sedangkan wilayah dengan potensi bahaya banjir sangat rendah seluas 62.754,96 ha atau 34% dari luas wilayah yang dipetakan yaitu 184.176,31 ha. Luas jangkauan wilayah yang berisiko bahaya banjir itu, mereka dasarkan pada hasil buffering, di mana pengklasifikasiannya menggunakan Multiple Ring Buffer. Potensi bahaya banjir yang sangat tinggi seluas 96,195 ha dengan jarak buffer 25 m, sedangkan wilayah dengan potensi bahaya banjir rendah seluas 59,290 ha dengan jarak Buffer 75-100 m dari sempadan Sungai Cidurian, total luas buffering adalah 274,755 ha.
Dengan demikian, jika pada akhirnya Kecamatan Cigudeg dipilih sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat, kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana semisal banjir tersebut harus dipertimbangkan dengan matang. Selain menjadi pertimbangan, barang tentu aspek-aspek pembangunan di sana juga mesti memikirkan potensi-potensi bencana yang ada. Sehingga, perencanaan yang baik untuk memulai pembangunan pusat pemerintahan di sana berdasarkan hal-hal yang visioner dan berlandas pada kewaspadaan serta mitigasi. Kajian topografi lahan-lahan yang akan digunakan sebagai tempat pembangunan gedung dan infrastruktur pun harus dilakukan secara serius. Namun, di balik itu semua, pemilihan Kecamatan Cigudeg juga pasti memiliki nilai lebih yang patut diperhitungkan.
Aspek sentralitas, memang ada benarnya. Jika dilihat dari peta calon DOB Kabupaten Bogor yang mencakup empat belas kecamatan, Kecamatan Cigudeg berada di hampir titik tengahnya. Harapannya pasti jarak tempuh dari kecamatan-kecamatan yang ada jadi cukup merata atau menjangkau pelayanan publik bagi seluruh wilayah Kabupaten Bogor Barat. Berkaca pada letak Cibinong yang sangat jauh dari Jasinga, Tanjungsari, dan bahkan Cisarua, para inisiator pemekaran cukup sadar dan teliti memikirkan persoalan jarak tempuh ini. Aksesibilitas dalam kota menjadi perhatian utama dalam aspek sentralitas ini. Belum lagi, tentu aspek aksesibilitas menuju luar kota sebagai media pergerakan aktivitas dan perekonomian masyarakat yang juga bisa menjadi alasan kuat, misal saja bagaimana akses menuju luar kota dari pusat pemerintahan ini?
Calon DOB Kabupaten Bogor Barat memiliki perbatasan wilayah yang unik. Ke sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi (Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk di dalamnya) yang pasti sepi dan tidak akan menjadi fokus utama pembangunan. Ke arah barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak yang juga tidak menjanjikan adanya pergerakan masyarakat dan perekonomian yang masif. Ke arah timur, berbatasan dengan Kabupaten Bogor (bagian Tengah?) yang pasti kita tahu sudah teramat padat jika harus menambah akses baru dengan menggusur pemukiman dan pembebasan lahan yang membebani anggaran. Dan yang menjadi alasan utama pemilihan Cigudeg bisa saja karena perbatasan ke arah utara yang langsung menuju Tangerang dan Tangerang Selatan. Harapannya akses menuju ke arah ini akan mempermudah pembangunan. Pasalnya, di daerah Tangerang dan Tangerang Selatan, akses tol sudah tersedia, pemukiman sudah lebih maju, dan perekonomian di sana bergerak sangat masif.
Seperti yang kita tahu, bahwa suatu pusat pemerintahan pada dasarnya mesti ditunjang oleh infrastruktur jalan yang memadai seperti jalan tol, jalan nasional dan jalan provinsi. Jika Cigudeg menjadi pusat pemerintahan, akses-akses tersebut akan menjadi fokus utama pembangunan infrastruktur yang terlebih dahulu akan didirikan sebagai mata rantai akses ke luar kota yang juga sangat penting. Belum lagi, di daerah ini, masih banyaknya ruang terbuka yang potensial menjadi lahan-lahan tempat berdirinya gedung pemerintahan dan terpancangnya infrastruktur jalan, baik aksesibilitas dalam kota maupun ke luar kota nantinya. Pemilihan Cigudeg sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat memiliki nilai ‘positif pembangunan dan sasaran perekonomian’ dibandingkan wilayah kecamatan lainnya. Bayangkan saja, bila nanti wilayah Cigudeg menjadi “titik tumpu” pasti akan berdampak pada Kecamatan Tenjo, Parung Panjang dan Rumpin yang akan menjadi pusat pemukiman modern dan manufaktur bagi DOB Kabupaten Bogor Barat jika dilihat potensi lahan dan geografis wilayahnya.
Rumpin Sebagai Pusat Pemerintahan
Di balik semangat kajian-kajian pemilihan Kec. Cigudeg (Desa Cigudeg pada khususnya) yang telah diajukan, ternyata hal tersebut memiliki polemik tersendiri. Mengapa demikian? Pasalnya, pada akhir tahun 2020, Bupati Ade Yasin sempat mengatakan pada media kompas.com (baca: Perjalanan Pemekaran Kabupaten Bogor Barat, Diusulkan Sejak 2006, Kini Segera Terwujud) bahwa pemerintah Kabupaten Bogor, melalui dirinya, tengah mengusulkan perubahan calon Ibukota DOB Kabupaten Bogor Barat dari Cigudeg menjadi Kec. Rumpin kepada pemerintah pusat agar dapat mengkaji kembali. Alasannya tidak dijelaskan secara utuh dalam berita tersebut. Wacana Ade Yasin itu apakah mungkin selain pertimbangan potensi dan sumber daya yang dimiliki Rumpin, disejalankan dengan pertimbangan istilah Rumpin secara terminologi yang dapat dimaknai sebagai “Rumah Pimpinan atau Sarumpun Sapimpinan”(?). Atau mungkin, Ade Yasin saat itu khawatir tentang bencana banjir bandang yang baru saja menimpa Cigudeg saat itu bisa terulang kembali kapan saja, termasuk setelah Cigudeg menjadi Ibukota Bogor Barat?
Melengkapi kekurangan sumber informasi itu, hal ini sangat menarik untuk dibicarakan meskipun hanya sebatas lontaran-lontaran asumsi. Jika ditinjau dari letak geografis, Cigudeg dan Rumpin sama-sama memiliki kedekatan wilayah dengan Tangerang dan Tangerang Selatan. Secara dampak positif pembangunan dan perekonomian pun, pemilihan Rumpin sebagai Pusat Pemerintahan tidak akan jauh berbeda dengan uraian yang sudah dijelaskan dalam kajian Cigudeg, baik itu aksesibilitas di dalam dan ke luar kota.
Hanya saja, wilayah Rumpin tidak memiliki aspek sentralitas dalam kota sebagaimana Cigudeg. Kecamatan Rumpin, jika dilihat dari peta geografis (Kabupaten Bogor bagian Barat), berada di sisi Timur berbatasan dengan Rancabungur, Parung, Gunung Sindur, yang lebih dekat dengan wilayah Kabupaten Bogor bagian Tengah, dibandingkan wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat, seperti Kecamatan Sukajaya dan Kecamatan Nanggung. Dengan begitu, jelaslah Rumpin tidak memiliki aspek sentralitas jika dipilih sebagai Pusat Pemerintahan, sama halnya seperti pemilihan Cibinong sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor.
Kecamatan Rumpin juga memiliki dampak negatif sebagai wilayah rawan bencana. sebagaimana hasil pengamatan lapangan Himmes Fitra Yuda dkk. yang terbit di Jurnal Geografi Vol.12 No. 2 2023, (baca: Aspek Geologi Lingkungan dalam Rangka Pemekaran Wilayah Administrasi dalam Pembangunan Ibu Kota Kabupaten Bogor Barat) menunjukkan bahwa bencana longsor di wilayah Rumpin disebabkan dari bekas tambang non-logam yang merupakan potensi awal terjadinya longsor besar di daerah tersebut. Bencana tersebut menyebabkan 22 kepala keluarga harus dievakuasi. Batuan penyusun daerah bencana adalah produk vulkanik berupa breksi andesit yang lapuk di atas aliran lava andesit, sedangkan batuan dasarnya berupa batu pasir, tufa batu apung, napal dengan moluska, batu gamping, dan batu lempung (Formasi Bojongmanik).
Sedangkan tanah lapuk berupa pasir berlumpur memiliki kandungan tufa yang tinggi. Hasil survei lapangan di daerah Rumpin banyak ditemukan material longsor di sawah dan tanah berupa bongkahan-bongkahan, sekitar 100 meter dari pemukiman. Jenis gerakan tanah yang terjadi di Cilamur Pabuaran, Desa Leuwibatu adalah longsoran tanah dan batuan. Longsoran terjadi karena adanya perbedaan permeabilitas antara tanah yang sudah lapuk dengan lava andesit yang ada di bawahnya. Curah hujan yang tinggi, drainase yang buruk, dan lereng yang terjal menyebabkan air hujan masuk ke dalam tanah yang lapuk sehingga lereng menjadi jenuh air. Akibatnya, berat massa tanah bertambah dan kuat geser menurun, serta curah hujan yang tinggi mengakibatkan tahanan lereng lemah dan kemudian didorong oleh gravitasi maka terjadilah gerakan tanah tipe longsor.
Pengkajian topografi di wilayah Kecamatan Rumpin ini menjadi semacam “alert” penting untuk proses pembangunan nantinya. Jelas, bahwa ketika Kecamatan Rumpin dipilih, kemudian salah satu desa di sana dijadikan pusat administrasi dan pelayanan publik, pemerintah akan mendorong pembangunan infrastruktur untuk memperkuat konektivitas antar wilayah, gedung-gedung akan terpampang di sana. Sebab itu akan menjadi semacam kewajiban pemerintah untuk membangun aksesibilitas di dalam maupun ke luar kota yang akan mengarah pada pembangunan infrastruktur secara masif. Bagaimana tidak, akses menuju Kecamatan Rumpin belum bisa dikatakan baik dan belum banyak serta leluasa untuk memenuhi sarana Pusat Pemerintahan. Angkutan umum yang kadang menjadi andalan warga pun belum dapat diandalkan, baik dari arah Ciseeng, Rancabungur, Leuwiliang, Cigudeg, maupun Parung Panjang. Hal itu berarti pembahasan topografi juga mesti melibatkan kajian atas wilayah-wilayah sekitarnya, karena infrastruktur pembangunan (baru atau pun pelebaran) jalan akan melibatkan mereka.
Leuwiliang Sebagai Pusat Pemerintahan
Setelah pengajuan Cigudeg dan isu pengalihan ke Rumpin untuk menjadi calon ibu kota DOB Kabupaten Bogor Barat, sempat tersiar juga berita bahwa pemerintah berencana menjadikan Leuwiliang sebagai salah satu nominasinya. Tentu saja, keputusan pemilihan Leuwiliang sebagai opsi dalam bursa ibu kota DOB Kabupaten Bogor Barat bukan tanpa alasan yang jelas dan bukan semena-mena. Berbagai pertimbangan juga muncul untuk mendukung pengajuan ini, di antaranya adalah kelengkapan fasilitas perkotaan yang dianggap mumpuni. Pasalnya, memang, di Leuwiliang ini menjadi salah satu wilayah kecamatan dari 14 kecamatan yang memiliki rumah sakit sekelas RSUD tipe B, terminal tipe C, akses jalan, fasilitas pendidikan sekelas universitas, dan pusat perekonomian sekelas pasar yang besar. Selain itu, pesatnya pertumbuhan pemukiman dan perumahan di Leuwiliang juga mungkin menjadi salah satu alasan yang mendukung fasilitas perkotaan yang dimaksud. Namun, apakah hal itu bisa meniadakan aspek-aspek kajian lain seperti potensi bencana dan ketersediaan lahan kosong untuk mendirikan bangunan-bangunan pemerintahan?
Setiap wilayah di mana pun, hampir semua memiliki potensi bencana, pun begitu dengan Leuwiliang. Meskipun belum jelas yang dipilih dari Kecamatan Leuwiliang letak pemerintahan nantinya akan berada di desa yang mana, namun boleh saja kita bahas bahwa Puraseda, pernah mengalami bencana alam longsor dan banjir bandang beberapa waktu lalu. Meski nanti yang akan dijadikan lokasi pusat pemerintahan DOB Kabupaten Bogor Barat bukanlah sekitaran daerah Purasari, namun potensi itu nyata pernah terjadi di wilayah teritori Kecamatan Leuwiliang. Namun menurut laporan dari Sundaurang.id (dalam berita: Masuk Kawasan Rawan Bencana, Masyarakat Empat Desa di Wilayah Leuwiliang Bogor ini Diminta Waspada. 2024), ada empat desa yang memiliki potensi bencana di Leuwiliang, yaitu Desa Puraseda, Desa Purasari, Desa Pabangbon, dan Desa Cibeber II, sedikit banyak hal itu akan memengaruhi pada penilaian kelayakan Leuwiliang untuk menjadi pusat pemerintahan. Walaupun, sangat mungkin bahwa letak lokasi pusat pemerintahan sebenarnya jauh dari titik rawan bencana tersebut. Katakanlah, bisa saja desa yang dipilih merupakan desa yang dekat dengan pusat ekonomi (pasar) Leuwiliang, dalam hal ini kawasan sekitar jalan raya Karehkel misalnya, Namun, bukan hanya hal ini yang bisa dibahas. Lebih jauh dari itu, maka kita kembali pada tuntutan masyarakat sekaligus yang berupa keluhan bahwa jarak ke pusat pemerintahan hari ini di Kabupaten Bogor sangatlah jauh. Intinya, sentralitas Leuwiliang mesti juga dilihat untuk mengatasi keluhan ini nantinya akan kembali terulang.
Jika benar Leuwiliang disahkan menjadi ibu kota calon DOB Kabupaten Bogor Barat, masyarakat yang berada di sekitaran Parungpanjang dan Tenjo sepertinya akan kembali berucap hal yang sama, seperti ketika masih dalam naungan Kabupaten Bogor. Pasalnya, dalam kenyataan yang ada, letak RSUD Leuwiliang yang berada di titik pusat keramaian di Leuwiliang kadang tidak menjadi rujukan berobat bagi masyarakat di sana. Pada bagian selanjutnya, hal ini dibahas secara khusus mengapa masyarakat Parungpanjang tidak memilih menuju RSUD Leuwiliang, dan memilih ke rumah sakit di kabupaten tetangga untuk berobat. Intinya, pasti ada pada persoalan jarak dari lokasi mereka ke RSUD Leuwiliang cukup jauh dan harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Meskipun jika dibandingkan dengan harus menuju Cibinong jika harus ke pusat pemerintahan, memang Leuwiliang lebih terjangkau dengan segala keterbatasan yang ada. Keluhan-keluhan baru terkait ini akan sangat mungkin terjadi dan muncul kembali dengan alasan, “percuma pindah, tak mengubah signifikan keterjangkauan pelayanan terhadap masyarakat secara luas.”
Belum lagi, selain jauh dari beberapa wilayah yang saat ini banyak mengeluh-kesahkan kenyataannya, pemilihan Leuwiliang sebagai pusat pemerintahan cukup beresiko mengingat jumlah penduduknya yang cukup padat dengan wilayah yang sempit memanjang dan kontur yang berbukit-bukit. Ketersediaan lahan kosong untuk nantinya menjadi tempat dibangunnya kantor pemerintahan menjadi pembahasan yang harus juga dipikirkan. Memang, bisa saja kantor-kantor itu menggunakan aset bangunan yang ada dan dimiliki pemerintah. Konsekuensinya, tidak akan terjadi sentralisasi pusat pemerintahan seperti yang terjadi di Kota Bogor. Benar, itu bisa menjadi solusi pembiayaan pembangunan, namun akan menjadi masalah baru nantinya. Letak kantor pemerintahan yang menclak-menclok antara kantor bupati, DPRD, dinas-dinas, dan lainnya akan menjadi keluhan baru. Ditambah jika kita melihat kondisi di pegunungan Galuga–yang letak geografisnya masuk ke wilayah Cibungbulang–masih menjadi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) atas sampah-sampah wilayah Kabupaten Bogor dan bahkan Kota Bogor perlu menjadi perhatian penting. Pertanyaannya, jika kawasan Kecamatan Leuwiliang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bogor Barat, bagaimana kondisi pembuangan sampah di pegunungan Galuga yang berbatasan langsung dengan pusat pemerintahan di kecamatan Leuwiliang, nantinya?
Refleksi Pembacaan
Setelah melihat gambaran selayang pandang mengenai wilayah calon Pusat Pemerintahan di atas, maka aspek geografis menjadi elemen yang penting dalam menentukan pusat pemerintahan dan strategi pembangunan Kabupaten Bogor Barat ke depan. Ketiga wilayah tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing, dengan kelebihan dan juga kekurangannya masing-masing.
Kecamatan Cigudeg yang menjadi titik tengah sebagai Calon Pusat Pemerintahan, memiliki potensi yang memudahkan akses dalam pemerataan pelayanan publik bagi 13 kecamatan lainnya. Namun, wilayah ini tidak lepas dari risiko bencana alam seperti banjir, terutama daerah-daerah yang berada dekat dengan aliran sungai Cidurian. Di sisi lain, Kecamatan Rumpin juga memiliki kelebihan pada akses ke wilayah-wilayah penopang ekonomi, seperti Tangerang dan Tangerang Selatan. Namun, letaknya yang berada di ujung timur kurang memenuhi aspek sentralitas untuk dapat melayani 13 kecamatan lainnya, sebab akan lebih mengedepankan aksesibilitas ke luar kota lainnya, seperti ke Tangerang Selatan. lalu kecamatan Leuwiliang memiliki kelebihan sebab sudah tersedia fasilitas kesehatan, pasar hingga terminal yang menjadi poros dalam pelayanan publik. Namun, sama halnya dengan daerah Rumpin, letaknya geografis kecamatan Leuwiliang kurang memenuhi aspek sentralitas, juga kurangnya ketersediaan lahan milik pemerintah, yang nantinya tentu akan mendorong pemerintahan baru untuk melakukan pembebasan lahan.
Maka, tata kelola dari pemekaran ini diharapkan dapat menjawab tantangan seperti rendahnya produktivitas desa/kota akibat desain yang kurang optimal, pesatnya pembangunan infrastruktruktur tapi jauh dari kebutuhannya. Sebab pemekaran bukan hanya sekadar pemindahan Pusat Pemerintahan ke wilayah baru, namun juga menciptakan pembangunan yang lebih terencana dan berkelanjutan. Pemilihan lokasi pusat pemerintahan bukanlah sebuah keputusan yang bisa dibuat tanpa mempertimbangkan berbagai aspek, terutama faktor geografis yang pada dasarnya akan memengaruhi kualitas kehidupan masyarakatnya. Jika pemekaran Kabupaten Bogor Barat ingin sesuai harapan dan kebermanfaatnya bersama, maka perencanaan infrastruktur harus dikaji secara dalam dan terbuka aksesnya kepada masyarakat, terkhusus bagaimana cara mengakomodasi penanggulangan potensi bencana, bagaimana cara memastikan aksesibilitas yang baik ke seluruh wilayah, dan itu kami refleksikan sebagai kunci prioritas utama bagi para konsorsium pemekaran.
Pemekaran Kabupaten Bogor Barat merupakan langkah besar yang dapat membuka peluang pembangunan, tetapi juga penuh tantangan. Aspek geografis yang kompleks, dengan adanya daerah berbukit, rawan bencana, sentralitas, dan masalah aksesibilitas, memerlukan perencanaan yang matang dan terintegrasi. Pemilihan pusat pemerintahan antara Cigudeg dan Rumpin menunjukkan dua sisi potensi dan tantangan yang berbeda. Apapun pilihan akhirnya, yang terpenting adalah memastikan bahwa pemekaran ini dapat menciptakan daerah yang berkembang dengan infrastruktur yang memadai, lingkungan yang terlindungi, dan masyarakat yang sejahtera.
Mengapa pembahasan calon Pusat Pemerintahan ini penting? Sebab nantinya, sebagai pusat pemerintahan, daerah yang dipilih akan memberi dampak pada wilayah-wilayah sekitarnya. Juga, akan berdampak pada pergerakan hidup manusianya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Belum lagi, yang juga tak kalah penting, bagaimana pembangunan ini menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan sebab beririsan langsung dengan lingkungan dan alam di sekitaran Pusat Pemerintahan seperti tanah, air, hutan, dan udara bagi masyarakatnya. Yap! Sumber daya tarik atau magnet pembangunan akan bermula di titik ini!
Sebagai penutup, meminimalisir kecurigaan dan prasangka para pembaca budiman, mengenai sikap dan pandangan kami terhadap pemekaran Kabupaten Bogor Barat, maka jangan ragukan kami terhadap pembangunan dan pemekaran ini. Sedikit pun kami tentu bukan orang-orang yang anti pemekaran, pembangunan, atau apa pun itu. Sebab, pada kenyataannya, Bogor Barat sudah selayaknya menjadi Daerah Otonomi Baru, dan itu tidak bisa dipungkiri mengingat jumlah penduduk sudah melewati batas maksimum, pertimbangan akses administratif, pemerataan pembangunan, dan sebagainya.
Dengan adanya tulisan ini, mengingat kurangnya informasi terkait pemekaran dan tinjauan kajiannya, kami mengajak pembaca budiman atau siapa pun untuk menyadari bahwa di tengah kita ada perjuangan yang telah dimulai sejak belasan bahkan dua puluhan tahun lalu, agar setidaknya perjuangan itu bukan polemik yang hanya berisi kongres gaya pos ronda dengan memperdebatkan mana yang cocok antara Cigudeg, Rumpin, Leuwiliang atau daerah mana pun yang akan menjadi Ibukota atau pusat pemerintahan, lewat metode tebak-tebakan, lalu lenyap begitu saja.
Dengan pembacaan dan melalui tulisan, sependek apapun hasil dari catatan kajian, tentu memiliki nilai dan bisa menjadi harapan bersama bahwa, usaha itu merupakan salah satu jalan keluar agar terjalin pemahaman bersama, arsip perjuangan bersama, bagaimana menelusuri dan memaknai urgensi potensi pembangunan. Bisa kita tilik bersama hal itu baik dari segi mitigasi, maupun topografi wilayah, yang muaranya akan sampai pada perdebatan menarik di setiap diskusi. Kami mengandaikan jika perjuangan ini diisi oleh para muda-mudi, bapak-bapak, bahkan dalam obrolan ibu-ibu yang bisa lebih mendasar, bukan karena egoisme masyarakat kalangan tertentu, tapi berasal dari kajian, pertimbangan, dan perhitungan serta perencanaan yang siap bahkan matang.
Bahkan jauh keluar dari urgensi pandangan umum di atas, yang menarik adalah bagaimana harapan kami, yang sejak lama kami tunggu dan damba-dambakan, sangat mungkin dengan pemekaran ini kita bisa mendesain Bogor Barat dalam wahana nilai yang membangkitkan wisata sejarah dan budaya melalui kecagar-budayaan yang berada di wilayah Bogor Barat, dan itu juga berlaku terhadap ekonomi kreatif, maupun wisata ekologinya, agar tertata secara asri dan berkesinambungan, diolah secara mandiri. Tentunya, akan kami bahas-ulas juga di tulisan kami selanjutnya, sebab kami rasa masyarakat butuh informasi-informasi ini untuk menguatkan dan mengeratkan barisan bersama dalam satu suara: “kemakmuran!”.
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!