Allah menganugerahimu berbagai macam hak, di antaranya ada hak untuk hidup, maka janganlah kamu membunuh makhluk lainnya. Ada hak atas rezeki, maka janganlah kamu mencuri rezeki makhluk lainnya. Ada hak untuk kedaulatan, maka janganlah kamu menguasai (atau merasa berkuasa atas) makhluk lainnya. Ada hak untuk menyatakan pendapat, maka janganlah kamu membungkam makhluk lainnya. Ada hak sebagai warga negara, maka semestinya rakyat berhak memerintah pemerintahan, dan bukan sebaliknya, pemerintahan yang memerintah rakyat.
Allah telah menyatakan bahwa wa rabathna ala qulubihim, artinya kedaulatanmu adalah bagian atau tajali dari kedaulatan Allah itu sendiri. Dan kalau Allah menciptakanmu karena cinta, maka janganlah kamu melihat ciptaannya tanpa cinta. Allah melimpahkan kekayaan alam supaya berdaya guna kebaikan dan untuk kebermanfaatan seluas-luasnya, maka janganlah kamu merusak dan merampok alam demi kepentingan bagian-bagian, golongan-golongan, dan kelompok-kelompoknya sendiri. Allah menghamparkan bumi Indonesia persis serpihan surga, maka janganlah kamu sekonyong-konyong berlaku tidak adil dengan membikin neraka untuk seluruh rakyat.
Sedangkan kalau dalam hak untuk berdemokrasi, maka janganlah kamu bertindak atau berperilaku seperti yang dikatakan oleh Cak Nun, yaitu tidak mempertimbangkan keberlanjutan makhluk lain di bumi—tumbuhan, hewan, bahkan ekosistem yang juga memiliki hak atas kehidupan. Ini baru satu hal dari sekian banyak hal kecacatan demokrasi, dan setiap warga negara yang berkedaulatan boleh melanjutkan daftarnya sendiri-sendiri. Sebagai contoh lain, misalnya, demokrasi kini telah diperalat oleh politik transaksional. Politik yang bukan berdasar kepentingan rakyat, melainkan berdasarkan untung-rugi laiknya pedagang.
Namun, seandainya kamu tidak ikut berpartisipasi dalam melanjutkan serangkaian “cacat demokrasi” itu pun tak mengapalah. Karena memang itu bukan suatu kewajiban, melainkan lebih kepada sedekah untuk kelangsungan hidup yang lebih manusiawi, politik hati nurani, dan demokrasi kewajaran. Bukan untuk Negara, bukan demi Indonesia, tetapi untuk dan demi mengisi kekosongan republik ini dengan konsep, ide, dan gagasan. Terus mencoba dengan pergumulan. Dengan mengupayakan pergulatan. Dengan tanding dialektika dalam setiap penawaran dan pertukaran tentang banyak hal.
Akan tetapi, sekali lagi, itu bukan kewajiban, yang mesti atau yang harus dilakukan tiap warga negara. Pasalnya, mohon maaf kalau saya katakan, bahwa hidup itu nggak ngapa-ngapain juga tidak masalah. Perkara kewajiban kembali terserah padamu, andaikan kamu memilih tidak berkewajiban atas dan dalam hal apapun itu bukanlah masalah. Tapi jangan buru-buru kamu salah-pahami dengan kewajiban seorang muslim, itu hal lain yang tidak sedang kita bicarakan. Karena memang bukan kewajiban demi memperoleh pahala, melainkan kewajiban bahwa dalam hidup itu memang ada konsekuensinya.
Kalau kamu diberi hak untuk hidup, tapi kamu merasa tidak memiliki kewajiban apapun (meskipun tetap ada yang memang wajib), maka kamu sekedar hidup dan bukan lebih hidup. Sedangkan kalau kamu dengan kesediaan waktu dan kerelaan hati untuk melaksanakan apa-apa yang diluar kewajiban itu, katakanlah segala sesuatu yang sunnah atau mahdhah atau dalam rangka beriyadhoh atau berbagi apapun saja yang layak yang perlu untuk kemaslahatan hidup bersama, maka sebagai pembelajar kuriositas kehidupan itu senantiasa kamu berproses terus-menerus yang juga sebagai manusia biasa-biasa saja. Sama halnya kalau kamu masih merasakan sakit itu tanda bahwa kamu hidup, tapi kalau kamu sanggup dan mampu merasakan sakit orang lain itu berarti kamu manusia.
Betapapun itu selain pertanyaan man robbuka: Siapa Tuhanmu? Allah. Siapa Nabimu? Kanjeng Nabi Muhammad, dan kalau ditambah sederet pertanyaan lain pun jawabannya hanya bersifat sementara, tidak kekal, berubah-ubah, dan tidak mutlak. Yang harus dijawab dengan benar adalah dua pertanyaan di awal, selebihnya tak pasti, tak perlu-perlu amat, tak dijawab pun tak apa. Tapi juga jangan lupakan dialektika hubungan antara hak dan tanggung jawabnya.
Beberapa hari lalu, ada musyawarah tentang “Surat Sobek” (suatu kegiatan yang mula-mula rekreatif dengan workshop kertasnya itu beralih menjadi sociopreneurhip), tadinya dijalankan secara urakan sekarang menjadi secara profesionalitas, tadinya secara kekeluargaan sekarang sudah ada skema manajerialnya, tadinya keseringan bersifat sosial sekarang kudu belajar laku entrepreneur—yang mudah-mudahan Allah setuju dan, lalu kebutuhan keseharian hidup dapat tercukupi. Yang dimohonkan kepada Allah cuma satu yaitu “tidak muluk-muluk, Ya Allah, yang kayak biasanya saja, ya. Please.”
Hak untuk keberlangsungan “surat sobek” dilanjutkan dengan berani mengambil tanggung jawab masing-masing. Karena memang tanggung jawab tidak bisa dieksternalisasikan. Tanggung jawab itu terberi, dimaknai-dihayati karena mengalami dan menyadari hak yang berlaku. Tanpa tanggung jawab, hidup hanyalah sekedar menunaikan kewajiban, yang justru malah mengesampingkan hak sama sekali. Hak tak mungkin bisa dimengerti, apalagi dipahami sebagai sesuatu yang bukan berasal dari tanggung jawab kita, sendiri atau bersama-sama. Artinya, kalau kamu menjalani hak untuk atau atas sesuatu, yang terpenting ialah tanggun jawab untuk dan atau atas segala sesuatu itu.
Hak adalah pelaksanaan dari setiap orang yang, mau dan bersedia, tanggung jawab. Kalau sekedar mengenali hak saja, maka tak heran bila terhadap kata kita tidak waspada, terhadap istilah kita tidak verifikasi, dan bahkan terhadap apapun kita iseng-iseng belaka. Hak inilah yang kemudian akan mengantarkanmu kepada pembelajaran hidup yang arif. Karena kearifan, barulah kamu mendapatkan kebijaksanaan. Meskipun kalau dalam bahasa Indonesia kita tampaknya kearifan sama dengan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan sebagai kearifan. Kearifan dan kebijaksanaan hampir tak ada bedanya. Bukankah semestinya kearifan dahulu, kebijaksanaan kemudian. Kalaupun ada bedanya itupun biasa disebut sebagai kearifan lokal, tapi tidak pernah ada yang menyebutkan kebijaksanaan lokal. Terhadap kata kearifan lokal saja, kita tidak pernah curiga, masak itu kearifan, masak itu lokal padahal sangat mungkin menasional atau membangsa. Lagipula, kearifan yang berdasarkan kalau sekedar kebenaran, sekedar kebaikan, dan sekedar keindahan itu belum tentu kebijaksanaan.
Itulah mengapa di sini, kearifan baru dapat dipahami kalau kamu mengerti yang hak, sesudah itu akan menemui kebijaksanaan adalah kata adalah perbuatan yang bertanggung jawab. Bukan karena kewajiban, tapi demi kehormatan manusia. Bukan untuk Indonesia, tapi demi merawat kesadaran dan menjernihkan jiwa di tengah kompleksitas penyakit bangsa ini. Menjaga kejernihan jiwa itu mungkin, sesederhana merawat apa yang suci, bahwa suci itu tidak adalah tidak, bukan tidak mungkin saja iya. Dan iya adalah iya, bukan iya mungkin saja tidak. Sehingga kalau kejernihan jiwamu terjaga dan terawat, apa yang kamu pahami sebagai hak ialah apa yang kamu lakukan-jalani sebagai tanggung jawab. Tak peduli seberapa besar atau kecil peranmu, setidak-tidaknya terhadap apa yang hak senantiasa dapat membukakan diri untuk bertanggung jawab.
Hak dan tanggung-jawab ini kalau diterjemahkan ke dalam teori Nabi Sulaiman, ialah bahwa sepertiga pendapatanmu itu ada yang untuk muterin dagangan, untuk keluarga, dan untuk Allah. Yang untuk Allah ini demi kebaikan sosial dan kemaslahatan sosial. Jadi, hak untuk yang menjadi penghasilanmu adalah ketika kamu berani bertanggung jawab pula untuk mempraktekkan hal tersebut agar berimplikasi dalam laku keseharian. Saat itulah kearifan akan menemukan diri sejatinya yaitu kebijaksanaan. Kebijaksanaan bahwa hidup dengan segala haknya mesti diambil dan diberi dengan tanggung jawab sebesar-besarnya, semampu-mampunya, secukup-cukupnya, seminimal-minimalnya, dan setidak-tidaknya.
Duhulu, Nabi Sulaiman diminta memilih di antara harta, kekuasaan, dan ilmu, lalu dia memilih ilmu, kemudian Allah berilah ia kekuasaan dan harta supaya dapat dipergunakan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab atas ilmunya.
13 Januari 2025