Pernah suatu ketika, barangkali mulanya karena sering muncul dan hinggap-mengendap di dalam diri, saya menemukan banyak pertanyaan tentang puisi. Kekuatan sebuah puisi, kriteria puisi—baik atau buruk, bagus atau jelek, benar atau salah, yang bahkan sulit untuk mencari acuan umumnya, bahkan ke-ekstrem-an puisi, manjadi beberapa dari sekian banyak yang hadir menyapa disaat yang selalu tepat. Hal-hal tersebut mendarat setiba sepi; renungan di kamar mandi, dini hari, juga di pagi hari saat meneguk sebuah kopi. Jika seperti itu, saya pikir, barangkali tidak saya sendiri yang mengalami.
Saya teringat bahasan tentang ini di esai berjudul Tugas (Iseng) Puisi (yang termaktub di kolom Senggang, Riau Pos edisi 9 November 2014) dari seorang sastrawan sekaligus redaktur sebuah media massa di Riau; Marhalim Zaini. Esai itu sangat mengesankan saya sebagai orang yang banyak mempertanyakan soal puisi. Dalam esai itu, Marhalim Zaini mengungkapkan beberapa hal soal “tugas” puisi yang juga pernah menjadi kegelisahan para sastrawan kawakan sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan Rendra, tentang puisi klangenan atau iseng belaka, yang tak bertanggung-jawab. Saya mengilhami dikotomi puisi hingga sekarang masih terjadi. Dualisme itu, puisi (sastra) hanya sebagai “karya seni” dan puisi (sastra) “yang bertanggung jawab” seolah jadi model tersendiri dalam capaian estetika, kata Marhalim Zaini.
Kita pasti mafhum tentang keadaan ini. Sementara sastra mesti memiliki fungsi sosial, budaya dan sifat universalnya, kadangkala tidak diindahkan oleh kita sendiri. Kemudian, puisi-puisi hanya menjadi objek pemuas nafsu dan ambisi. Dalam kata lain, puisi bagi (sebagian) penulisnya, hanya menjadi sarana masturbasi; berbicara sendiri tentang diri sendiri, dibaca sendiri, dan dikulum sendiri. Hal itu membuat kegelisahan semakin menjadi-jadi—entah itu sebagai kekhawatiran saja atau memang muncul setelah menelisik secara dalam para puisi itu. Tapi, kita juga akhirnya tidak bisa mengatakan bahwa puisi-puisi itu, yang hadir saat ini, sebagai puisi klangenan atau iseng belaka seperti kekhawatiran sastrawan-sastrawan di atas.
Kemunculan Kupu-kupu
Saat gejolak soal puisi itu mengendap di kepala, saya malah teringat pelajaran Biologi tentang metamorfosis. Kala itu, sebuah materi pelajaran Biologi membahas tentang bagaimana usaha susah payahnya sebuah telur Kupu-kupu, menetas menjadi ulat yang bertahan hidup tanpa orang-tuanya, lalu “bermeditasi” di dalam sebuah selaput kepompong, untuk pada akhirnya hadir sebagai kupu-kupu yang cantik.
Puisi memang menjadi sebuah produk yang dihasilkan telur-telur ide. Si penulis membiarkan telur itu menetas jadi ulat-ulat yang dibiarkannya berkeliaran di kepala memakan kata-kata. Lalu, disaat yang tepat, penulis berkontemplasi dan bermeditasi untuk dapat menjadikannya peristiwa itu sebagai sebuah puisi.
Sepertinya memang proses itu sangat sederhana. Akan tetapi, yang perlu dibahas adalah bagaimana kemunculannya. Dari mana telur ide itu berasal? Dan bagaimana pertumbuhannya sehingga menjadi sebuah kupu-kupu? Tentu, telur ide itu berasal dari katakanlah “sesuatu” yang menelurkannya, seperti bacaan, kondisi sosial yang dituangkan sebagai kegelisahan, rekaman kondisi lingkungannya, bahkan berasal dari perasaannya sendiri. Setelah mendapatkan telur-telur itu, si penulis, jelas mesti membiarkannya menetas di kepalanya, memakan kata-kata dan akhirnya muncul dari kepala sebagai sebuah karya: puisi. Saya mengakui betul, itu sangatlah sulit dan proses ini sangat amat sulit.
Masalahnya, kata-kata yang menjadi makanan ulat-ulat itu—di kepala setiap orang—pasti berbeda. Akhirnya, itu dapat berpengaruh bagi hasil kualitas kupu-kupu yang muncul. Sebagaimana puisi bukan hanya perpaduan kata-kata, tapi bisa mengarah sebagai segerombolan sistem tanda baca semiotika yang memiliki makna istimewa. Bahayanya, kemunculan kupu-kupu itu bisa menjadi tidak cantik dan tergolong ”jelek” (meminjam istilah Agus R. Sarjono: Musuh-musuh Puisi dan Cara Menulis Puisi Jelek). Ya, kehati-hatian dan ketelitian harus selalu berada di samping kita saat menulis kata-kata.
Terbang Meninggalkan Asal-mulanya
Setelah puisi itu muncul, masalah semakin banyak mendera, salah satunya pembaca. Puisi harus mencari sendiri para pembacanya. Maksudnya, akankah puisi itu hanya diendapkan tanpa ada kesempatan baginya diperkenalkan kepada pembaca? Saat ini, media massa banyak memuat sastra di salah satu rubrik yang dibinanya sendiri. Atau menerbitkan sebuah buku, di zaman sekarang, semudah membeli dan mengaksesnya. Kita bisa menerbitkan dengan mudah sekumpulan puisi sendiri atau komunal bersama kawan. Walaupun ini jauh dari harapan meraup keuntungan karena setelah terbit pun puisi harus masih mencari pembacanya.
Hal ini dibutuhkan, saya rasa, agar karya yang secara susah payah dilahirkan itu benar-benar menjadi berguna. Saya pikir, ketergunaan karya di situ disisipkan untuk menjadi referensi apa pun sesuai kebutuhan. Bisa sebagai media budaya, kritik, bahkan hiburan. Lalu bagaimana sebuah karya tersebut bisa berguna jika benar-benar dihalangi kesempatannya untuk memperkenalkan diri bagi orang yang membutuhkannya? Ya, sekali lagi, ini pasti sangat sulit. Keberanian sebagai energi benar-benar harus menjadi fondasi utamanya.
Itulah yang juga dilakukan oleh kupu-kupu tadi. Setelah beberapa detik terkesan “kaget”, sekonyong-konyong dia harus mengibaskan kedua sayapnya untuk menuju suatu tempat yang masih rahasia. Dalam proses itu, kupu-kupu mencarinya sendiri. Meski begitu, kupu-kupu itu perlu sebuah eksistensi. Itulah mengapa kupu-kupu yang dipaksa harus cantik segera mencari mata yang akan mengakuinya sebagai makhluk yang ajaib. Menyerap sari-sari di mata-mata bunga supaya tetap hidup.
Saya pikir bahwa puisi—jika dianalogikan sebagai kupu-kupu—memang harus berusaha sendiri dalam kehidupannya. Itu agar sebuah puisi mencapai titik cantiknya. Terbang mengangkasa, membuat siapa pun yang melihatnya (baca: membacanya) terkesima. Minimal, kupu-kupu ini—dalam proses terbentuknya sampai pencarian kehidupannya—tidak menjadi sesuatu yang klanengan atau iseng belaka. Bagaimanapun, puisi selayak kupu-kupu yang meninggalkan asal mulanya berhak—jika kata “harus” bisa menjadi tendensius—hinggap di sebuah mata bunga, tinggal di hati pembacanya, dan berbuat sesuatu di sana. Lalu, jika tidak, puisi akan mati bahkan ditangan penulisnya yang sibuk menyepi; renungan di kamar mandi, dini hari, atau saat pagi sambil meneguk segelas kopi. Salam Takzim!
Catatan: tulisan ini lebih-dahulu terbit di media Analisa Medan tahun 2014
seorang Guru Bahasa Indonesia. Pernah bermimpi menjadi Ikan Koi.