dok. poster-arkipelagis
Sebagai pembuka saya ingin meminjam-menyitir lirik lagu yang berjudul, Berkata Indonesia dari Yogyakarta yang dinyanyikan Kelompok Kampungan dalam albumnya berjudul, Mencari Tuhan. Ceritanya begini: dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, anak muda Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Sumba, Flores, Timor, Irian Jaya, Ternate, Maluku, dan sebagainya memasuki kota Yogyakarta. Kini bukan lagi gengsi suku yang mereka bicarakan, tetapi gengsi generasi muda Indonesia sebagai penerus perjalanan bangsa.
Di Yogyakarta itu terselenggara simposium kebudayaan terbuka bertajuk, Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan dengan sub-judul Muda, Beda, dan Berbudaya, tepatnya (kemarin-lalu) di Joglo Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gajah Mada (UGM) – 28 Januari 2025. Saya membayangkan di sana, mereka satu sama lain saling bertanya, siapakah aku? Wajah kemarinkah yang meninggalkan bekas kemerut di dahiku? Ataukah wajah masa depan untuk negaraku? Dan seterusnya. Setiap pertanyaan-pertanyaan mereka itu muncul tak henti-hentinya, menantang dan membelenggu daya hidupnya masing-masing. Dan agaknya memang begitulah situasi keadaan dari simposiumnya. Berat, ya memang berat! Tetapi daya hidup menolak penyerahan serta keputusasaan. Mereka duduk bersama-sama, namun perasaan dan pikirannya berjalan jauh melintasi batas ruang-waktu masa silamnya—meneroka jalan-panjang masa depan bangsanya: masa depan negara tercinta kita, Indonesia.
Entah mengapa, lagu yang dinyanyikan Kelompok Kampungan sekitar tahun 1980-an itu (bagi saya) cukup relevan dengan situasi-peristiwa hari ini, khususnya tentang memandang simposium kebudayaan di Yogyakarta yang kini akan saya refleksikan. Walaupun saya tak mengetahui apakah semua wilayah yang disebutkan dalam lirik lagu di atas itu—hadir di Yogyakarta semua—atau setengah, atau malahan seperduanya: entahlah. Tapi bolehlah dalam catatan ini, anggap saja simposiumnya itu menampung semua pulau-wilayah-suku yang tadi disebutkan dalam lirik lagu Kelompok Kampungan. Karena sejujurnya saya tak mengetahui detail orang-orang yang hadir di sana berdomisili-berasal dari-mana saja, dan belum mencari pula apa sebenarnya makna dari terciptanya lagu (Berkata Indonesia dari Yogyakarta) oleh Kelompok Kampungan (sekitar tahun 80-an) itu, baik motif pengkaryaannya maupun tujuan dari lirik lagunya. Maka, anggap saja lirik lagu Kelompok Kampungan di sini, pada tahun 1980-an itu, mampu mewahanai citra-suasana dari simposium kebudayaan yang terselenggara di Yogyakarta: sebagai suatu refleksi kebudayaan pada tahun 2025 ini.
Keretakan dan Ketegangan Kebudayaan
Terlepas dari itu semua, setelah saya ikut menyimak-mendengar simposium kebudayaan itu (melalui tayangan streaming di channel youtube-nya Film Seni Rupa), dan sebagai “bagian kecil” dari apa yang (semoga saya juga bisa ikutan) menjadi generasi muda Indonesia, saya merasakan bahkan diselimuti kecurigaan (yang 99% mungkinkah memang kebenaran?) tentang adanya keretakan dan ketegangan pihak pemerintah bagian kebudayaan secara khusus, umumnya seluruh elemen pemerintahan pusat Indonesia dengan pihak masyarakat kebudayaan: baik para pegiat, pemangku, pelestari, peneliti, dan sebagainya. Maksud saya adalah, adanya ketidakharmonisan bahkan ketidaksinambungan atas visi maupun misi mengenai apa dan bagaimana memandang kebudayaan Indonesia itu sendiri: baik memandang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Atau jika kita kerucutkan, kiranya polemik itu bisa kita lihat dari Kementerian Kebudayaan yang bernama Kemenbud (versi pemerintah) versus Kemenyan (versi masyarakat: Yogya saja atau seluruh Indonesia?).
Sangat jelas akan terlihat oleh kita tentunya begitu banyak aspek-persoalan yang dihadapi kebudayaan Indonesia, jika kita menonton simposium itu dan atau mengikuti kedua nama di atas—juga ketika kita mengikuti isunya secara luas yang terjadi kini di Indonesia. Secara sempit, bisa kita katakan bahwa polemik itu kiranya tak lepas dari persoalan kehadiran kementerian baru yang secara khusus akan mengurus hal-hal yang bersifat kebudayaan(?)—yang kini melepas diri dari dimensi pendidikan, riset dan teknologi. Hal itu mengarah pada kelayakan atau tidaknya Kementerian Kebudayaan yang baru menetas itu digawangi oleh seorang Fadli Zon dan Giring Ganesha, dan seterusnya mengarah kekhawatiran masyarakat pihak kebudayaan atas visi-misi kebudayaan dari penjaga-gawang kedua menteri budaya itu dalam capaian wadah kementeriannya. Tapi bolehlah saya bergurau sedikit dan mereaksi itu di sini, bahwa memang kenyataan pahit bangsa Indonesia kini kiranya dapat tergambarkan dalam wujud Wakil Presiden dan Presiden kita hari ini. Apakah kenyataan pahit itu akan bertambah parah dengan kehadiran mereka Wakil Menteri Kebudayaan dan Menteri Kebudayaannya itu sendiri dalam kebijakan dan capaian kebudayaannya? Entahlah.
Namun secara luas, simposium di Yogyakarta itu merupakan modal refleksi kita bersama, khususnya semua kota, suku-etnis, bahkan pulau-pulau yang terhimpun oleh Indonesia untuk kembali mempertimbangkan tradisinya, mengolah-mempertanyakan jalan kebudayaannya, baik dalam bentuk simposium atau riungan bersama, untuk mencapai puncak polemik bersama, juga capaian keterhubungan narasi kebudayaannya secara bersama-sama sebagai Indonesia. Sebab, apa yang dibicarakan di Yogya pada simposium itu, yang dihadiri oleh para budayawan, seniman, sastrawan, akademisi, pegiat kreatif, dan lain sebagainya, bahasannya sangat terbuka dan amat sangat memicu dialektika kita bersama. Mereka membahas pelbagai persoalan bagaimana kebudayaan kita di seberang kegalauan komunitas kebudayaan, kebudayaan tradisional versus modern, ambang-batas sejarah dan kesejarahan, solusi sains, teknologi, juga kegalauan kesenian kita dewasa ini. Lalu bagaimana nasib gastronomi tiap suku-wilayah, ekologi dan ekosistem atas rusaknya alam-lingkungan, konflik hutan adat serta masyarakat adatnya versus kapitalisme dan pemerintah, pemanasan serta kehancuran iklim-global-warming yang tak tertolong keberadaannya, dan seterusnya—sampai menembus refleksi kesadaran arkipelagis sebagaimana tema dan tinjauannya: untuk tak sampai pada pelestarian-penggarapan kebudayaan yang berat-sebelah tiap suku-etnis-pulau saja, dan agar menyeluruh ke tiap pulau serta kebudayaan di seluruh Indonesia—menjadi satu-kesatuan yang utuh tanpa sekat anggapan batas-batas tiap pulau, batas-batas kebudayaan itu sendiri, pun tentu saja untuk bisa mencapai lumbung kebudayaan dunia, sebagaimana cita-cita leluhur bangsa Indonesia.
Karena kebudayaan adalah kerjaan banyak orang, sebagaimana ungkapan Umar Kayam yang dikutip sebagai model simposiumnya, melalui catatan kecil ini saya sebagai salah-satu dari “orang” yang semoga bisa ikut bekerja sekaligus belajar merefleksikan kebudayaan—walaupun melalui dan hanya menjadi pendengar “jarak-jauh” dari simposium kebudayaan arkipelagis di Yogyakarta itu sendiri. Maka, puncak refleksi saya dalam catatan ini hendak meminjam-menyitir kembali lirik lagu Kelompok Kampungan (kali ini dalam lagu Mereka Mencari Tuhan), untuk meluapkan reaksi-refleksi apa yang saya lihat-dengar-maknai dari simposium itu, saya ingin berkata seperti ini: alam (semesta) lepaskan aku dari kotak-kotak kebudayaan yang menjadi beban kehidupan ini.
Refleksi itu saya temui jawabannya ketika mendengar penjelasan tentang apa dan bagaimana maksud arkipelagis yang menjadi cita-cita Hilmar Farid dkk. dalam simposium itu. Yang secara bebas saya maknai begini: untuk mendobrak kotak-kotak kebudayaan sekaligus memajukan kebudayaan Indonesia, kesadaran arkipelagis sebagai suatu kerangka kesadaran bahwa Indonesia bukan dipisahkan oleh pulau, melainkan disatukan oleh laut, dibersamai laut, dibimbing oleh laut yang di bawah dasar kedalaman-kesadarannya berkait-kelindanlah pulau-pulau hunian kita itu sendiri sebagai suatu kebudayaan utuh-beragam bernama: kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kiranya keluasan, kedalaman, dan keterhubungan yang berada di dalam pemaknaan laut itulah mungkin puncak-capaian yang hendak dipropagandakan dalam simposium tersebut—sebagai refleksi kebudayaan Indonesia yang cenderung selalu mengamini dimensi daratan atau tersekat antar pulau-pulau. Melalui arkipelagis kiranya kita bisa memulai mengkaji dan lalu membuat narasi bagaimana keterhubungan kebudayaan Sunda dan Jawa dengan Dayak dan Bugis misalnya, begitu seterusnya berlaku untuk suku-etnis-budaya yang dinaungi kebudayaan Indonesia, agar citranya menyatu dengan lautan dan bukan terpisahkan oleh dimensi daratan. Atau dalam hal ini, biarlah maksud uraian tersebut adalah kedangkalan pemahaman memaknai saya pribadi.
Setelah menemui makna-refleksi itu, dari semua pembicara simposium arkipelagis, saya kira Afrizal Malna yang cukup nyentrik dan satir dalam mengemukakan persoalan kebudayaan Indonesia, yang mana ia mampu merefleksikan pemaknaan jauh merasuki diri saya, menimbun diri saya sendiri. Ia membuka pandangannya begini: Jadinya, ini tema yang serem buat saya. Saya belum tahu mau ngomong apa sebenarnya. Kita sudah ngomong kebudayaan dari sudut hantu, makanan, kesadaran arkipelagis, dari arus-balik, dari pengenalan batas-batas (pulau di Indonesia?). Mungkin yang belum adalah dari sudut memek dan kontol. Kalau tidak ada memek dan kontol kebudayaan juga tidak ada.
Mendengar ia berbicara seperti itu, tentu akan membuat kita mungkin kaget, mungkin tertawa, mungkin sinis, dan sebagainya. Tapi agaknya begitulah Malna, wujud dari gelagat laku puisi itu sendiri, juga bagian dari laku kebudayaan itu sendiri. Walaupun setelah itu ia mengemukakan hal lain dan tinjauan lainnya, ia sendiri sudah mengatakan bahwa sebenarnya pandangannya cukup sampai di situ. Lalu apa yang menarik untuk bisa kita elaborasi dari ungkapan Malna di atas sebagai suatu refleksi kebudayaan?
Bagi saya, ungkapan Malna itu adalah suatu refleksi yang cukup jauh jangkauannya, mampu membombardir waktu dan ruang, untuk kita kembali pada mulanya hidup manusia beserta cara perkembangbiakannya. Ia bahkan dan mungkin saja hendak melampaui persoalan Polemik Kebudayaan, Praha Kebudayaan, Kekerasan Kebudayaan, Kebudayaan Tradisional dan Modern, bahkan mungkin ingin melampaui pengotak-ngotakan kesejarahan-kebudayaan masa Kerajaan sampai keindonesiaan, dan seterusnya – dan sebagainya yang sudah terjadi di tubuh Indonesia dari waktu ke masa. Bahkan ia hendak dan mungkin saja ingin melampaui pandangan kebudayaan di seluruh dunia ini untuk sampai pada mulanya bagaimana manusia lahir melalui memek yang oleh kontol ditanami benih kehidupannya: terciptalah wujud yang kini tumbuh bernama kebudayaan. Maksudnya, sangat memungkinkan ia hendak memberikan kita refleksi bagaimana mulanya manusia diciptakan sebelum sampai pada apa yang kita sebut kini sebagai kesadaran dan keberlangsungan dari istilah kebudayaan itu sendiri. Dan untuk studi-kasus kebudayaan Indonesia, kiranya kesadaran bahwa semuanya terhubung melalui memek dan kontol yang oleh Afrizal Malna kemukakan adalah jalan lain dari kesadaran arkipelagis itu sendiri: entah ditinjau dari homo-sapiens atau jenis manusia lainnya yang hidup-menetap di Nusantara.
Sekali lagi, dan untuk dialektika bersama: kesadaran arkipelagis sangat menarik untuk kita tinjau bersama sebagai model kerangka mewahanai kebudayaan Indonesia!
Bogor-Bekasi, 28-31 Januari 2025