Di Rumah Makan dan Puisi Lainnya

Di Rumah Makan

Memasuki rumah makan, Pak tua itu
datang dengan sorot mata yang tenang

Dalam kejauhan pandangnya membidik
piring-piring kotor, hidangan sisa yang tak habis dimakan

Pak tua lalu menghampiri meja yang berserak sisa makanan. Ia tersenyum, menghela nafas panjang, dan tak lama pergi: lenyap dalam pandanganku

Tuhan, ke mana Pak tua itu?

Aku ingin memberi bungkusan kebahagiaan
dengan serantang doa keselamatan.

Puasa, Puan

Puan, ingatkah negara mana yang mengagungkan kecantikan?
India, orang cantik ditinggikan
Korea, tidak cantik akan tertekan

Begini Puan, sadarkah
terlalu menyiksa untuk menyandang
gelar “Cantik Proporsional”
Fungsimu bukan untuk sumber
cuci-mata
Puan, kita mesti puasa dari perayaan kasat mata
dan menempatkan hal itu sewajarnya:
Kita memang berbeda-beda, Puan,
kulit, timbangan, pun tinggi badan

Begini Puan, bukan soal
fisik dikedepankan melulu
Ingatlah peran kita tidak secuil itu
Peran kita sangat multimilioner

Jika banyak mimpimu dijadikan guyonan
Karyamu jadikanlah perlawanan
Perempuan perlu menjadi berani tegak
Ketika zaman nyaris sebelah pihak
Dan kita tinggalkan sejenak mengenai kemahiran dalam bermake-up

Zaman ini kita dituntut kuat
Zaman yang tak sekat untuk kita
berhenti bertekad
Bahkan kita sekarang mendapat fasilitas kata “berhak”
Dan kini saatnya, Puan, kita harus berani bersikap
Jaga selalu keseimbangan status muliamu sebagai pencipta peradaban, dalam keadaan mempuasai segala hasrat-nafsu kecantikan, dan untuk pergerakan.