Waktu dalam Berpuisi
dan berjalan,
dan berdiam melihat waktu,
dan memakan waktu untuk bertemu,
dan menulis puisi bukan berinvestasi
dan bercerita tentang puisi yang kutulis
dari sisa-sisa masakan ibu pada waktu pagi hari
Melihat kakak perempuanku membeli hidangan
untuk berpuasa, kadang-kadang aku lupa waktu
berjalan begitu lambat dari biasanya
pagi yang tak seperti pagi pada umumnya
dan aku ingin mengatakan padamu bahwa
aku berpuasa tanpa santapan jam tiga dini hari
dan bukan untuk berpuisi.
Membicarakan Puasa Melalui Puisi
Ngomongin puisi seperti membicarakan
hal-hal di luar deskripsi tentang “puasa”
1
Ibu menelpon dari rumah,
“Nak, hari ini Ibu akan menyiapkan hidangan
kesukaanmu: ada pisang goreng, ada kolak
yang terbuat dari sarang gagak, ada es buah,
ada juga sop buah.”
“apakah ada rindu Ayah, Bu?” tanyaku.
2
Kami saling menatap hidangan yang Ibu siapkan
sesekali aku teringat hal lain yang biasa Ayah lakukan
dengan ragu-ragu di hidangan itu
Aku tidak suka menunggu,
Kakak seringkali mengganggu,
Mungkin Ayah tak mengusap air mataku
“Bu, kenapa sop buahnya nyiprat mataku, ya?” tanyaku.
Catatan Apresiasi Redaksi:
Puisi-puisi ini ditulis oleh Lolyta Sandra Aurelyn, siswi SMPN 4 Gunung Putri – Kabupaten Bogor. Seperti pada puisi Akhmal kemarin, kami menerbitkan puisi Lolyta juga sebagai suatu usaha menunjukkan dan merayakan bahwa sastra (puisi) secara de facto masih dekat dengan kehidupan anak-anak, khususnya para siswa-siswi Sekolah Menengah yang sedang dalam masa perkembangannya. Dalam masa peralihan dari anak-anak menuju remaja itu mereka mempertajam imajinasi dengan bahasa (puisi) sebagai salah-satu wahana bermainnya.
Mari kita lihat pada dua puisi berjudul, “Waktu dalam Berpuisi” dan “Membicarakan Puasa Melalui Puisi”, yang menunjukkan bagaimana anak-anak, khususnya Lolyta, juga memiliki pemahaman yang cukup menarik tentang bagaimana menawarkan jalan puasa dan dapat mengungkapkannya dalam bentuk: teks puisi.Yang menarik dari puisi-puisinya adalah penawaran Lolyta dalam mengungkapkan konflik dan peristiwanya dengan cara yang kreatif-imajinatif plus reflektif.
Di dalam “Waktu dalam Berpuisi”, Lolyta mengungkap tawaran konflik-peristiwanya tentang puasa dan puisi sebagai dua dimensi yang dapat dipersatukan. Ia mampu menawarkan apa yang mungkin dari renungan puasa dengan jalan puisi, seperti: dan menulis puisi bukan berinvestasi/ dan bercerita tentang puisi yang kutulis/ dari sisa-sisa masakan ibu pada waktu pagi hari// kadang-kadang aku lupa waktu berjalan begitu lambat dari biasanya.
Sementara dalam “Membicarakan Puasa Melalui Puisi”, Lolyta mengungkapkan perasaan-pengalamannya tentang puasa sebagai sebuah tawaran dialektika yang dapat membuat kita merasa masuk ke dalam tragedinya, misalnya ketika ibunya menelepon dan tengah menyiapkan hidangan berbuka, yang terjawab oleh Lolyta adalah rindu pada Ayahnya, sebagaimana: Aku tidak suka menunggu/ Kakak seringkali mengganggu/ Mungkin Ayah tak mengusap air mataku.
Dua puisi Lolyta ini menunjukkan kemampuan dalam mengungkapkan perasaan-pikiran dan pengalamannya tentang puasa dalam kerja puisi. Ketika anak-anak diselimuti dimensi keliaran berpikirnya plus perasaannya, di sinilah kerja puisi dapat menjadi alat yang efektif sekaligus menarik untuk membantu anak-anak mengelaborasi-mewahanai perasaan dan pengalaman mereka. Dan sama seperti Akhmal, Lolyta cukup berani mengambil sikap itu dalam memasuki plus merambah rimba puisi, mengembangkan kepekaannya dalam mengungkapkan perasaan-pikiran dan pengalamannya menjadi sebuah karya: puisi.