Anak yang Menari di Balik Puasa
Anak itu kembali, ia yang meliuk ketika musim mendekap puasa
sekarang tampak lebih tua, selebihnya serupa
: urakan, keras kepala tapi tetap bersuka sebab puasa kan jelang
lalu anggur, dan malam, bersama kidung ibu setia digantung pada telapak kakinya–memandang ke depan tak membawa kita terlalu jauh, Mak. Tapi mata pandang sama sekali berbeda
Sebentar lagi ia datang, dan hujan yang belum mau pulang
anak dengan gembolan di punggungnya, melintas di ingatan dengan cara yang lagi-lagi serupa–urakan, doa ibu, dan menari lagi
Lalu seperti musim-musim sebelumnya,
menjelang puasa, Ia tetap menari
Aku melihatnya di balik ingatan-ingatan puasa–Anak dengan gmbolan di punggungnya, dan malam, dan kidung ibu, dan, dan menari, dan melompat ke kepalaku
Pamijahan,
Maret, 2025
Tirai
Kita memang selalu di belakang tirai
Sembunyi dari riuh siang dan malam-malam sansai
lekas melupakan ucapan mulia yang Ia bisikkan pada sepasang telinga yang menempel pada kulit bayi–setelah bersaksi, pergilah ke alamat yang membuat segalanya lepas dan tergerai
Maka Ia siapkan musim yang sanggup merangkum almanak kealpaan
supaya tirai-tirai terbuka
dan wajah yang terbakar hari-hari lekas memudar–satu tirai tersibak, wajah terkelupas, dan kau bakal memasuki tirai lain yang lebih banyak menampilkan wajah yang kau sangka Ialah pemiliknya
Bahkan pun musim ini
pelantang di surau akan lebih sering menggemakan ayatNya
Wajah-wajah pelindung diri dikenakan, pemuas dahaga kasat mata tampil memekakan–mungkin hanya semusim, dan Ia segera lewat seperti angin
Tak ada yang membekas, tak ada wajahnya
Sebab kita masih sembunyi, di sana
di balik tirai, menggenggam alamat yang kita sangka telah sampai padanya
Pamijahan,
Maret 2025