Panggung Manetteq: Tenunan Antar Langgam

Panggung Manetteq: Tenunan Antar Langgam

Apa jadinya hidup tanpa nyanyian
Perempuan tanpa menenun
Semua lepas
Semua koyak

Seandainya senandung Naket Tane (nyanyian tenun) senyap hilang. Seandainya kidung Nompa Ova (nyanyian menidurkan anak) pergi berlalu. Seandainya memanggungkan Panetteq Mandar (sarung mandar) redup sirna. Seandainya lagu-lagu dari perempuan lajang tak kedengaran lagi. Apa yang akan terjadi pada dunia. Kehidupan menjadi lain dari mulanya. Hampa semuanya kosong melompong. Yang didapati hanya sepi sunyi. Mendadak bisu.

Bagaimana jika gema dari masa lampau terkuburkan. Bagaimana jika tradisi lisan kehilangan pelantun. Bagaimana jika aksara hidup dari masa ke masa terpendam. Bagaimana jika burung-burung enggan bernyanyi lagi. Bagaimana jika gunung-gunung tak bertutur lagi. Bagaimana jika hutan-hutan tak bersuara lagi. Bagaimana jika angin-angin tak merdu lagi. Bagaimana jika sumber mata air tak gemercik lagi. Bagaimana jika tak ada lagi semua ini. Apa jadinya alam. Kehidupan tanpa gairah. Tanpa rasa.

Orang berjalan meninggalkan keheningan jiwa batin. Orang berlari menjauhi keindahan cita rasa. Orang melangkah seperti mesin, tak ada makna, tak ada arti. Tak mau suntuk membaca tanda-tanda. Tak tahu arah akan ke manakah pesan dituju. Dan akhirnya, tak kenal lelah, meski lelahnya belum berarti. Lelah yang belum berharga bagi dirinya. Lelah yang ingin memberi makna. Saya percaya ini terjadi. Jika hidup tanpa nyanyian. Jika perempuan berhenti menenun. Bagai orang kehilangan sinyal di saat dia membutuhkan. Begitulah mungkin terjadi, apabila nyanyian berlalu tak kembali.

Tapi melalui dapur LTC kelas Napak Tilas, kali ini dengan menyuguhkan penenun peradaban “Panggung Manetteq” karya kolaborasi empat perempuan timur: Katarina Laetitia (Flores Timur), Annisa Saskia Putri (Palu), Annisa Effendi (Polewali Mandar), dan Alia Silooy (Jakarta tapi ada darah Ambon-Yogya). Mereka datang dari jauh demi berpentas di Kampoeng Wisata Gowes, Serua, Depok, pada 14 Desember 2024. Demi kebangkitan kebudayaan suatu ingatan kolektif masa silam. Demi pertimbangan sejarah dan kepedulian pada akar tradisi. Maka hadir sebagai pertunjukan ragam nyanyian dan monolog. Upaya menenun segala hal dan mengutuhkan apa yang berserakan disapu masa.

Menenun dengan “manetteq adalah kata yang berasal dari bahasa tradisional yang berarti kegiatan menenun—sebuah proses mengikat benang demi benang menjadi kain penuh makna. Bukan sekedar keterampilan, manetteq melambangkan kerja keras dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam budaya, manetteq adalah simbol kekuatan, ketekunan, dan kreativitas,” demikian dikutip dari media sosial panggungmanetteq.  

“Motif-motif kami dilahirkan gunung dibesarkan bukit. Motif kami diberikan gunung dianugerahkan oleh bukit…,” penggalan lagu perempuan 1. Gunung dan bukit menjadi sumber tenun segala motif. Gunung, bukit, dan tenun menjadi nyanyian. Senandung harapan. Untaian doa puja-puji. Segala sabda gunung dan petuah bukit terkandung dalam nyanyian tenun. Hidupnya harmonis dengan alam. Sadar bahwa gunung menjaring awan. Menghasilkan air. Hujan turun diserap akar-akar dan pohon-pohon. Tanah mengalirkan air untuk kehidupan. Masyarakat desa berkecukupan air. Lahannya tumbuh subur. Hasil panen bisa untuk makan maupun dijual. Kebutuhan keluarga terjamin oleh pemberian Tuhan melewati alam dan kehidupan. Begitu seterusnya. Hingga dia menciptakan lapangan kerjanya sendiri dengan pertanian/perkebunan dan pertenunan. Perempuan menenun senantiasa mendendangkan lagu-lagu dari leluhur. Nenek-moyang dan alam dihadirkan setiap saat. Mengingat Tuhan setiap waktu. Aimak, alangkah takjub saya pada tradisi ini. Tradisi yang membuatnya gelisah karena harus berhadapan langsung dengan tantangan perubahan, namun di sisi lain, nyanyiannya seperti melambai-lambai, hati saya dibuatnya menari-nari, terngiang-ngiang selalu. Sepanjang kemungkinan pemaknaan. Hidup bersama alam harus dijaga.

Lagu perempuan 2 merupakan nyanyian pengantar tidur anak. Dia ingat Ibunya dahulu mendendangkan (kidung/tembang) sebelum menidurkan anak-anaknya. Sementara pada sekarang, dia gelisah, sebab sebagian Ibu membiarkan anaknya lelah main handphone sampai tertidur sendiri. Tidur yang kering kerontang jiwa. Maka dia kenangkan kasih sayang kembali. Dia merindukan malam-malam perwujudan cinta. Sang Ibu menjaga anaknya dari gigitan nyamuk. Menemani anaknya sampai tertidur pulas. Dengan nyanyian. Dengan dongeng. Dengan harapan. Dengan hatinya. Dengan janjinya. Ibu telah melahirkan berjuta peran, nasib, dan sejarah manusia. Untuk itu daripada berlarut-larut dalam gelisah dan berlarat-larat dalam penyalahan, inilah saatnya untuk kita menyanyikan lagu-lagu merdu buat pengantar tidur Ibu. Nyanyian ampunan. Nyanyian restu. Nyanyian terima kasih. Nyanyian cinta kasih sayang, tiga patah kata purba. Kiranya memang demikian lebih baik. Lebih berarti bagi seluruh anak. Lebih merdu dari berbagai ungkapan. Ahoi, peristiwa sederhana dan bersahaja disampaikan lewat nyanyian dan monolog: “Tidurlah Ibu. Istirahatkanlah pikiranmu. Tak perlu memikirkan apa yang belum pasti. Mintalah doa, agar dia baik-baik. Saya anakmu, akan menjagamu.”

Lagu perempuan 3 ini menyiratkan tentang seorang suami pergi melaut dan menggoreskan luka kembali. “Mata ini menyapu pandang pada sebuah kapal yang membuangkan jangkarnya. Dengan sebuah harap engkaulah seorang yang hadir. Sungguh rindu ini membuatku resah. Dari luasnya sang laut dan pulau,” nyanyinya dalam sunyi. Menjadi istri seorang pelaut kudu tangguh-tahan ditinggal melaut berbulan-bulan lamanya. Kudu lebih sabar. Dan karena kesetiaanlah, maka lepaslah segala pikiran cemas dan hati was-was. Meski kita tak pernah tahu siapa yang akan mati di laut. Tak pernah tahu siapa yang berselingkuh selama waktu pelayaran. Tak pernah tahu kapan suami-suami kita pulang berlayar. Tak pernah tahu apakah hasil tangkapan mereka, sedikit atau banyak. Tetap terpenting ialah selamat. Selamat adalah doa dan kebijaksanaan seorang isteri. Sambil menunggu suami pulang melaut, para isteri atau perempuan biasanya menenun dan menembang. Dengan menenun, dia menikmati waktu dalam menantikan kedatangan suami. Seberapa panjang kain selain menggambarkan motif-motif tertentu, juga menggambarkan perjalanan waktu lamanya ditinggal melaut. Barangkali lewat nyanyian. Segala doa keselamatan dan keberhasilan akan menyertainya. Rindu akan menunaikan perjumpaan kembali, maka nyanyikanlah kesabaran seluas lautan. Terus menenun dari waktu ke waktu menjelma kain kerinduan.

Lagu perempuan 4 adalah gambaran seorang perempuan lajang. Waktu memberinya banyak pengalaman suka-dukanya. Apa yang pahit/manis terasa. Pengalaman membukakan pintu. Sebuah pintu untuk pulang ke diri sendiri. Setelah melakukan banyak hal meski bukan yang disukai. Setelah mengalami banyak hal meski bukan yang disenangi. Sementara, yang disukai yang disenangi, barangkali yang lebih banyak menyimpan rasa pahit, ialah menyanyi. Bernyanyi adalah kesukaannya. Tapi dalam nyanyian, yang tidak disukai, yang tidak senangi, justru lebih sering membuat orang tergetar hatinya. Yang luka lebih mudah diterima. Yang duka lebih gampang masuk. Yang sakit lebih mendapat tempat. Yang menderita lebih bisa terhibur. Itu semua karena nyanyian berhati. Dan dari nyanyian semua lagu, dia ingin bernyanyi ke dalam diri sendiri. Bernyanyi di kedalaman hati, terarah padaMu. Bernyanyi hanya untuk bisa pulang ke diri sendiri.

Perubahan demi perubahan mungkin saja terjadi, tapi jangan hentikan nyanyian. Perkembangan demi perkembangan boleh saja terjadi, tapi jangan lupakan nyanyian. Orang masih membutuhkan lagu-lagu, tembang-tembang, kidung-kidung, langgam-langgam, dan segala macam senandung untuk menemani selama masih hidup. Penderitaan boleh menjadi bagian dari hidup kami, tapi kami punya nyanyian, untuk persembahan pada Yang Memberi Kehidupan. Untuk menyampaikan kegelisahan. Untuk mengungkapkan yang perlu dan harus. Untuk menyatakan sikap. Untuk berbagai motif orang bernyanyi. Untuk hal-hal yang diyakini tiap pribadi. Dengan bernyanyi, alam dan leluhur menyertai kami. Dengan bernyanyi kami memberi arti. Memberi makna pada hidup ini. Tanpa makna, alangkah tandus orang yang berhati-berjiwa. Tak ada gairah. Tak ada rasa. Tak ubahnya robot bernyawa.

15 Desember 2024