Ilustrasi @Alanwari
Marhaban ya Ramadhan. Untuk mengawali pengantar kegiatan Berbuka Puisi edisi #2 tahun ini, kami sepakat mengatakan bahwa puisi begitu dekat dengan puasa dalam beberapa hal. Spektrum keduanya begitu berkilau dan bercahaya, meskipun tidak dapat disamakan secara definitif. Puasa, sebagaimana rukun islam ketiga, adalah ibadah yang menguji ketaatan seorang manusia beriman kepada Tuhan secara langsung. Sedangkan puisi, kami anggap sebagai bagian dari wahana spiritualitas, yang bergerak ke arah religiositas atas ketaatan manusia pada Tuhan, ia meminta kita percaya dan taat akan sesuatu yang ada di “luar” diri kita. Napas spiritualitas dan gerak religiositas itu akan meneroka apa yang ada di “dalam” diri kita—lalu terhidangkan ke dalam sebuah teks puisi—sebagai bagian dari perjalanan ibadah.
Maka, dengan tema besar Puisi di Tengah Hidangan Berbuka Puasa ini, kami berharap setiap kata dalam puisi-puisi yang dihidangkan bisa menggenapi hidangan spesial yang disiapkan setiap hari, sebagai pelepas lapar-dahaga. Sebab, kami percaya hidangan berbuka puasa bisa melepas dahaga dan lapar jasmaniah, dan puisi diharapkan bisa membantu melepas dahaga dan lapar rohaniah.
Potensi kaitan antara puisi (sastra) dan spiritualitas-religiositas (agama) seperti ini tentu sangat bisa dieksplorasi ke segala arah. Misalnya, jika menyitir salah-satu kutipan puisi Rendra (dalam Gumamku Ya-Allah) bahwa, “agama adalah kemah para pengembara // menggema beragam doa dan puja // arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.” Ketika mengendarai kutipan puisi tersebut, dan ketika kita mengamini bahwa agama (baca: gerak puasa) adalah kemah para pengembara, maka kelanjutannya kami maknai sastra (baca: jalan puisi) sebagai api unggun yang menerangi sekaligus menghangatkan perkemahan hidup para pengembara itu sendiri.
Kami membayangkan bahwa rasa kenyang yang cukup akan hadir pasca-menikmati hidangan sederhana berbuka puasa dan berbuka puisi. Kepala dan hati kita akan sama-sama terbuka tentang syukur akan nikmat Tuhan yang hadir di tengah-tengah kebersamaan keluarga lewat kurma, kolak, gorengan, air hangat, sirup, atau makanan-minuman lainnya, dan juga berikut makna yang tersaji di dalam laku puisi. Pada prosesi itulah, kami bayangkan puisi sebagai suatu keberkahan yang penuh rahmat, sebagai suatu anugerah di sisi puasa, sebagaimana jika meminjam kutipan puisi M Saribi Afn (dalam Hari Ini Adalah Hari yang Penuh Rahmat dan Ampunan) bahwa ketika berbuka puasa kita akan merasakan dimensi puisi tentang “hari ini adalah hari yang penuh dengan rahmat dan ampunan/ bagi segenap manusia dan segenap kehidupan// Dengan khidmat, pohon-pohonan merebahkan lengan-lengannya mencium bumi/ Berguguran bunga mawar bagai disebar sejuta tangan bidadari// Dengan khidmat, bunga-bunga menatapkan wajahnya ke langit dan tersenyum bagi kaum surgawi.”
Di antara dialektika religiositas, spiritualitas, dan sastra yang kita miliki masing-masing, pergumulan karya akan menjadi bagian yang menarik yang kita hasilkan selama kita merasakan dan menikmati ibadah dalam keadaan pikiran yang jernih-lapang di hari puasa. Dengan begitu, kami dengan sangat rendah hati, senantiasa mengajak kawan-kawan pembaca sekalian untuk dapat berdiskusi dengan siapa pun lewat karya-karya puisi bertema religius, spiritualitas, ke-islam-an, dan atau ramadhan secara spesifik. Lewat kegiatan Berbuka Puisi edisi #2 ini, diharapkan dapat muncul karya-karya menarik yang identik dalam rangka meramaikan sekaligus menghangatkan suasana bulan suci ramadhan dengan kejernihan pikiran dan ide yang termaktub dalam puisi-puisi karya kawan-kawan itu sendiri.