: catatan kecil perjalanan penziarahan
Sebuah kesempatan yang cukup langka bisa berkunjung ke rumah Friedrich Silaban (16 Desember 1912 – 14 Mei 1984), di Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor—15/02/25, sekaligus menengok pelbagai arsip-dokumentasi di ruang kerjanya dahulu. Kesempatan itu datang ketika saya diajak oleh Pak Rahmat Iskandar yang memang sudah akrab dengan keluarga sekaligus sanak-saudara dari Pak Silaban itu sendiri. Tanpa ajakannya, mungkin akan sulit untuk kita (dalam hal ini saya) tiba-tiba berkunjung ke sana, apalagi masuk ke dalam rumahnya, ke ruang kerjanya secara leluasa menengok arsitektur dari seisi rumahnya yang sangat menarik-memukau.

Karena saya tak belajar dunia arsitektur, maka saya tak akan mengulas tentang bagaimana arsitektur rumah Pak Silaban itu, apalagi gaya arsitektur apa dan bagaimana nilai-nilai dari estetika Pak Silaban. Tapi, menurut Pak Rahmat, sebagaimana beliau bergiat di dunia arsitektur, ciri khas Pak Silaban dapat kita lihat dari komposisi penggunaan batu alam pada dinding dan kolom bangunannya, atau bahasa tukang bangunannya disebut: lempeng batu pansir. Gaya bangunan atau langgam bangunan karya Pak Silaban adalah Tropis Modern. Pak Silaban juga terpengaruh oleh arsitek Jerman, Mies van der Rohe: yang minimalis dan konsep ruang terbuka ciri dari arsitek Mies.
Membahas sedikit soal Pak Silaban, pembaca tak perlu untuk berharap saya akan terus mengulas jalan panjang biografinya di sini, sebab hal tersebut sudah banyak sekali orang menulis, baik dalam bentuk artikel, jurnal, pun dalam buku. Jadi tak perlu saya mengulang itu di sini. Pembaca sekalian kiranya dapat membaca sendiri buku berjudul: Friedrich Silaban olahan Setiadi Sopandi misalnya, atau buku lainnya yang amat begitu utuh-mendalam, dibanding berharap pada tulisan ini.
Sebab, di dalam tulisan ini saya hanya akan bercerita sekaligus bersenda-gurau. Ketika di rumah Pak Silaban itu, saya tiba-tiba dan malahan terpikirkan suatu judul tulisan ini: Arsitektur Puisi. Entah mengapa. Mungkin saya tergerak karena Ia merupakan salah seorang maestro arsitek yang terkenal di kancah nasional/internasional, dan pekerjaannya yang sering membikin-merumuskan sekaligus melakoni kerja-kerja arsitektur. Sedangkan saya senang kepada dan berangkat dari dunia puisi. Atau, barangkali juga hal ini karena keisengan saya berpikir atas segala sesuatu tentang yang mungkin dan yang tak mungkin dari dimensi puisi itu sendiri.
Namun yang menjadi soal, akan bagaimana tulisan atas judul ini berjalan. Sebab, padat cerita, yang terpikir dalam rumusan kepala saya tentang bagaimana arsitektur dan puisi seperti kakak-beradik, maksudnya sama-sama lahir dalam rahim Ibu struktur, gaya, rancangan, pondasi, suasana, estetika, proses pengendapan, pemaknaan, jalan panjang capaian, dan seterusnya, walaupun mediumnya berbeda: arsitektur kepada visual-rupa dan puisi kepada kata dan bahasa. Lalu, bagaimana saya merumuskan serta memperluas bahasan arsitektur puisi ini?
Arsitektur yang Berpuisi & Puisi yang Berarsitektur
Sebelum memasuki bagaimana arsitektur dan puisi dalam pikiran yang menyelimuti saya, sebagaimana kita tahu tak ada yang baru (dan mungkin memang tak ada yang benar-benar baru) di bawah matahari sekaligus di dalam bumi, maka saya menelusuri kembali karya-karya: baik berupa buku-buku, tulisan-esai-jurnal, cetak maupun digital, adakah yang pernah membahas sekaligus mengait-hubungkan dimensi arsitektur dan puisi. Dari hasil pencarian saya yang pendek, dari berbagai opsi yang sudah ditelusuri, saya memilih nama Afrizal Malna yang membikin buku Arsitektur Hujan sebagai kumpulan puisi, dan lalu saya memilih nama Y.B Mangunwijaya atau Romo Mangun dalam buku Wastu-Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafat Beserta Contoh-contoh Praktis yang memuat dimensi filsafat sekaligus sastra di dalamnya.
Dari kedua buku itu, saya rasa akan cukup sebagai pijakan untuk menguraikan pikiran yang bersarang di kepala saya ini, atau dalam hal lain bisa dibilang sebagai pijakan-jembatan pikiran terdahulu untuk saya berjalan ke depan. Walaupun kadang saya (dan mungkin kita?) kesal sendiri jika mengamini tak ada yang baru di bawah matahari sekaligus di dalam bumi ini, khususnya mengapa pikiran yang kita anggap katakanlah autentik misalnya—kadang akhirnya sama dengan pikiran orang lain—atau bahkan nahasnya telah lebih-dahulu dituliskan orang lain dan juga dikerjakan orang lain. Tapi, di dalam kesamaan, apapun bentuk-kerjanya, tentu masih ada celah perbedaan. Itulah mengapa kerja-kerja akademisi-intelektual dari waktu ke masa berpijak kepada penelitian-kajian terdahulu, sebagai usaha (atas kemungkinan) melengkapi kekurangan penelitiannya, bahasannya, bahkan mengkritiknya.
Di dalam buku Arsitektur Hujan olahan Malna, secara padat dapat kita lihat bagaimana ia membahas (baca: membuat) puisi dengan semangat arsitektur atas olahan visual-kebendaan-rupa. Di situ Malna memakai idiom, kata-frasa, peristiwa-kejadian, sekaligus gambaran citra-suasana puisi dalam dimensi arsitektur, yang mengarah-meluas bagaimana puisi juga dapat dibangun dari serangkaian di luar ke-aku-an perasaan-pikiran serta ke-diri-an kita manusia. Puisi dapat dan sangat mungkin hadir melalui perasaan-pikiran atas citra kebendaan (bangunan-hunian dkk.) yang di dalamnya termuat perasaan-pikiran manusia si pembuatnya itu sendiri. Sedangkan di dalam buku Wastu-Citra olahan Romo Mangun, secara singkat dapat kita lihat bagaimana ia membahas arsitektur dengan dimensi filsafat sekaligus sastra (khususnya puisi). Di situ juga Romo Mangun menawarkan dialektika bagaimana kerja arsitektur berkait-kelindan dengan dimensi sastra sekaligus refleksi filsafat dalam memperoleh pendalaman makna dan guna, suasana-citra, bahkan gaya atas capaian si arsitek dalam membuat sebuah struktur atas gambaran bangunannya.
Jika menyatukan kerja Malna dan Romo Mangun di atas, kiranya dapat kita telusuri titik pertemuannya, ketika Romo Mangun menyitir kata-kata filsuf Prancis bernama A. Merleau-Ponty, tentang: tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengannya tanpa henti. Tubuh dalam arti mulia adalah ruang (rumah, bangunan-hunian dkk.) yang mengungkapkan diri (yang di dalamnya terhimpun cerita panjang kehidupan).
Hal tersebut akan membawa kita pada perluasan pandangan, atau penawaran pandangan saya tentang bagaimana arsitektur dan puisi sama-sama bertubuh di dalam manusia, berbahasa dengan ruang dan gatra, citra dan guna, garis dan bidang, dan dengan bahan material serta gaya-suasananya. Maka, sudah sewajarnyalah Romo Mangun menganggap berarsitektur mesti secara budayawan (sastrawan juga tentunya): dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik. Bahkan kalau mungkin, walaupun tentu saja tidak setiap orang (dalam hal ini arsitek) mampu, seorang arsitek mesti mendalami dan menggandeng dimensi puisi dalam kerjanya, pun sebaliknya untuk penyair mesti menggandeng dimensi arsitektural. Sebab menurut Romo Mangun, berarsitektur adalah berbahasa manusiawi dalam arti kata-kata Merleau-Ponty: mesti dengan citra-guna berikut unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya.
Misalnya kita simak puisi Malna (di buku Arsitektur Hujan) berjudul, Warisan Kita: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku… pisau
Ketika membaca puisi itu berapa banyak kata kebendaan yang dipakai Malna sekaligus menjadi konsep atas struktur bangunan puisinya? Apa kegunaan serta fenomena makna puisi Malna yang mem-bicara-kan lagi ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, dan seterusnya itu?
Jika kembali meminjam uraian Romo Mangun, bangunan berikut kebendaan, biar pun kita anggap mati namun tidak berarti tidak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun ialah rumah manusia, atas ide dan hasrat yang dibangun dengan rasa senang dan letih manusia. Oleh sebab itu, rumah berikut kebendaan di dalamnya yang dibangun-dibuat oleh manusia sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupannya, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungannya, oleh napsu berikut cita-citanya, bahkan oleh semangat puitik jauh di dalam dirinya. Maka, saya ingin mengatakan di sini bahwa, bangunan puisi yang diarsitekturkan oleh Malna sarat dengan citra-suasana Malna sebagai si arsitek pembangunnya. Kegunaan kebendaan itu mampu membahasakan bahwa di dalam sebuah rumah, termasuk kebendaan yang berada di dalamnya merupakan suatu cerita yang utuh sebagai sebuah ekosistem hidup, memiliki kenangan dan juga impian.
Atau jika puisi Malna itu di-sketsa-wujud-kan dalam bentuk visualnya kata-kata, kiranya bisa kita gambarkan bahwa sebuah rumah, kecil atau besar, memiliki halaman atau tidak, berisi benda dan barang mewah atau tidak, dan berisikan banyak manusia atau tidak, kenyataannya akan tetap saja: memiliki jiwa, suasana, kenangan, impian, dan sebagainya, yang oleh puisi Malna dibahas bagaimana rumah berikut manusianya akan berbicara tentang kenangan dan harapan atas kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, dan seterusnya, sebagai bagian cerita kehidupan.
Setelah berpijak dari pandangan terdahulu sekaligus merefleksikannya, saya akan mencoba menuangkan serta mengelaborasi atas pikiran yang menyelimuti kepala saya ini. Dimulai dengan sebuah hunian, bangunan, atau katakanlah lingkungan hidup kita, bukankah dari waktu ke masa mengalami pelbagai dialektika ke arah pemaknaan yang amat beragam, yang kini terbagi menjadi dualisme antara rumah versi arsitektur tradisional versus rumah versi arsitektur modern (di sisi lain kehidupan puisi juga mengalami dualisme antara yang tradisional dan yang modern). Keberagaman atas pemaknaan hunian tradisional-modern itu menjadi suatu jalan panjang untuk kita menempuh ambang batas di mana dan sampai mana penelusuran sejarah-budaya yang memuat nilai-nilai kolektif leluhur kita sebagai manusia.
Pada titik itu, puisi (kerja sastra umumnya) memiliki peran penting atas estetika bagaimana nilai arsitektur di dapur arsitek itu sendiri. Sebab geliat arsitektur, sependek pembacaan saya, akan membawa kita pada suatu unsur kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang—bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu suku atau bangsa itu sendiri. Arsitektur juga sering termaknai sebagai salah satu identitas dari suatu pendukung jalan kebudayaan. Dalam arsitektur itulah pikiran saya mengarah pada terkandungnya secara terpadu wujud ideal puisi, wujud sosial puisi, wujud pemaknaan puisi, dan bahkan wujud material suatu kebudayaan yang bersifat puisi.
Maksudnya, bukankah arsitektur tak hanya menyoal statika bangunan agar kokoh dan tidak roboh bila ada gempa, banjir, longsor, dan seterusnya, bukan juga harus nikmat atas ventilasinya dan elok efek psikologis interpenetrasi ruang-ruangnya, bahkan bukan pula hanya menyangkut zona industrial, zone bisnis, zona desa, zona kota, dan sebagainya. Sebagaimana uraian Romo Mangun, arsitektur mesti menyentuh dimensi yang telah disentuh pula oleh alam-lingkungannya dalam keindahan tiap daerah-wilayahnya: dan hemat saya puisi ada di-pendalaman cara kerja dimensi tersebut, sebagai usaha melengkapi-menyokong kerja arsitektural.
Serangkaian puisi di dalam geliat arsitektur tersebut maksud saya adalah, proses panjang dari membangun suatu karya yang terintegrasi, misalnya. Seorang penyair dengan segala ketelatenan di atas gejolak hidupnya, seorang arsitek juga dengan segala ketelatenan di dalam perancangan hidupnya, sama-sama berhadapan dengan bahasa dan rupa: di dalamnya termasuk citra dan guna: arsitektur kepada bangunan badaniah yang dapat manusia wujudkan sebagai hunian ragawi, sedangkan puisi kepada bangunan rohaniah yang dapat manusia wujudkan sebagai hunian maknawi. Keduanya itu sama-sama sebagai bekal perkemahan mengembarai hidup di atas jalan panjang hunian kita, kampung kita, kota kita, bahkan negara kita.
Begitulah gurauan saya sepulang dari rumah Pak Silaban. Dan kini malahan membuahkan kembali pemikiran, mengapa saya tak menulis puisi yang berangkat dari jalan panjang: gaya, struktur, rancangan sebuah hunian kebudayaan Sunda dari zaman ke zaman berikut nilai dan makna kebendaan yang ada di dalamnya?
Saya rasa tulisan ini mesti berseri sekaligus bersambung. Semoga Sang Maha Arsitektur Puisi memberkati keinginan saya.***
Pamijahan-Bogor, 15-22 Februari 2025