dok. rezayudhistira
*Judul tulisan ini merupakan penggalan dari bait puisi yang dibuat oleh Sitor Situmorang berjudul Untuk Pram.
Tulisan ini hasil dari perjalanan panjang atas pembacaan karya-karya Pram dan dibarengi obrolan tak selesai di tiap diskusi dengan berbagai pembahasan. Tahun ini menjadi seratus tahun kelahiran Pramoedya, seorang yang besar karena karya sastra serta buah pikirnya. Ada kesempatan dan waktu yang penulis miliki untuk setidaknya mengikuti dua rangkaian perayaan satu abad Pramoedya Ananta Toer;
Pertama, acara yang diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Acara ini disusun oleh berbagai serikat pekerja dengan menghadirkan Max Lane sebagai pembicara utama yang memaparkan “Mencintai yang belum tuntas dan menuntaskannya: pramoedya, indonesia dan kaum muda” materi kuliah umum tersebut menjadi semacam kilas balik atau pemanggilan kembali memori yang penulis rasakan ketika membaca karya-karya Pram. Perasaan yang lahir secara alami dan kemudian memberi kesadaran juga keberanian untuk memihak pada rakyat.
Pengkaryaan Pram erat kaitannya pada alur cerita yang benar-benar beranjak dari sesuatu yang nol lalu kemudian menjadi sesuatu yang bernilai (revolutionary road). Titik puncak keberhasilan tokoh-tokoh itu bukan pada perlawanan yang mendapat hasil hitam-putih atau terjajah-merdeka, Misalnya pada Minke yang berakhir ditangkap Pangemanann dan tokoh utama lainnya yang berakhir serupa — tidak menjadi apa-apa. Dalam hal itu penulis melihat suatu spirit, suatu kesimpulan yang menunjukan bahwa karya Pram berorientasi pada pembangunan watak dan kesadaran untuk memahami suatu problem dengan lebih substantif. Sehingga perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dapat dikelola menjadi lebih matang dan tajam, itu seperti panjangnya jalan perlawanan Minke dalam Tetralogi Buru di mana ia kemudian terlibat pada organisasi dan elemen-elemen perlawanan lainnya.
Penokohan dalam karya-karya Pram kemenangannya bersifat ilusif, bukan suatu klimaks dari sebuah gerakan. Oleh karena itu cerita-cerita yang dibuat Pram memiliki narasi yang substansial, karena letak perjuangan yang disampaikan olehnya ialah jalan panjang yang mesti ditekuni dengan konsistensi, analisa, observasi, dan keteguhan hati. Perlawanan bukan semata bentuk reaksi atas apa yang hari ini terjadi.
Sedikit bahasan di atas, merupakan poin penting dari kuliah Max Lane yang penulis padatkan. Resistensi para pemuda mesti diakomodir, mesti dikelola dan dimatangkan dengan berorganisasi. Oleh karena itu penulis menyadari betapa pentingnya berhimpun pada suatu kelompok yang memiliki orientasi aksi yang jelas dan konstruktif sehingga terhindar dari suatu aksi yang bersifat momentum dan seremonial semata.
Kedua, acara diskusi yang berlangsung disela pembukaan toko baru Komunitas Bambu di Menteng. Diskusi itu membahas “Pram dari Budaya ke Politik: Saya ingin Lihat Semua ini Berakhir” yang dipantik oleh Chris Wibisana. Diskusi ini lebih khusus membedah Pram secara periodik. Pram dibagi menjadi empat bagian yang mendasar pada karya-karya yang Pram ciptakan. Empat bagian itu merupakan klasifikasi atas karya yang dilahirkan Pram;
1. Titik balik pertama, tahun 1950–1954 dalam kurun waktu ini Pram melahirkan karya-karya pertamanya sebagai pengarang dengan corak rasa humanisme yang cukup kental dan erat kaitannya antara realitas yang dialami Pram mengilhami cerita-cerita yang ia ciptakan dalam novel ataupun cerpen.
2. Titik balik kedua 1954–1960, Pram mulai terbuka dengan kondisi realitas yang ia jalani sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga karya-karya yang dihasilkan dalam kurun waktu ini cenderung mengalami pergeseran dari titik balik pertama, pergeseran itu dapat dilihat dari adanya suatu penyisipan pergulatan sosial masyarakat di tiap karya yang Pram ciptakan seperti pada buku Sekali Peristiwa di Banten Selatan, dll.
3. Titik balik ketiga 1961–1965, sepulang dari penjara akibat buku Hoa Kiau di Indonesia singgungan kehidupan Pramoedya dengan wilayah politik, sosial, dan budaya semakin mesra. Alhasil pada periode ini karya yang dihasilkan Pram mirip-mirip dengan realisme sosialis, lain dari pada itu Pram juga aktif menulis esai menyoal kesusastraan, kebudayaan, serta mengarsipkan fakta-fakta sejarah yang ia dapat dari berbagai sumber.
4. Periode arus balik, mahakarya Pram yakni Tetralogi Pulau Buru terbit setelah Pram lepas dari penjara di Pulau Buru. Pada masa ini juga Pram menciptakan karya-karya yang monumental seperti Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dll.
Empat periodisasi yang diklasifikasi oleh Chris di atas cukup membantu untuk memetakan jalan panjang kepengarangan Pramoedya Ananta Toer. Sebelum menjadi penulis besar seperti yang sekarang kita kenal, di awal kepengarangannya ketika di dalam penjara, Pram sempat melakukan patiraga yang merupakan salah satu pesangon yang diberikan oleh ibunya. Pesangon itu merupakan suatu tindakan spiritual di mana Pram memasrahkan keberlanjutan hidupnya pada Sang Gusti.
“Dengan patiraga itu si kawula datang pada Sang Gusti; Inilah diriku, kukembalikan semua kepadaMu; ambillah semua, bunuhlah kawula ini sekarang juga kalau memang sudak tidak berguna bagi kehidupan.”
Terlepas dari kemagisan/ada ataupun tidaknya pengaruh dari patiraga tersebut, Pram benar-benar mengupayakan jalan kepengarangannya dengan sungguh-sungguh. Siapa yang bisa bayangkan bukunya yang berjudul Arus Balik dengan wujud setebal itu dengan alur cerita yang cukup kompleks Pram selesaikan di dalam penjara.
Seratus tahun Pramoedya Ananta Toer menjadi perayaan yang berharga bagi penulis karena bisa mengikuti rangkaian kegiatannya yang diadakan oleh berbagai kelompok. Bumi Manusia sendiri merupakan buku pertama yang penulis baca dan oleh karena buku itu juga cakrawala ketertarikan penulis pada kesusastraan, kebudayaan, kesenian, dan sejarah makin luas.
Tulisan ini semata sebagai kesan reflektif atas pembacaan terhadap karya-karya Pram. Sebagai satu-satunya kandidat peraih nobel Sastra dari Indonesia, Pram memanglah layak untuk terus kita bicarakan. Sebab keberanian dan keberpihakan yang lahir setelah membaca karya Pram adalah anugerah terindah yang penulis rasakan.