Foto: halimunsalaka.com
Dalam berbagai kesempatan, di setiap pertunjukannya, Sadulur-Sadayana (Grup Musik Gaib lintas “Jabodeta” Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang) pasti selalu menyajikan sebuah lagu yang berjudul, Redup Senyap Hilang, dengan lirik pembuka yang menggedor-gedor perasaan para penontonnya: dari bunyi yang lampau/ gemanya bersemayam/ di gunung-gunung/ di hutan lebat/ redup senyap hilang.
Lirik lagu berjudul,Redup Senyap Hilang itu terinspirasi dari cerita Kerajaan Kawali di Ciamis, semacam reaksi suasana-hati ketika mereka berziarah. Tentu, saya menghadirkan itu bukan asal-tempel sebagai pengantar agar terlihat menarik perhatian pembaca, alasan saya membawa nama Grup-Musik Sadulur-Sadayana beserta cuplikan lirik-lagunya, disebabkan sangat tepat menjadi sebuah pembuka dalam catatan “nyukcruk” ini, di mana saya bersama kawan-kawan Halimun-Salaka menziarahi berbagai tempat yang sejalan dengan liriknya: mulai redup, sangat senyap, dan bahkan hilang dari ingatan anak-cucunya tentang cerita-cerita Nenek-moyangnya sendiri. Sebagaimana kita masih dipenuhi rasa penasaran bahkan curiga, benarkah kehidupan Nenek-moyang kita dahulu punya kerajaannya masing-masing, punya cerita megahnya masing-masing? Kalau benar adanya, apa dan mana buktinya?
Itulah modal saya bersama kawan-kawan Halimun-Salaka ketika menziarahi berbagai tempat yang menyimpan misteri tentang kehidupan para leluhur, lebih khusus ialah sekelumit peninggalan Kerajaan Tarumanagara, yang saya mulai dari Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Muara Cianten, dan Prasasti Jambu. Berbagai tempat tersebutlah yang mana hendak diurai-catat-ceritakan pada kesempatan kali ini. Penziarahan yang mula-mula disebabkan ingin menelisik lebih jauh apa dan bagaimana sebenarnya kehidupan masa-lalu sebelum terlahir Kerajaan Pakuan-Pajajaran, sebelum terlahir Bogor masa kini, dengan melanjutkan catatan-cerita Ketika Memandang Pohon Aren: Terlintas Kebudayaan “eceuk” dan Kesejarahan “poek” yang sudah terbit di situs web halimunsalaka.com.
Agar catatan “ngabulatuk iyeu” tidak meluas ke mana-mana, maka saya hendak menentukan akan ke-mana catatan ini tertuju atau muatan apa dan bagaimana yang hendak dicatat-uraikan. Dengan berbagai pertimbangan, catatan ini tak lain hanya merupakan reaksi anak-cucu yang ingin “deudeuh hayang nyaho” atau mengetahui bagaimana sejarah nenek-moyangnya – dengan prosesi pencatatan apa yang dialami-rasakan ketika berkunjung-melihat peninggalan tersebut, membaca berbagai akar-sumber para pakar sejarah, lalu menggambar ulang pemaknaan sesuai apa yang terjadi dari rumusan dialektika olahan perasaan dan pikiran.
Peninggalan Kerajaan Tarumanagara
Semua sejarawan sepakat, bahwa Kerajaan Tarumanagara merupakan kerajaan tertua kedua di Nusantara setelah Kerajaan Kutai-kuna, yang meninggalkan bukti arkeologi berupa Prasasti (tak seperti Salakanagara yang dianggap palsu atau belum dapat dijadikan sumber sejarah oleh pakar sejarah melalui polemik Naskah Wangsakerta). Dalam kesepakatan itu, Kerajaan Tarumanagara dikatakan kurang-lebih pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua peninggalan arkeologi dari kerajaan Tarumanagara (sampai saat ini) hanya ditemukan tujuh bukti temuannya di daerah Jawa Barat, dari Bogor, Bekasi dan Banten (mungkin, saya membayangkan pastilah masih ada peninggalannya yang belum diketemukan oleh para peneliti). Prasasti tersebut di antaranya yang sudah saya ziarahi Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Muara Cianten, dan Prasasti Jambu. Sedangkan yang belum saya ziarah-kunjungi (namun sudah ditelusuri sumber kajiannya) ialah Pasir Awi di Jonggol, prasasti Tugu di Bekasi, dan prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten.
Dengan pengantar di atas, sesuai tempat yang sudah saya ziarah-kunjungi, maka yang menjadi pusat perhatian atau akan difokuskan pada Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Muara Cianten, dan Prasasti Jambu. Dari Prasasti Ciaruten, Kebon Kopi, dan Muara Cianten tempatnya masih berdekatan di wilayah Ciaruteun Ilir, Kec. Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Sedangkan Prasasti Jambu bertempat di Pasir Gintung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Sebab saya belum dapat membaca tata-laku, tata-buku, tata-bahasa, tata-aksara masa lalu, tentu sebagian kita juga pasti merasakan hal yang sama terkait hal itu, dan hanya dapat menyaksikan terjemahan para peneliti terkait apa dan bagaimana peninggalan atau muatan cerita apa sebenarnya yang ada di dalam prasasti tersebut. Maka kita hanya mendapat dongengan saja terkait rasa penasaran yang menyelimuti diri kita sebagai anak-cucu suatu Bangsa, atau hal terkecil suatu Kota. Dongengan-dongengan tersebut sudah pasti hasil rumusan dari para sejarawan, budayawan, filolog, arkeolog, dan cabang ilmu lainnya, yang kenyataannya belumlah mengungkap semua jejak-peninggalan dan cerita keseluruhan dari prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara itu sendiri (menyangkut uraian ini akan diulas di paragraf yang lain).
Semua orang yang datang ke tempat peninggalan Kerajaan Tarumanagara, pasti akan mendapatkan dongengan hasil dari pakar sejarah, tentang sumber berita asing yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Cina, berupa catatan perjalanan si Fa-Hien dalam bentuk buku dengan judul “Fa-Kuo-Chi” menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M, di Ye-Po-Ti banyak orang Brahmana dan animisme. Atau pada tahun 414 M si Fa-Hien itu datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah kerajaan bernama To-lo-mo, nama lain dari Kerajaan Tarumanagara. Selain itu, ditambah tentang berita Dinasti Sui menuliskan bahwa pada tahun 528 dan 535, utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan. Berita Dinasti Tang menuliskan bahwa pada tahun 666 dan 669 utusan To-lo-mo telah datang. Dari berita tersebut, disatukanlah dengan penemuan 7 prasasti yang sudah ditemukan, dan-lalu dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400–600 M, yang pada saat itu masa kepemimpinan Raja Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.
Penemuan Prasasti yang disatukan dengan berita asing itu, pasti akan diteruskan dengan cerita, menurut dan berdasarkan prasasti yang telah ditemukan, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat bernama Raja Purnawarman, yang mana dibuktikan dalam Prasasti Tugu, diceritakan penggalian Sungai Candrabaga (bertempat di kali daerah bekasi) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau pada masa itu, dan malah menjadi mega-proyek masa silam yang ajaib, tidak seperti proyek Pemerintah dewasa ini yang mandek. Eheihee!
Atau tentang bagaimana kekuasaannya dan keberaniannya dilukis-ceritakan pada Prasasti Ciaruten, “Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”, serta Prasasti Kebon Kopi, “Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan (?) kejayaan”, dan-lalu oleh Prasasti Jambu, “Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.
Sumber-sumber tersebut tentu hasil rumusan terjemahan dan pemaknaan ulang tentang isi dan nilai yang ada di dalam prasasti, sebagaimana menurut para filolog-arkeolog sudah melewati epigraf-otograf-arketip-hiperketip dan kritik teks, yang mana masing-masing prasasti (Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Muara Cianten, Prasasti Jambu, Pasir Awi, Prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiang) memiliki pesan-makna yang berbeda, namun tetap sejalan menelisik cerita Kerajaan Tarumanagara itu sendiri. Berbekal prosesi ketidak-mengertian saya terhadap semua itu, akhirnya saya mencoba menyatukan semua pesan yang terdapat dari semua Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara, walapun Prasasti Muara Cianten belum saya temui terjemahannya, entah saya tidak tahu, apakah belum diteliti lebih lanjut dan belum menghasilkan terjemahannya, sebagaimana nasibnya yang masih terbengkalai dan dipenuhi sampah di pertigaan aliran sungai Cianten-Ciaruten yang bermuara di Cisadane.
Maka, saya mencoba menyatukan semua terjemahannya di sini, dari Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Jambu, Pasir Awi, Prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiang. Sebagaimana saya utarakan sebelumnya di atas, saya baru mengunjungi 4 Prasasti, sisanya saya ambil dari berbagai sumber-kajian yang bertebaran di laman-internet.
Berikut terjemahan yang saya satukan: Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paruh gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paruh terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan.
Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja. Di sini tampak sepasang tapak kaki yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam kejayaan. Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya. Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia.
Lewat penyatuan teks terjemahan tersebut, saya membayangkan, andai saja jika temuan Prasasti Kerajaan Tarumanagara itu lengkap, mungkin penyatuan teks semacam ini akan membuahkan cerita yang amat sangat menarik, memiliki tema yang luas, alur yang beragam, tokoh yang banyak, latar yang jelas, dan seterusnya, dan sebagainya.
Sampai Mana Peninggalan Masa Kerajaan Tarumanagara itu ditelusuri?
Sampai di sini, apakah segala informasi di atas, yang bersumber dari kumpulan pakar sejarah sudah bisa menjadi ilham kesimpulan untuk kita sebagai anak-cucu yang tidak tahu apa-apa, ataukah justru menjadi sumber masalah – sebab kurang lengkapnya informasi dan usaha untuk melengkapinya dan malah menambah rasa penasaran yang menggunung? Sebagaimana puncak pertanyaan ini: Apakah peninggalan Kerajaan Tarumanagara hanya itu saja? Apakah Raja Purnawarman tidak mempunyai istri dan anak sebagai penerus tahtanya? Siapa yang mengalahkan dan mampu menghancurkan seluruh peninggalan Kerajaan Tarumanagara? Lalu, bagaimana penelitian lebih-lanjutnya terkait Kerajaan Tarumanagara di kalangan peneliti dan sejarawan hari ini? Apakah ada usaha dari pihak Pemerintah untuk membongkar lebih dalam segala yang belum diketemukan itu, mencari letak bangunan peninggalannya misal, agar terungkap di manakah sebenarnya letak Kota Kerajaan Tarumanagara yang menurut para pakar sejarah bernama Sundapura itu? Apakah di Bogor, atau Banten, ataukah Bekasi?
Pertanyaan di atas mungkin akan terjawab nanti, entah kapan waktunya kita hanya bisa menunggu saja. Namun ada yang lebih menarik, hal ini tentu belum tersedia di halaman internet-google atau kajian-kajian tentang cerita Tarumanagara. Menurut kesaksian juru-pelihara, Pak Gandi, menjelaskan kepada saya bahwa tahun 2006 pernah ada ekskavasi (penggalian sekitar kurang-lebih 2-meter) di sekitar Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah) dari pihak peneliti yang didukung pihak pemerintah, dan ditemukan batu-batuan yang seperti tembok-bangunan atau katakanlah mungkin semacam benteng (sebab, kata Pak Gandi, penggalian itu hanya beberapa meter kedalamannya). Namun penelitian itu tidak berlanjut, dan ditimbunlah kembali hasil penggalian itu, disebabkan tanah area di belakang Prasasti sebagian masih milik warga. Tahun 2012 sempat ada penelitian lebih lanjut, namun tidak sampai diekskavasi. Di sinilah saya merasa janggal, heran, dan tidak habis pikir. Ada apa dan mengapa penelitian itu tidak dilanjutkan? Apakah pihak pemerintah sudah berpuas-hati dengan penemuan 7 Prasasti itu saja, atau ada alasan lain?
Saya jadi ingat kata-kata Bapak Republik kita yang berbunyi: jangan sesekali melupakan atau meninggalkan sejarah. Saya tiba-tiba membayangkan hal itulah salah-satu faktor Pemerintah kita tidak serius membongkar sejarah, sebab slogannya cuma diperintah untuk mengingat dan jangan meninggalkan sejarah, bukan terus membongkar, mengulas, dan terus mencari peninggalan dari muatan sejarah itu sendiri. Coba saja kata-kata itu diubah menjadi, begini: jangan sesekali membongkar sejarah dalam tempo yang lambat dan setengah-setengah. Mungkin, dengan begitu, kita tidak hanya mengingat-mengenang saja atau berpuas-hati dengan temuan kecil yang masih banyak menyimpan rahasia, melainkan akan serius membongkar apa yang belum dan masih menjadi misteri, sebagaimana peninggalan Kerajaan Tarumanagara di mata kita dewasa ini.
Ternyata pencarian peninggalan masih ditelusuri walaupun setengah-setengah. Ada yang mengaitkan serta menduga Situs Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan peninggalan dan masih berkaitan dengan Kerajaan Tarumanagara, sesuai umur dan tahunnya. Ditemukannya bangunan Hindu dan situs temuan pra-Hindu “Kebudayaan Buni” yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama masehi itu, sejalan dengan tulisan Fa Hsien, seorang bhiksu dari Cina yang berkunjung ke Pulau Jawa pada tahun 414 Masehi, yang menguraikan, “Di Ye-po-ti (terjemahan dari Jawa-Dwipa, yang diduga merupakan Kerajaan Tarumanagara, kerajaan di Pulau Jawa yang berjaya pada masa itu).
Walaupun jarang ditemukan penganut agama Buddha, tetapi banyak dijumpai Brahmana dan orang-orang beragama penganut kepercayaan lokal, yang mana kita sebut animisme. Dan-lalu Berdasarkan catatan dari Fa Hsien itu, diketahui bahwa pada awal abad ke-4 masih sedikit sekali penganut Agama Buddha di Pulau Jawa, maka kecil kemungkinan tentang pembangunan kompleks candi Buddha dilakukan sebelum abad ke-4. Lokasi percandian dipraduga sudah menjadi pusat pemujaan sejak abad ke-2 Masehi, namun pembangunan kompleks candi yang megah itu kemungkinan besar baru dimulai pada zaman keemasan Kerajaan Tarumanagara, yakni pada masa pemerintahan Raja Purnawarman (tahun 395-434 Masehi) dan dilanjutkan secara bertahap oleh penerusnya hingga akhirnya ditinggalkan karena banjir bandang pada abad ke-7.
Lalu, apa hanya itu saja? Hoaiii! Lagi-lagi kita terus dipenuhi rasa curiga, mengapa kita tidak serius membongkar secara detail-mendalam sejarah nenek-moyang kita sendiri? Mengapa masih praduga-prakira saja yang diberikan kepada kita sebagai anak-cucunya? Sebagaimana ketika Pak Gandi menjelaskan pada saya pernah ada temuan semacam bangunan di sekitar Prasasti Kebon Kopi, pikiran saya langsung tertuju pada sebuah bangunan yang dapat dipastikan merupakan peninggalan Kerjaan Tarumanagara. Apakah Ciaruten-lah, atau katakanlah Bogor sebagai pusat Kota Kerajaan Tarumanagara? Pertanyaan itu akan terjawab jika ekskavansi dilakukan kembali dan terus-menerus sampai ke akarnya. Toh, walaupun nanti ketika penelitian itu bukan menghasilkan bukti bangunan kerajaan atau singgasana Raja Purnawarman, pastilah akan mengungkap cerita lain yang masih berkelindan dengan Kerajaan Tarumanagara itu sendiri.
Masa Kerajaan Tarumanagara saja kita masih setengah-setengah, lalu bagaimana kita membongkar peninggalan Situs Cibalay Arca Domas dan Situs Gunung Padang, yang kenyataannya jauh lebih silam dari Kerajaan Tarumanagara dan Kutai-kuna? Ini amat sangat merepotkan kita sebagai anak-cucu penerus sebuah Bangsa. Bagaimana tidak merepotkan, kita tidak diperbolehkan meninggalkan dan melupakan sejarah, tapi sejarah itu sendiri belumlah lengkap ditelusuri dan belumlah selaras-sepakat tentang prosesi kajian-penelitian para pakar sejarah kita sendiri. Rieut!
Andai saja, jika ada kesepakatan para ahli, para pakar sejarah (entah filolog, arkeolog, astrolog, dan sebagainya itu) tentang kesejarahan-kebudayaan leluhur kita (di Nusantara), dengan membikin ulang catatan sejarah yang lepas bebas dari teori jurig peneliti asing, dengan mengumpulkan semua pakar sejarah se-nusantara (yang katanya dewasa ini sudah cerdas dan sadar untuk membalik-kan kembali kebenaran sejarah yang sebagian keliru dan dipalsukan peneliti asing) untuk merumuskan kembali sejarah baru versi kita sendiri, sebagaimana metode-metodologi-mitologi Naskah Wangsakerta yang digadang-gadang palsu itu, mungkin akan menemukan titik-terang. Ingat! Yang kita ambil bukan isi naskahnya, melainkan metode-metodologi-mitologi yang menyebabkan kenapa naskah itu ada, untuk apa tujuannya naskah itu ada, yang mana diceritakan prosesi pengumpulan naskahnya mengumpulkan pakar-pakar se-nusantara dan memakan waktu kurang-lebih 21 tahun.
Harusnya polemik itu kita ambil sisi baiknya, keberanian mengumpulkan semua pakar sejarah se-nusantara, dan menggambarkan lamanya prosesi pengumpulan naskah yang mesti kita tempuh (ini menggambarkan pula bahwa akan banyak perkelahian, pertentangan, perdebatan dari seluruh para pakar sejarah tiap suku, jika kita menginginkan sejarah menyeluruh secara bersama). Apakah setelah naskah Wangsakerta di-vonis para peneliti-pakar-sejarah sebagai naskah palsu, para pakar kita lalu inisiatif untuk membuat naskah lengkap yang sesuai fakta sejarah, yang prosesinya mengumpulkan seluruh pakar se-nusantara agar tidak terulang kembali polemik yang demikian? Kalau tidak ada inisiatif, bagaimana kita sebagai anak-cucu yang ingin mengetahui secara lengkap sejarah nenek-moyang kita, tanpa curiga sejarah A terlalu melebih-lebihkan suku A dan sejarah B terlalu melebih-lebihkan suku B?
Dari polemik Naskah Wangsakerta mestinya kita bisa belajar tentang gelapnya sejarah yang masih menyelimuti kehidupan kita. Harus ada yang mengambil sikap tentang keberanian untuk melepas diri dari kelamnya jurig kolonialisme, seperti contoh cerita palsu dari Naskah Wangsakerta, yang menurut saya memang sengaja dibuat agar terjadi kesadaran manusia se-nusantara membuat buku sejarahnya secara menyeluruh dan bersama-sama, melewati prosesi panjang pemaknaan yang juga bersama-sama, dan memuat kesimpulan juga secara bersama-sama. Dengan menyadari pentingnya kesepakatan sejarah secara bersama-sama dari Sabang sampai Merauke yang dibentuk melalui pengumpulan catatan dan kesepakatan sejarah bersama para pakar sejarah se-nusantara itu, tentu, data-sumber-buktinya mesti sesuai kenyataan peninggalan naskah, candi-candi, prasasti, dan sebagainya, dirunut-telusuri dimulai dari Kerajaan tertua sampai jatuhnya masa Kerajaan.
Jangan sampai lagu Redup Senyap Hilang yang selalu disajikan (Grup Musik Gaib) Sadulur-Sadayana dalam liriknya itu, menjadi kenyataan yang membelenggu kehidupan bersejarah kita, seperti: tarian-tariannya melambai dalam rerimbun/ menyapaku dalam kegelapan/ yang kudapat hanya kesunyian// Redup Senyap Hilang…//. Jangan sampai cerita dan fakta sejarah kita melambai di rerimbun hutan yang gelap, yang mana ketika kita ingin belajar menelusuri dan mengetahuinya, hanya kesunyian yang kita dapatkan masing-masing, tak sampai pada kesamaan inti makna-cerita sejarahnya, tak sampai pada pemaknaan yang sama, dan kembali menimbulkan perkelahian-peperangan antar suku-bangsa di Nusantara.
Kepustakaan:
Ayatrohaedi. 2005. Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Ekadjati, Edi, S. (2009). Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Edi S Ekadjati, & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Saleh Danasasmita, Dkk. Sejarah Jawa Barat, Rintisan Penelusuran Masa Silam, Proyek Penerbitan buku Sejarah jawa barat, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat.
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.