Melambat Bersama Sastra

William Merritt Chase – Monkeying with Literature (ca. 1877–78)

Di tengah derasnya arus konten digital yang serba singkat dan praktis, ada seorang kerabat—penggiat sastra—yang memilih jalan berbeda. Alih-alih larut dalam gempuran video pendek yang menggoda atensi, ia justru tenggelam dalam bait, larik, dan kata-kata. Sore itu, di antara sandikala yang enggan pulang, ia berkata: “Saya menyukai hal-hal yang lambat, bukan karena malas, tapi karena dunia hari ini terlalu tergesa, bahkan untuk bernapas.”

Ucapan itu menggugah saya. Di tengah hidup yang diburu oleh notifikasi dan swipe tanpa akhir, dunia sastra tiba-tiba tampak seperti oasis yang tenang. Dari percakapan kecil itu, saya mulai mencoba untuk menekuri buku-buku nonfiksi—sastra. Belum banyak, memang. Tapi cukup untuk menyadarkan bahwa ada ruang yang nyaris terlupakan dalam hidup saya: ruang untuk merenung, bertanya, dan merasa.

Mari kita mulai dari hal mendasar: apa itu sastra? Dan mengapa ia tetap penting, di tengah gawai yang bisa menyulap kesunyian menjadi bising dalam sekejap?

Sastra: Cermin Jiwa dan Jejak Peradaban

Perkembangan kesusastraan di Indonesia terus menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu. Dalam artikel berjudul Anggapan Sastra pada Generasi Milenial karya P. Suryo R, disebutkan bahwa sejak kemunculannya pada tahun 1920 hingga tahun 2022, sastra Indonesia mengalami proses modernisasi. Tonggak awal sastra modern ditandai dengan hadirnya sajak berjudul Tanah Air karya Muhammad Yamin. Sebelumnya, tradisi kesusastraan diwarnai oleh sastra Melayu lama, terutama bentuk puisi seperti pantun dan syair yang merupakan warisan sastra tradisional.

Lanjutnya menurut Suryo, baik sastra fiksi maupun non-fiksi memiliki peran penting dalam merefleksikan unsur-unsur kebudayaan, sehingga keduanya relevan untuk ditelaah dalam berbagai bidang ilmu sebagai bahan kajian ilmiah. Sastra modern meliputi bentuk-bentuk seperti novel, cerpen, biografi, puisi, soneta, drama, dan sejenisnya. Sementara itu, sastra lama mencakup pantun, gurindam, syair, hikayat, dongeng, tambo, dan sejenisnya. Keduanya merupakan khazanah budaya yang kaya makna dan menjadi sumber penting dalam studi kultural.

Menurut Widyaningrum dan Hartarini dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra, sastra merupakan hasil karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, pengalaman, dan emosi manusia. Sastra tumbuh dari gabungan antara warisan tradisi dan sentuhan inovasi, serta dipelajari melalui tiga pendekatan utama: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Dalam bahasa Inggris, istilah literature, mencakup hampir seluruh bentuk tulisan, sedangkan dalam konteks bahasa Indonesia, sastra lebih mengacu pada karya-karya yang mengandung unsur estetika, imajinasi, gaya bahasa, serta makna yang mendalam plus mendiaminya. Intinya, sastra adalah refleksi kehidupan manusia yang dituliskan agar tetap hidup dan bermakna sepanjang zaman, melampaui manusianya itu sendiri.

Jadi sederhananya, sastra ialah cara manusia berbagi cerita tentang hidup, tentang cinta dan kehilangan, tentang marah dan harap, atau tentang hal-hal kecil yang sering tak kita perhatikan fenomenanya. Ia hidup dalam bahasa, namun bukan hanya soal merangkai kata-kata yang indah. Di balik puisi, cerpen, novel, dan drama, ada usaha manusia untuk memahami dunia, menyuarakan yang tak sempat terucap, atau menantang apa yang dianggap wajar.

Ilmu sastra lahir dari kebutuhan untuk memahami lebih dalam makna yang tersembunyi di balik kata-kata, bahkan di luar bahasa. Ia menyelami cara makna dibangun, bagaimana teks berfungsi, dan bagaimana karya sastra berevolusi seiring waktu. Di sisi lain, karya sastra itu sendiri tumbuh dari kebebasan jiwa dan daya imajinasi. Ia dapat tunduk pada aturan, namun juga mampu memberontak terhadapnya. Justru di titik itulah daya tarik sastra muncul, ia membuka kemungkinan akan kejutan dan hal-hal baru yang tak terduga.

Sebagaimana Sapardi Djoko Damono pernah menulis dalam bukunya Sihir Rendra: Permainan Makna, bahwa keistimewaan seorang penyair, atau seniman sastra secara umum, bukan terletak pada usahanya untuk lepas dari batasan-batasan, melainkan pada keberhasilannya menciptakan ruang kebebasan di dalam keterbatasan itu sendiri. Di sanalah seni menemukan kemerdekaannya: bukan dengan lari dari aturan, tapi dengan “menari” di dalamnya.

Membaca Bukan Sekadar Aktivitas, Tapi Perlawanan

Menikmati sastra bukan perkara pasif. Ia menuntut kehadiran penuh, daya imajinasi, dan kesediaan citra-suasana untuk terlibat secara emosional. Di sinilah letak keunikan sastra: ia tidak menyuapi kita, tapi menuntun kita untuk menggali sendiri maknanya: sebebas-bebasnya.

Alat untuk dapat menikmati karya sastra adalah dengan membaca. Namun sayangnya, budaya membaca di Indonesia masih rendah. Survei GoodStats (Januari–Februari 2025) menunjukkan hanya 20,7% masyarakat yang membaca setiap hari. Sementara 24,6% membaca hanya sebulan sekali atau bahkan lebih jarang. Di tengah ketersediaan akses buku yang makin luas, rendahnya minat baca menjadi sebuah paradoks yang menyedihkan.

Dalam artikel berjudul Ketertarikan Anak Muda pada Sastra Perlu Ditumbuhkan karya Ester Lince Napitupulu, Lutfi—dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Unair—mengungkapkan pandangannya mengenai kondisi sastra saat ini. Ia menyoroti bahwa derasnya arus konten di media sosial telah menggeser perhatian generasi muda dari sastra klasik atau susastra. Padahal, menurutnya, sastra memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia. Karena alasan itulah, Lutfi menekankan pentingnya reformasi kurikulum di sekolah agar sastra kembali mendapat tempat yang layak dalam pendidikan.

Membaca karya sastra, bagi saya, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap arus zaman. Di tengah derasnya media sosial dan kemajuan kecerdasan buatan yang serba cepat, saya memilih duduk tenang dan menekuri halaman demi halaman sastra yang mengajak untuk melambat serta menyelami kedalaman makna di balik kata-kata. Selain memberikan kenikmatan tersendiri, pengalaman membaca (Sastra Indonesia) ini tanpa disadari memperkenalkan saya pada kekayaan bahasa Indonesia yang jarang diketahui banyak orang. Misalnya, kata palum yang berarti tidak haus, tetikus yang merupakan padanan kata untuk mouse dalam dunia komputer, swafoto sebagai istilah untuk selfie, serta kata-kata lain seperti pramusiwi, klandesin, bernas, garwa, dan galat.

Ancaman Kehilangan Generasi Sastra

Menurut Kariyawan dalam artikel ilmiahnya berjudul Minimalisir Kehilangan Generasi Sastra Melalui Sastra Digital dan Alih Wahana Karya Pada Generasi Alfa, perkembangan sastra senantiasa berjalan seiring waktu dan ditandai dengan kemunculan berbagai karya sastra baru. Namun, meskipun karya-karya tersebut terus tumbuh dan memperkaya khazanah sastra Indonesia, kenyataannya banyak dari karya itu hanya dikenal oleh kalangan terbatas, khususnya para pelaku atau pencinta sastra. Karya sastra yang tidak menjangkau khalayak luas, terutama generasi alfa, berisiko menciptakan jurang antara generasi muda dan dunia sastra. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya upaya sadar dari para pegiat sastra untuk memperkenalkan karya-karya tersebut kepada generasi digital, maka besar kemungkinan bangsa ini akan mengalami kekosongan generasi sastra di masa depan. Siapa yang tahu?

Kariyawan juga menekankan pentingnya menghadirkan pembelajaran sastra berbasis digital di lingkungan pendidikan formal sebagai salah satu langkah strategis dalam alih wahana sastra. Sayangnya, pendekatan ini masih belum mendapatkan perhatian serius, khususnya dalam kurikulum sekolah, sebagai tonggak bibit-bibit ilmu pengetahuan. Tanpa adanya kebiasaan untuk mengalihwahanakan karya sastra dalam proses belajar-mengajar, upaya untuk mengenalkan dan mendekatkan sastra kepada generasi alfa yang tumbuh dalam ekosistem digital akan mengalami hambatan. Kehilangan generasi yang melek sastra dapat membawa dampak besar bagi bangsa, karena sastra bukan hanya sekadar teks, melainkan ruang untuk berpikir kritis, berempati, dan memahami kebudayaan itu sendiri.

Walau beberapa puisi memang masih dilisankan di ruang kelas, termasuk karya-karya Chairil Anwar, namun sayangnya kerap hanya menjadi hafalan tanpa ada dorongan untuk sampai pada pemahaman makna. Puisinya sering diperlakukan sebatas kutipan untuk memenuhi tugas, bukan sebagai jalan masuk untuk memahami kegelisahan zamannya. Alih-alih menghidupkan semangat sastra, praktik ini justru menjauhkan siswa dari ruh dan konteks karya sastra itu sendiri. Lebih jauh, munculnya puisi-puisi yang dibacakan di ruang kelas maupun ruang digital—seperti Bintang, Cinta dan Benci, atau Terima Kasih Guruku—yang tidak pernah saya temukan dalam kumpulan puisi Chairil seperti Aku Ini Binatang Jalang, Tiga Menguak Takdir, Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang Terampas dan Yang Putus, maupun dalam buku Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45 karya H.B. Jassin, menunjukkan lemahnya literasi sumber dalam pendidikan sastra. Hal ini mencerminkan kurangnya ketelitian guru dan kelemahan kurasi dalam modul ajar sastra di sekolah, yang seharusnya mampu menghadirkan karya-karya bermutu dan otentik untuk dipelajari.

Sastra Bukan Sekadar Bacaan, Tapi Rumah Pulang

Sastra bukan sekadar hiburan. Ia adalah ruang permenungan, tempat jiwa bernaung dari bisingnya dunia. Dalam puisi, cerpen, novel, dan drama, manusia tidak hanya bercerita, tapi juga bertanya, memprotes, mencinta, dan mengingat. Sastra adalah cermin yang bukan hanya untuk melihat dunia, tapi juga menatap diri.

Jika generasi muda kita tak lagi mengenal sastra, atau kian berjarak dan berjauhan dengan kehidupan sastra, maka hilanglah satu alat penting untuk memahami potret zaman. Daya kritis akan tumpul, empati akan mengering, dan bangsa ini akan kehilangan salah satu jalan terbaik untuk mengenali dirinya sendiri.

Oleh sebab itu, di tengah dunia yang menuntut kita serba cepat, mari kita berani melambat bersama sastra. Membaca puisi Chairil bukan untuk mencari rima, tetapi untuk memahami bagaimana hidup yang hanya menunda kekalahan. Menyimak kisah Felix K. Nesi bukan sekadar demi plot, tapi untuk merasakan denyut nadi tanah yang jauh di Oetimu. Membuka kembali Pramoedya bukan sekadar nostalgia, tapi sebagai pengingat bahwa sejarah punya banyak suara yang selama ini dibungkam.

Mari melipir sejenak ke halaman-halaman A.A. Navis, Sapardi, atau Taufik Ismail, dan di sana temukan Indonesia yang kita kenal, tapi sering tak kita pahami.


Referensi:

Suryo, P. (2022, 25 Mei). Anggapan Sastra pada Generasi Milenial. MerahPutih.

Al-Fajri, D. S. A. (2025, 4 Maret). Punya Perpustakaan Tertinggi di Dunia, Minat Baca di Indonesia Masih Rendah. GoodStats.

Napitupulu, E. L. (2024, 11 April). Ketertarikan Anak Muda pada Sastra Perlu Ditumbuhkan. Kompas.

Kariyawan, B. (2023). Minimalisir Kehilangan Generasi Sastra Melalui Sastra Digital dan Alih Wahana Karya Pada Generasi Alfa. Jurnal Lingkar Pendidikan, 2(2), 67–74.

Widyaningrum, A., & Hartarini, Y. M. (2023). Pengantar Ilmu Sastra. Pekalongan: PT Nasya Expanding Management.

Damono, S. D. (1999). Sihir Rendra: Permainan Kata. Jakarta: Pustaka Firdaus.