Selain perjalanan Bujangga Manik yang menyusuri Pulau Jawa-Bali sampai pada akhir ceritanya menaiki tangga langit ilahi (kematian-kemoksaannya?) itu, yang secara sadar menawarkan-meninggalkan kesan-pesan cerita nama topografis Pulau Jawa-Bali, seutas cerita Kerajaan Pakuan Pajajaran, dan nilai moralitas-spiritualitasnya, lalu menawarkan-meninggalkan pula pesan-kesan bagaimana potret makna jalan hidup seorang manusia: suatu penempuhan yang bisa dimaknai secara universalitas, entah kita berasal dari agama apa, dari suku dan ras mana, tetap saja akan membersamai kesendirian-kesunyiannya masing-masing ketika pada akhirnya dijemput oleh kematian (baca: Bujangga Manik: Serpihan Jejak Perjalanan Sajak). Di dalam kebudayaan Sunda, kita juga memiliki tokoh bernama Mundinglaya Di Kusumah (selanjutnya disebut Mundinglaya saja) yang bercerita bagaimana dimensi spiritual-moralitas seorang pangeran dari Pakuan Pajajaran yang menempuh perjalanannya mencari-mengambil Layang Sasaka Domas untuk kemakmuran Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang dalam prosesi ceritanya mesti menaklukkan Jonggrang Kalapitung raksasa penjaga Jabaning Langit dan menaklukkan Guriang Tujuh penjaga Layang Sasaka Domas.
Namun, berbeda dengan Bujangga Manik yang terhimpun dalam tradisi tulis (baca: naskah kuna), Mundinglaya merupakan lakon dari carita pantun atau tradisi lisan (yang prosesinya kini diarsip-tuliskan) lalu diturunkan secara turun-temurun dari tuturan langsung Ki Pantun/juru-pantun, dan pertunjukannya itu berlangsung semalam-suntuk dengan iringan kacapi. Menariknya, ada juga prosesi mantun yang tak diiringi kacapi sama-sekali sebagaimana yang terjadi di Kanekes-Baduy, misalnya (baca: Instrumen Dari Sorga – Esai-esai di Sekitar Kacapi Buhun dari Baduy). Ada pula perbedaan mendasar dari cerita keduanya bahwa, Bujangga Manik melepas kisah percintaannya untuk sampai pada puncak spiritualnya, sedangkan Mundinglaya mengais kisah percintaannya sebagai puncak dari capaian dimensi perjalanan spiritualnya. Selain perbedaan itu, tentu ada kesamaan dari kedua tokoh cerita itu, pertama mereka sama-sama berasal dari keturunan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan anak dari Prabu Siliwangi. Kedua, kesamaannya terdapat pula pada refleksi muatan ceritanya, yang sama-sama tengah menawarkan dimensi spiritual-moralitas manusia Sunda(?) dalam bentuk cerita epos yang begitu prosaik, sesekali puitis memukau.
Mundinglaya Di Kusumah
Secara ringkas-padat, sebagai pengantar pembaca memasuki perjalanan-perenungannya, lebih-dahulu akan saya ceritakan ulang poin-poin adegan-peristiwa cerita apa dan bagaimana perjalanan Mundinglaya Di Kusumah itu sendiri, dalam tulisan ini yang saya baca adalah saduran versi Ajip Rosidi dari tuturan Ki Aceng(?).
Cerita Mundinglaya (anak dari permaisuri Padma Wati dan Prabu Siliwangi) mengisahkan tentang bagaimana seorang pangeran yang ditakdirkan memiliki ketampanan, kegagahan, serta kebaikannya itu mesti menghadapi gejolak perebutan kekuasaan dengan saudaranya (Prabu Anom Kuta Barang), fitnah-fitnah yang tidak diperbuatnya, yang membawanya pada jurang kesengsaraan sebagai pembelajaran hidup. Mundinglaya difitnah telah memesrai atau melakukan tindak-senonoh terhadap selir Ayahandanya (Prabu Siliwangi) sendiri sebagai Raja Pajajaran, dianggap pula sebagai ancaman akan merebut kekuasaan saudaranya sendiri sebagai penerus tahkta. Dan setelah sampai pada konflik itu, akhirnya ia dihukum penjara.
Ibunya, Padma Wati, tentu bersedih hati dan berkabut pikirannya. Sampai pada suatu malam ia bertirakat, dan tiba-tiba seperti didatangi seseorang yang hendak memberikan Layang Sasaka Domas. Mendapat persitiwa itu, akhirnya Padma Wati memberitahukan kepada Baginda Prabu Siliwangi. Baginda tertarik dan ia dengan kecerdasan spiritualnya tentu menyadari bahwa itu bukan suatu kebetulan, melainkan pesan untuk Pajajaran agar terlepas dari kesengsaraan dan mencapai kesejahteraannya. Baginda langsung mengumumkan kepada para pangeran, resi, rama, prajurit, dan penghuni istana lainnya, dengan mengadakan sayembara untuk siapa saja yang bisa dan mau mencari-mendapatkan Layang Sasaka Domas sebagai simbol kemakmuran Pajajaran, dan membawanya ke hadapan Baginda, akan diangkat menjadi Raja Pajajaran, meneruskan dan menggantikan tahktanya.
Namun sayembara itu tak berjalan mulus. Semua penghuni istana tak ada yang berani dan bahkan tak mau mengemban tugas itu. Sebabnya, Layang Sasaka Domas menjadi legenda yang dijaga oleh Guriang Tujuh—yang kelewat sakti dan tak terkalahkan, dan jalannya untuk ke Jabaning Langit dijaga Jonggrang Kalapitung yang merupakan raksasa penghadang dan pemakan manusia. Tentu, mendapat kenyataan itu, Baginda murung dan merenung. Padma Wati, tiba-tiba menghatur-sembah pada Baginda dan mengatakan bahwa semua penghuni Pajajaran sudah mengetahui sayembara ini dan sudah mengatakan atas ketidak-sediaannya. Tapi ada satu orang yang belum ditanyakan kesiapannya, ialah anaknya sendiri yang tengah dihukum: Mundinglaya Di Kusumah. Bergegas Baginda menyuruh kedua patihnya (bernama Kidang Panunjang dan Gelap Nyawang) untuk menjemput Mundinglaya dan dibawa ke hadapannya.
Sesampainya Mundinglaya di hadapan Baginda, Ayahandanya sendiri, ia menghaturkan sembah, dan ketika ditanya bersiapkan mencari-membawa Layang Sasaka Domas? Ia dengan gagah, sekaligus arif dan bijaksana menerima perintah itu. Suasana Istana sunyi namun tegang. Mendengar kesanggupan Mundinglaya, saudaranya yang merasa Mundinglaya sebagai parasit atas kekuasaannya dirundung cemas, kadang lega bahwa ia menganggap Mundinglaya akan mati di tangan Jonggrang Kalapitung dan Guriang Tujuh, dan mustahil pula menemukan jalan ke Jabaning Langit. Setelah melewati prosesi sunyi-tegang itu, Mundinglaya menghaturkan-sembah, undur diri kepada Baginda, pada ibunya Padma Wati, dan seluruh penghuni Istana untuk langsung menempuh perjalanannya mencari-membawa Layang Sasaka Domas. Seketika kedua patih yang tadi menjemputnya di penjara meminta izin kepada Baginda untuk mengantarkannya ke ujung lautan mencari pulau dan jalan ke Jabaning Langit yang antah-berantah itu. Baginda lalu mempersilakannya. Namun, sebelum benar-benar menempuh perjalanan yang tak tahu di mana ujungnya itu, Mundinglaya teringat kepada calon istrinya, Dewi Asri dari Kerajaan/Negara Muara Beres, yang sudah dijodohkannya sejak dalam kandungan oleh Ibu mereka masing-masing.
Menariknya, perjodohan itu dikarenakan Ibunda Mundinglaya dan Ibunda Dewi Asri ketika mengandung sama-sama mengidam honje dan menyuruh si Lengser dari masing-masing kerajaan untuk mencarikan honje. Lengser dari suruhan Ibunda Mundinglaya kalang-kabut karena honje di tanah Pajajaran tengah habis, dan ia terpaksa keluar dari wilayah Pajajaran untuk mendapatkannya. Ketika sampai di suatu wilayah, semacam pasar, si Lengser dikagetkan bahwa honje si penjual yang ada di pasar itu baru saja diborong oleh seseorang, dan ia baru saja pergi ke arah selatan. Dengan tergesa-gesa Lengser Pajajaran mengejarnya. Dan akhirnya terkejarlah seseorang itu, yang ternyata penampilannya mirip dengannya, karena gaya berpakaian ala Lengser dari tiap Kerajaan memiliki kesamaan. Dari peristiwa itulah, setelah melalui konflik Lengser Pajajaran dan Lengser Muara Beres yang sama-sama kekeh: satu enggan memberikan honjenya dan satunya memaksa membeli sebagian honje yang diborongnya, melalui perkelahian, beradu-jurus, gaya bahasa, silsilah pancakaki, dan seterusnya, mereka akhirnya memilih berembuk dan membicarakannya secara baik. Karena dibicarakan secara baik, mereka sama-sama menjelaskan untuk apa honje itu, dan ternyata sama-sama untuk dipersembahkan dan diberi titah oleh para permaisurinya yang mengidam dan sedang mengandung anak seorang raja. Mereka akhirnya rela membagi honje itu dan bersemangat untuk menceritakan kepada para permaisurinya tentang kejadian mereka mencari honje.
Dari peristiwa itulah, masing-masing permaisuri itu berkirim surat dan berjanji bahwa, jika anaknya nanti sama-sama perempuan akan disatukan sebagai saudara kembarnya, namun jika satu laki-laki dan satunya perempuan akan dijodohkan dan kelak ketika dewasa mewujud pernikahan. Itulah kenangan yang dibicarakan Mundinglaya dan Dewi Asri ketika bertemu di perbatasan Muara Beres, sekaligus menjelaskan tentang kepergiannya mencari Layang Sasaka Domas. Dewi Asri tentu kaget bukan main, ia takut dan setengah mengizinkan kepergian Mundinglaya, sebab ia juga tahu tentang cerita Guriang Tujuh dan bahkan Jonggrang Kalapitung sebagai penjaga Jabaning Langit. Walaupun Dewi Asri mendengar kabar juga tentang fitnah yang menimpa Mundinglaya, ia tetap percaya bahwa itu tak akan dilakukan oleh calon suaminya yang begitu arif-bijaksana. Namun, setelah melewati perenungan-pembicaraan sepasang kekasih yang bercinta di pesisir pantai itu, akhirnya ditakdirkan menempuh kesunyiannya masing-masing: Mundinglaya tetap berangkat dan Dewi Asri merelakan juga kepergiannya dengan doa keselamatan, sekaligus harapan kepulangannya.
Cerita lalu bertambah kompleks. Ketika Mundinglaya menempuh perjalanan dan dengan sifatnya yang terlampau baik itu yang membawanya bisa menemukan tempat Jonggrang Kalapitung di sebuah Pulau Puteri. Sedangkan di lain cerita, saudaranya Prabu Anom sekaligus anak angkatnya bernama Sunten Jaya mengambil momen itu untuk merebut hati Dewi Asri. Dengan berbagai siasat licik, keangkuhan dan kekuasaannya sebagai bagian inti Kerajaan Pajajaran, ia terus memaksa Dewi Asri menerima lamarannya, bahkan mengatakan bahwa Mundinglaya tak akan selamat dan sudah dipastikan mati di sana. Gejolak batin Dewi Asri sekaligus ibundanya di Muara Beres membawa pada siasat pula, karena mengetahui akal busuk Sunten Jaya dan sifatnya yang begitu angkuh-sombongnya, mereka meminta sarat akan menerima lamarannya asal dibawakan mahar yang begitu mustahil: dari barang-barang bahan pakaian dua puluh lima kapal, emas intan permata dua puluh lima peti, sapi dan kerbau seratus kandang, domba dan ayam seratus kandang, bunyi-bunyian lengkap dengan nayaganya empat puluh perangkat, balandongan empat puluh buah, seekor gajah putih, sepasang lutung yang bisa bicara, sepasu penuh usus nyamuk, sependil penuh jantung semut, dan sebuah papanggungan yang indah mewah untuk kelak Dewi Asri berbulan madu berpenganten dengan kekasihnya: Mundinglaya.
Tak habis akal Prabu Anom dan Sunten Jaya terkait mahar aneh itu, walaupun geram ia mendengar bahwa sarat terakhirnya itu papanggungan untuk Mundinglaya, ia mencoba memenuhinya walaupun mustahil menemukan seekor gajah putih, sepasang lutung yang bisa bicara, sepasu penuh usus nyamuk, sependil penuh jantung semut. Mereka akan mencoba memenuhi yang mereka bisa sekaligus akan memaksa dengan amat sangat jika mereka sudah membawakannya ke hadapan Dewi Asri di Muara Beres. Dengan kepercayaannya bahwa Mundinglaya akan pulang tepat ketika rombongan Prabu Anom dan Sunten Jaya membawa mahar itu, sambil terus berdoa dan berharap, Dewi Asri terus merenung dan bertirakat. Sedangkan di lain cerita, Mundinglaya berhasil mengalahkan Jonggrang Kalapitung, dengan kegagahan-keberaniannya, dengan kebersihan hati dan pikirannya itulah ia mampu mengalahkan Jonggrang Kalapitung, dan diberitahukanlah jalan untuk ke Jabaning Langit di angkasa yang tak bertepi itu, dengan cara dilemparkannya Mundinglaya oleh Jonggrang Kalapitung.
Bagaikan seekor burung garuda yang menuju-menyambar mangsa, Mundinglaya melesat terbang ke langit lepas. Makin lama-makin kecil saja nampaknya dari bawah, hingga akhirnya lenyap di antara awan-awan yang tipis di sawang tinggi. Sebentar Mundinglaya berhenti berdiri di antara awan akan menengok ke bawah, melihat betapa kecilnya bumi. Pulau Puteri hanya nampak seolah noktah kecil hitam yang sayup-sayup. Alangkah tak terbatasnya angkasa! Alangkah tak terhingganya alam semesta. Dan alam yang seluas ini sepi hening. Tiada gelegar ombak samudera. Tiada lagi suara burung mendayu-dayu seperti memanggil kekasih! Lapang meruang tiada bertepi. Begitulah terasa mengalir kata-katanya. Kian tinggi kian sepi. Begitu kata Mundinglaya dalam hatinya.
Dengan kebersihan hati dan kejernihan pikirannya, dan dengan pemusatan dirinya kepada Sanghyang Dewata, ia akhirnya sampai ke dimensi di mana ia mendengar suara merdu layang-layang yang gemerlapan tertiup angin. Kemilau layangan itu ditimpa sinar mentari. Tentu yang dilihat Mundinglaya itu adalah Layang Salaka Domas. Layangan yang sedang dicarinya. Tenang dan anteng layangan itu di angkasa. Talinya pun kencana. Tegang benar benang itu dipegang oleh yang menjaganya, jauh di ufuk sana. Segera Mundinglaya menjelmakan dirinya menjadi angin puyuh yang berputar-putar selingkar layangan itu, sehingga putuslah benang kencana. Setelah layangan lepas, segera dilarikan dan akan dibawa pulang Mundinglaya ke Kerajaan Pajajaran, untuk dipersembahkan kepada Baginda Prabu Siliwangi yang lagi menanti. Tetapi, tiba-tiba Guriang Tujuh yang memegang tali layangan itu, segera tahu bahwa layangan putus, kagetnya bukan main ketika tali yang dipegangnya kendor, dilihatnya seorang pemuda, seorang manusia, Mundinglaya memegang layangannya.
Dengan keris bernama Tulangtonggong Pajajaran yang dibawanya, Mundinglaya memerangi Guriang Tujuh yang mempunyai ajimat keris keramat yang bernama Pekarang Kenikmatan. Lama pertempuran mereka berlangsung, dengan keterbatasan Mundinglaya yang sambil memegang Layangan di tangan kirinya, Guriang Tujuh mengambil kesempatan itu dengan menyerangnya secara lincah dan membabi-buta, sampai akhirnya Keris Keramat Kenikmatan mampu menusuk tubuh Mundinglaya. Gugurlah Mundinglaya, gugurlah pangeran Pajajaran yang gagah-perkasa, gugur ya gugur hidupnya, asmaranya, penderitaannya. Namun, kemudian keluar seorang perempuan cantik, Dewi Sukma, dari dalam tubuh Mundinglaya lalu mengipas-ngipasi tubuh Mundinglaya itu sambil bersenandung: “Bukankah Raden lelaki sejati, jantan gagah tiada lawan, jago di bumi, pahlawan di angkasa, perwira para perwira. Mengapa kalah oleh Guriang Tujuh, yang tumbuh di dalam tubuh, yang bersarang di dalam jiwa, yang akan takluk pada tekad. Bangkitlah, semangat, untuk bertempur untuk berjuang, jangan takut usia tak lanjut, jangan khawatir menemu maut. Bangkitlah, semangat, akan bangkit oleh kipasku, kipas keramat punya nenenda, Sang Pohaci Wiru Mananggay.”
Ajaibnya, setelah dikipas-kipasi Mundinglaya perlahan hidup kembali, mulai membuka matanya, luka tubuhnya terkatup, darahnya lalu kembali mengalir, dan bersinar pulalah wajah yang tadi pucat pasi tak berdarah tadi. Setelah itu, Dewi Sukma telah kembali masuk ke dalam raga. Mundinglaya berdiri dan langsung kembali mencari Guriang Tujuh untuk kembali memeranginya dan merebut layangan Salaka Domas. Sesampainya Mundinglaya kembali berhadapan dengan Guriang Tujuh ia langsung menghunuskan pedangnya. Sia-sia saja Guriang Tujuh berulangkali menyerang tubuh Mundinglaya, Pekarang Kenikmatan yang sakti itu tidak lagi mempan terhadap tubuhnya. Mundinglaya segera mengambil momentum itu untuk menusuk-ayunkan kerisnya ke dalam tubuh Guriang Tujuh. Tubuh yang menyeramkan itu, memuncratkan darah yang warna-warni dari lukanya. Darah mengalir seolah-olah tak putus-putus. Perkelahian itu berbalik situasinya, dari kekalahan Mundinglaya sampai kini ia memenangkannya. Guriang Tujuh pada akhirnya menjadi pengawal Mundinglaya ke bumi, untuk mengantarkan Layang Sasaka Domas ke Pajajaran, dan berubah menjadi wujud manusia dengan nama Munding Sangkala Wisesa, nama yang diberikan Mundinglaya sebagai penyamarannya.
Sedangkan di akhir cerita, tepatnya di Muara Beres, Prabu Anom dan Sunten Jaya sudah membawa semua setengah mahar yang diinginkan Dewi Asri. Dewi Asri masih terus berharap bahwa keajaiban dan keberkahan sang dewa memberikannya jalan keluar dari masalah pernikahan yang tidak diinginkannya itu, termasuk kedatangan Mundinglaya. Suasana perayaan yang sudah disiapkan Sunten Jaya semakin meriah dan banyak didatangi para bawahan Pajajaran dan tamu-tamu istimewa. Pihak Dewi Asri pun terus melakukan siasat agar pernikahannya gagal, yang membuat konflik pihak Sunten Jaya geram dan sedikit-sedikit melakukan pemberontakan. Di saat itulah muncul Mundinglaya bersama Munding Sangkala Wisesa (Guriang Tujuh) melakukan penyerangan dan merebut semua mahar-mahar yang sudah disiapkan Sunten Jaya, termasuk Dewi Asri. Setelah melewati konflik tegang-perebutan itu, Mundinglaya memenangkan perkelahian, menyeret Sunten Jaya dan Prabu Anom ke hadapan Ayahandanya (Prabu Siliwangi) untuk diadili karena tengah merebut calon istri dan tengah memfitnahnya selama ini, sekaligus memberikan Layang Sasaka Domas untuk Kerajaan Pajajaran agar sejahtera, aman, dan sentosa. Bersama Dewi Asri, akhirnya pertunangannya yang sejak dalam kandungan dan dinanti-nantikannya itu berhasil diraih oleh mereka. Mereka lalu hidup bahagia sebagai penerus tahkta Kerajaan Pajajaran.
Perjalanan-Perenungan
Ketika membaca Mundinglaya itu, saya sampai pada suatu refleksi kita sebagai manusia di dalam penempuhan hidup. Dan melalui cerita Mundinglaya, pemaknaan cerita (sebagaimana perjalanan Bujangga Manik) bisa dikaitkan dengan apa saja yang sangat mungkin bisa sesuai kemauan pembaca sekalian. Sebabnya, dalam pengamatan saya yang dangkal ini, kiranya leluhur Sunda senang mengajarkan ilmu-pengetahuan dengan bahasa-bahasa simbolik-arkaik, yang mana kita kenal istilah panca-curiga sebagai pisau bedahnya dan panca-niti sebagai capaian metodologinya. Hal itu bisa kita telusuri secara dalam, misalnya menghadirkan pertanyaan, apa makna dan apa yang dapat kita maknai dari cerita Mundinglaya Di Kusumah, tentang Layang Sasaka Domas, Jonggrang Kalapitung, Guriang Tujuh, dan Jabaning Langit?
Itulah mengapa, pada akhirnya warisan cerita kebudayaan Sunda umumnya, khususnya cerita Mundinglaya ini, kiranya tidak dapat kita artikan secara tekstual saja, tetapi mesti dipahami secara simbol-simbol maknawi apa saja yang terkandung dalam ceritanya. Mundinglaya sendiri selain seorang pangeran dari Pakuan Pajajaran, tentu bisa kita perwujudkan sebagai sosok manusia biasa yang memiliki budi yang luhur, yang dalam cerita Mundinglaya berhasil (diandaikan) mengalahkan Jonggrang Kalapitung seorang raksasa yang amat sangat besar sekali, lalu hal itu kita bisa maknai juga atas sifat kita manusia: di dalamnya termasuk raksasa bernama kesombongan, iri hati-dengki, angkara-murka, dan sebagainya yang ada dalam diri kita sendiri, kadang sering bersemayam di dalam hati, di dalam pikiran. Hati dan pikiran kita itulah kiranya yang ditawarkan Mungdinglaya (maupun penutur carita pantunnya) dari sifat lain di dalam diri kita serupa Jonggrang Kalapitung, nama lain dari raksasa sifat yang bersemayam di dalam diri kita, baik itu kesombongan, kebencian, kekuasaan, dan seterusnya.
Soal apa dan di mana letak Jabaning Langit, diceritakan dalam gambaran ketika Mundinglaya berhasil mengalahkan Jonggrang Kalapitung, dan lalu ditunjukkannya ia jalan ke luar langit, yang bisa kita curigai bahwa simbol-maknawi Mundinglaya (mengalahkan Jonggrang Kalapitung adalah nama lain dari) berhasil mengalahkan sifat kesombongan, kebencian, kekuasaan, dan lainnya di dalam hati maupun di dalam pikirannya (berupa sosok Jonggrang Kalapitung). Bahkan hal itu, sebagian sepuh Sunda, mengaitkannya dengan cerita isra-miraj-nya Nabi Muhammad SAW, yang melewati prosesi dibersihkan terlebih-dahulu hati dan pikirannya oleh Jibril sebelum menempuh perjalanan ke 7 lapisan langit. Kiranya itulah yang mengantarkan makna (para sepuh Sunda) tentang Guriang Tujuh serupa 7 lapisan sifat, 7 langit, atau 7 titik cakra yang ada dalam tubuh manusia, mengarah pada puncak tertinggi dimensi spiritualitas manusia untuk mencapai letak perwujudan Tuhan yang sering disimbolkan berwarna putih-berkilau-cahaya (Layang Sasaka Domas) sebagai gambaran kesucian hati atau kebersihan hati—sehingga segala bentuk sifat buruk yang ada dalam diri manusia itu telah berhasil dikalahkan.
Maka, kiranya sangat menarik jika memaknai Layang Sasaka Domas sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan (manusia) itu akan tercapai apabila sifat-sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah hilang, yang membuah-kembangkan sifat-sifat baik dengan budi-pekerti yang luhur, membaktikan kehidupan dan dirinya untuk Tuhan dan alam semesta. Hal itu selaras, dan mungkin menjadi sebab duduk-perkaranya bagaimana cerita Mundinglaya dikaitkan dengan penempuhan isra-miraj-nya Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan ke 7 lapisan langit untuk mendapatkan wahyu dan titah (menunaikan sholat) dari Allah SWT. Entah mengapa, secara simbolis-maknawi mengenai Jabaning Langit dan Guriang Tujuh itu membawa saya pada bayangan seperti proses atau penempuhan apa dan bagaimana jalan menuju keselamatan, jalan menuju kesucian Tuhan, yang dapat dimaknai manusia jika ingin sampai pada ke-unggulan-paripurnanya, khalifah bagi alam semestanya, mesti melewati pembersihan diri yang serupa Mundinglaya mengalahkan Jonggrang Kalapitung, menempuh Jabaning Langit dan mengalahkan Guriang Tujuh untuk sampai pada puncak keberhasilan mengambil Layang Sasaka Domas (perwujudan welas-asih Tuhan) yang kiranya mustahil bisa kita tempuh sebagai manusia modern hedonistik-materialistik, dan tik-tik-tik bunyi kekuasaan yang lebih subur di dalam diri.
Kecurigaan itu akan sejalan dengan apa yang pernah ditulis Haji Hasan Mustapa tentang, Nyai Dewi Asri di sanubari, nya Mundinglaya di sawaruga, lalaki di kolong langit, lalanang di kolong jagat, udeg-udeg di buana, naruhkeun umur di pangaweruh, nadahkeun nyawa urang mah di pangabetah, hade jampe jeung pangome, menak tedak Pajajaran, Pajajaran soteh jajaran pasar, jajar pasar bangsa jelema, dalam sebuah suratnya kepada Kiai Kurdi yang diterbitkan dalam buku berjudul, Bale Bandung tahun 1925 (baca: Manusia Sunda – Ajip Rosidi), dengan terjemahan bebasnya: Nyai Dewi Asri dalam sanubari, Mundinglaya dalam raga yang sama, laki-laki di kolong langit, jantan pilihan di kolong jagat, moyang di dunia, mempertaruhkan umur dalam ilmu, menjadikan nyawa sebagai perisai dalam hidup betah, jampinya baik, begitu juga rawatannya, bangsawan keturunan Pajajaran: Pajajaran yang berarti jajaran pasar, sifat kebanyakan manusia.