Kita Sudah Mencari, Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya

Kita Sudah Mencari, Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya


Waktu tulisan ini saya buat, Ibu saya baru pulang dari perburuannya mencari gas LPG 3 Kg subsidi pemerintah ke agen-agen terdekat. Ia kelelahan sebab usahanya memburu gas melon tersebut tak membuahkan hasil. Lalu antrean manusia menenteng tabung hijau serta meme-memenya yang menohok memenuhi beranda sosial media sepekan terakhir.

Kita pun segera tahu, segala kekacauan itu bermula dari kicauan tentang aturan yang dijalankan dengan mekanisme cacat. Dan percayalah, setelah itu bakal selalu ada yang keluar dari sarangnya melepaskan topeng lalu berlagak seolah übermensch yang meredam percikan; menertibkan kekacauan, padahal ledakan telah terjadi di sampingnya.

Tentu saja hal tersebut membuat Presiden angkat bicara, malamnya berita Presiden memberi pernyataan untuk memberikan kemudahan mendapatkan elpiji tayang, pengecer kembali diberi akses dan pedagang kecil yang kehidupannya bergantung pada gas melon tak perlu repot-repot mengantre sampai 100 langkah. Namun pernyataan itu tayang setelah kekacauan terjadi, setelah kecacatan di tubuh kementeriannya, setelah sekian banyak ledakan kemarahan dan seorang Ibu di Tangerang kemarin gugur sepulangnya dari berburu gas elpiji. Saya tak bisa lagi membayangkan ibu saya ada dalam ratusan kepala yang mengantre tunggu kebagian tabung gas. Barang tentu ia telah jadi bagian dari golongan yang tergambar dalam meme-meme kalahan itu.

Perburuan orang-orang mengantre gas bertepatan dengan 100 hari pertama kerja Presiden, dan tak ketinggalan tagar 100 Tahun Pram menghiasi beranda. Lalu algoritma dengan segala mekanismenya bekerja di ruang-ruang platform sosial media, menampilkan kekacauan, kicauan kebijakan yang cacat, hingga memoar hidup mengenang 100 tahun sosok sastrawan besar yang hidup di dunia ide—bumi manusia—itu makin berseliweran pada hari kelahirannya (06/02). Terbingkailah meme 100 langkah antrean tabung Gas, bergantian penuh sesak dengan berita-berita 100 hari kerja pertama Presiden, dan yang terbersit kemudian adalah 100 kali dalam sehari kemanusiaan yang adil dan beradab dipertanyakan kembali dalam diri, dan mungkin akan berjejalan di pikiran banyak orang yang berperasaan.

Siapa pun akan sepakat ketika mengetahui sistem algoritma bekerja lebih canggih lagi rapi dari perencanaan kaki-tangan Presiden yang dianggap lebih maju, beradab dan terhormat.

Teringatlah pada pernyataan Pram yang juga pernah bicara tentang orang-orang maju yang tersemat pada orang Eropa di abad ke-16. Pada masa itu Eropa seperti penggambaran tentang kemajuan, modernitas, dan pencerahan. Dan apa yang dianggap maju di eropa, kata Pram dalam Bumi Manusianya, hanya berlaku di Eropa saja. Pun ketika ungkapan itu dipakai untuk menggambarkan kehidupan sebagai warga negara di sini, hari ini; warga negara yang mengharapkan setitik pencerahan dari kemajuan ekonomi, dan semua itu tampak hanya berlaku bagi mereka yang dekat pada akses kekuasaan dan pemilik modal. Maka seperti kata Pram, orang-orang yang berkemajuan itu tak memberi kita—orang kecil—perlakuan dengan rasa hormat.

Jika melihatnya hanya sepintas lalu, memang dunia Pram tak ada hubungannya dengan tabung gas. Distribusi tabung Gas urusan orang-orang yang bergelut dengan kebijakan ekonomi. Di dalamnya hanya ada uang, dan uang. Manusia hanya ada untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya. Kita pun tahu, kebijakan ekonomi semacam itu diatur oleh mekanisme bisnis serba ketat, didukung birokrasi belut yang berbelit. Maka yang terjadi adalah kesangsian sebagai warga negara yang taraf ekonominya di luar mekanisme bisnis serupa itu. Mungkin dalam kamus bisnis orang-orang maju, kata kemanusiaan itu tak ada, jauh dari yang namanya falsafah keadilan, keindahan serta rasa aman.

Maka perkenankanlah saya mewakili Ibu yang keletihan kemarin dengan mempertautkan dunia Pram yang kerjanya memang berdasar pada nilai-nilai, dalam laku-hidup dan sikap luhur kemanusiaan, dalam renungan filsafat tentang keadilan dibalut estetika dengan fenomena antrean tabung gas yang terjadi sepekan terakhir. Sebab Bumi Manusianya berkata lagi: Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.

Maka Pram masih ada bersama persoalan kemanusiaan hari-hari ini; hadir bersama kerumun orang-orang di dalam antrean; spirit 100 tahun kelahirannya seperti membersamai 100 langkah antrean tabung gas. Meskipun ia sendiri tak pernah punya pengalaman mengantre sebagai pedagang eceran gas elpiji. Sejauh pembacaan saya yang—pendek pun belum—tentang Pram, laju bisnis yang dilakukannya adalah berjualan kretek.

Mengutip Mark Hanusz: With a foreword by Pramoedya Ananta Toer dalam esai Mohammad Sobary, Pram berbicara tentang masa kecilnya, tentang kretek dan pasar malam. Usianya masih 13 tahun ketika ia berjualan kretek.

Selama setahun Pram berjualan hingga sampai membuka warung kretek. Sebagaimana kebanyakan pedagang, ia melayani seluruh pelanggan, termasuk pamannya sendiri yang membeli kreteknya dengan cara kredit. Harga kretek dibayar berangsur di kemudian hari setelah ada uang.

Apa yang penting dari cerita tersebut adalah sebagai refleksi ketika membaca fenomena tabung gas. Bisnis dalam kehidupan Pram bukan berdasar pada bisnis adalah bisnis, juga bukan ungkapan bisnis tak mengenal saudara. Meminjam kata Mohamad Sobary, bisnis pram adalah potret ekonomi kerakyatan tulen, jauh dari falsafah bisnis kebanyakan businessman terhormat, yang hari ini mungkin banyak bercokol di tubuh pemerintahan.

Terakhir, meme dari fenomena tabung gas yang saya ingat adalah perkataan Pak Efendi kepada Bahlil: jangan ganggu kemiskinan kami. Maka, 100 Tahun mengenang kelahiran Pram adalah spirit untuk terus berlaku adil menjadi warga negara dalam pertaruhan bertahan hidup. Mencari makan dan terus bertahan, sesekali berharap pencerahan juga rasa aman, meskipun kenyataan tak selalu berlaku sebaliknya. Maka saya katakan di samping Ibu yang keletihan, menjadi bagian dari meme-meme kekalahan: Kita sudah mencari, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.***