MEMBACA PERANG LEUWILIANG #2: Kebahagiaan Semu Masyarakat Hindia Belanda

MEMBACA PERANG LEUWILIANG #2: Kebahagiaan Semu Masyarakat Hindia Belanda

(Peta: Remmelink Willem)


Setelah membaca bagian #1, begitulah Jepang yang pada akhirnya sempat dipercaya sebagai cahaya, pelindung, dan pemimpin Asia. Masyarakat Indonesia sempat memiliki harapan besar dari “saudara tua”-nya. Suatu bangsa yang diharapkan dapat membebaskan bangsa Indonesia dari masa-masa penjajahan. Hal ini menarik, jika kita menonton film Human Condition 1, 2, dan 3 mungkin dapat menjadi gambaran sebagai bekal pembayangan bagaimana nantinya tentara Jepang memperlakukan masyarakat demi memenuhi ambisi yang terbangun dan terbentuk hasil dari perjalanan keterlibatannya di perang dunia. Mungkin, peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Romusha. Suatu bentuk perbudakan, intimidasi, dan ekploitasi yang dilakukan sang “saudara” terhadap “adik”-nya, walaupun memang, itulah yang biasa dilakukan oleh seseorang yang kita sebut “kakak”. Serunya, sebelum kekejaman, kebencian, dan usaha melepaskan diri dari Jepang itu ada di-kemudian hari, pada awal kedatangannya, para tentara Jepang itu sangat mulus sekali melancarkan pergerakkannya. Why?

Kedatangan “Cahaya” di Indonesia

Seperti yang dilaporkan oleh Prof. Zuhdi, bahwa Jepang memang sudah menggalakan propaganda jauh-jauh hari sebelum mereka datang ke Hindia Belanda. Belum lagi memang Jepang sudah melancarkan perundingan-perundingan diplomasi dengan pemerintah Hindia Belanda kala itu, Bonifacius Cornelis de Jonge, yang pernah juga diwakili oleh Dr. van Mook. Hasilnya? Tentu perundingan itu gagal karena setelah itu, invasi Jepang dilakukan.

Ketika itu, bisa dibayangkan kondisi masyarakat Hindia Belanda yang tengah dalam keadaan sengsara. Keadaan tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh Jepang untuk menyebarkan bahwa mereka adalah “saudara tua” dari Asia yang bisa melepaskan diri masyarakat Hindia Belanda – dari belenggu kesengsaraan yang diciptakan pemerintahan Gubernur de Jonge. Barangkali, kedatangan pertama Jepang di daratan Kalimantan yaitu di Tarakan merupakan tindak Jepang yang membingungkan masyarakat. Tarakan yang memang saat itu telah memiliki 700an lebih sumur minyak menjadi incaran strategis bagi Jepang. Apa lagi daerah tersebut disebut-sebut menjadi lading minyak yang menyuplai kebutuhan ke Eropa dan Amerika. Dengan memutus rantai impor dan merebutnya jadi logistik Jepang, mereka menganggap kekuatan musuh akan semakin melemah dan persediaan perangnya akan lebih baik.

Belum lagi, kemudian Jepang mulai menjajakan kakinya di daerah Singkawang, Sanga-sanga (Kalimantan) kemudian Palembang (Sumatera), Aceh Utara (Sumatera), dan akhrinya mengincar blok Cepu (Jawa). Ke semua daerah tersebut memang terkenal sebagai penghasil minyak dan menjadi ladang minyak bagi pemerintah Hindia Belanda. Bayangkan, miliaran ton minyak yang dihasilkan tersebut akhirnya dapat menyokong kebutuhan perang angkatan bersenjata Kekaisaran Jepang dalam proses perang yang terjadi.

Dalam waktu yang cukup singkat, Jepang dapat menguasai pelbagai sumber/tambang minyak yang berada di beberapa tempat. Beberapa sebulan saja, Januari (menurut beberapa catatan dimulai dari 11 Januari 1942) sampai akhir Februari, Jepang bisa melumat habis pertahanan Hindia Belanda di beberapa kilang minyak utama yang menghasilkan berton-ton minyak. Sedangkan, minyak-minyak tersebut memang dibutuhkan oleh Sekutu, yang juga beberapa tentaranya juga berada di wilayah Hindia Belanda, juga bersekutu melalui negara induknya Belanda. Menurut beberapa catatan juga bahwa Belanda yang tadinya Netral akhirnya ikut berperang ketika Nazi Jerman menginvasi negaranya pada awal tahun 1940. Mungkin hal tersebut juga yang membuat Hindia Belanda tidak akan pernah diserahkan dengan baik-baik kepada Jepang yang jelas-jelas termasuk negara gabungan Axis bersama Jerman dan Italia.

Belanda akhirnya memilih menjadi ikut bergabung ke sekutu pun bukan langkah yang asal-asalan. Selain bahwa mereka diserang oleh pihak Axis (Nazi Jerman), mereka pun seperti memiliki ketakutan karena menurut Ong Hok Ham, Belanda tidak memiliki alat dan infrastruktur perang yang memadai untuk melawan sendirian. Justru, dari sanalah awal mulanya lemahnya Hindia Belanda selain hubungan yang buruk antara pemerintahannya dengan rakyat, melalui Gubjen De Jonge.

Perseteruan Jepang dan Hindia Belanda memang akhirnya sudah terpantik dan telah memiliki titik-titik api yang mengakibatkan tidak adanya kesepakatan yang baik ketika perundingan. Berita-berita tentang hal tersebut pun sudah tersebar dan membuat situasi geopolitik semakin memanas. Pasca-serangan Peral Harbour oleh Jepang, benar-benar membuat Amerika pun ikut langsung campur tangan pada Perang Dunia dan berimbas pada persoalan peredaran minyak dunia karena ambargo dan lain-lain. ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Comand) yang akhirnya dibentuk semakin menguatkan kewaspadaan mereka terhadap pergerakan Jepang yang sudah tercium akan memulai invasi untuk memperbaiki persediaan minyaknya, termasuk pergerakkannya ke arah Asia Tenggara yang benar terlaksana awal tahun 1942.

Selama mulainya invasi Jepang ke Hindia-Belanda, tentu tak semulus yang dibayangkan. Pergerakan Jepang tersebut tentunya dihadang oleh ABDACOM tersebut yang dipimpin oleh Karel Doorman. Pertempuran terjadi di selat Makasar ketika Jepang bergerak menuju Samarinda dan Balikpapan. Selain itu, kapal-kapal Amerika dan sekutunya pun mencoba menghadang dan ikut bertempur melawan Jepang di daerah Sumatera dan Jawa bagian Timur saat Jepang berusahan merengsek masuk untuk merebut kilang minyak di Palembang dan ketika Jepang berusaha invasi ke daerah timur Indonesia.

Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang akhirnya datang ke daratan Jawa di beberapa daerah. Tujuan mereka datag ke Jawa tentunya untuk mengepung pemerintahan Hindia Belanda yang juga dibantu oleh ABDACOM untuk invasi dan merebut kekuasaan di Indonesia. Pasukan yang dikirim oleh Jepang ke Pulau Jawa berjumlah sekitar 20 ribuan tentara. Mereka melabuhkan kapal-kapal tempur mereka di beberapa titik seperti Merak-Batavia, Kalidjtai, dan Kragan. Mereka semua berusaha untuk mengepung kekuatan Hindia Belanda dan Sekutu yang memang terpusat di Pulau Jawa terutama di bagian barat (Bandung dan sekitarnya).

Puluhan ribu pasukan memenuhi pelabuhan-pelabuhan tersebut dengan tujuan satu titik yaitu mengarah ke pusat pemerintahan Hindia Belanda dan ABDACOM yang berada di sekitar tengah Pulau Jawa bagian Barat. Menurut beberapa catatan dibuku yang telah dibaca, pasukan tersebut merupakan pasuakn Divisi 2 yang terbagi 3 yaitu Pasukan 16 atau Detasemen Nasu yang mendarat di Merak-Batavia, Detasemen Shoji mendarat di Kalidjati, dan Detasemen Sakaguchi mendarat di Kragan. Jumlah mereka sekitar 25.000 tentara yang siap menggempur pasukan ABDACOM dan pemerintahan Hindia Belanda. Pada persitiwa tersebutlah, yang didalangi oleh Detasemen Nasu yang bergerak dari Merak menuju Rangkasbitung, Jasinga, kemudian ke Leuwiliang, bertemu dengan pasukan Australia bernama Blackforce dan terjadi pertempuran Leuwiliang.

Sikap Masyarakat terhadap Jepang, dan ABDA

Tentu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya sambutan masyarakat Indonesia sendiri dalam perseteruan antara Sekutu (ABDA) dan Jepang?

Dalam catatan Nino Oktorino dikatakan bahwa masyarakat Indonesia bahagia dengan adanya kekuatan besar Asia, yaitu Jepang. Sejak tahun 1930an memang Jepang sudah melakukan politik siasah untuk merebut hati masyarakat intelektual Indonesia. Pada tahun 1933, pada kegiatan konferensi Pan-Asia yang diadakan oleh Kokuryukai (kelompok Naga Hitam) yang dibuka oleh Jenderal Uraki, seorang jenderal anti-Rusia dan barat serta mendukung invasi Jepang di Asia, hadir perwakilan Serikat Dagang Islam yaitu Jusuf Hasan dkk. Selain mereka, ada pula Gatot Mangunpraja dan Parada Harahap yang sedang berada dalam urusan bisnis dagang di Jepang. Mereka semua disambut baik oleh pihak Jepang dan memberi penghormatan, tentu dalam misinya mengambil hati masyarakat Hindia Belanda dan dapat dipercaya sesuai propagandanya.

Jepang juga selalu berusaha untuk mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok Muslim Indonesia. Mereka membuat propaganda persamaan antara agama Shinto dan Islam, misalkan dari hal Khilafah dan Kekaisaran Jepang. Akhirnya pada tahun 1939 Dai Nippon Kaiyokai (Perhimpunan Islam Jepang) mengadakan pecan Islam di Tokyo dan Osaka. Padahal, acara tersebut diadakan oleh Angkatan Darat Jepang dan merupakan taktik jepang agar bisa melakukan ekspansi ke negara berpenduduk muslim.

Kemudian, dalam upayanya menarik dukungan dari masyarakat Hindia Belanda, Jepang terus mengundang tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Moh. Hatta dan dr. Soetomo. Tanggapan mereka berdua terhadap Jepang berbeda. Hatta yang dianggap sebagai “Gandhi dari Jawa” pun merasa khawatir dengan ambisi ekspansionis militer Jepang terhadap Indonesia. Sementara, dr. Soetomo dalam artikelnya membikin pro-kontra dikalangan masyarakat dengan menyebut Jepang berasal dari Indonesia dan dirinya sangat kagum dengan kemajuan Jepang. Namun, ketegangan tersebut boleh diredamkan oleh dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dengan artikelnya yang membahas harus adanya juga kehati-hatian terhadap imperialisme Jepang meskipun benar bahwa Jepang telah meningkatkan martabat masyarakat Asia.

Jauh sebelum invasinya ke Asia Tenggara dan perseteruannya dengan Sekutu, Jepang memang sudah membidik Hindia Belanda sebagai “ladang” yang sejatinya bisa membantu mereka menyediakan logistik perang. Namun, cara yang diambil yaitu dengan mengambil hati masyarakat Hindi Belanda dengan propaganda dan menunjukkan kedigdayaannya dengan segala kemajuan teknologi perang dan kemajuan peradabannya. Sedikit banyak, hal tersebut berdampak pada anggapan masyarakat Indonesia yang teracuni propaganda dan menganggap Jepang sebagai penyelamat mereka dari belenggu Belanda.

Dengan demikian tersebut, masyarakat Hindia Belanda banyak yang bersorak sorai ketika Jepang telah mendaratkan pasukannya di berbagai daerah Indonesia. Apalagi, kedatangan mereka benar-benar dijegal dan diperangi oleh pihak ABDACOM. Dari sana, masyarakat semakin yakin bahwa perlawanan yang dilakukan Jepang terhadap ABDACOM memiliki tujuan mulia yaitu membantu masyarakat yang sengsara selama penjajahan Belanda, terlebih semenjak de Jonge berkuasa sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Saat mendarat di Merak, 1 Maret 1942, pasukan ke 16 Destasemen Nasu langsung dihadang oleh dua pasukan KNIL dan sekejap Jepang memusnahkan pasukan tersebut. Setelah itu, pasukan tersebut langsung bergerak cepat menuju Rangkasbitung dan sampai pada sore tanggal 2 Maret 1942. Mereka terus melakukan perburuan pasukan musuh sampai mereka terbagi dua pasukan. Kolone pertama memiliki rute menuju Buitenzorg melalui Djasing, dan kolone kedua mengarah ke Balaraja Tangerang, dan berniat bertemu dan bergabung kembali di Buitenzorg.

Begitu mudahnya pasukan Jepang melalui perjalanannya dan tak membutuhkan waktu berminggu-minggu dengan perlawanan yang banyak diakibatkan kekuatan ABDACOM sudah semakin menipis. Belum lagi, dukungan masyarakat pribumi yang tampaknya enggan membantu ABDACOM menghadang pasukan Jepang. Hingga akhirnya pada 3 Maret 1942, Jepang melancarkan serangannya terhadap pasukan ABDACOM di Leuwiliang (jembatan Tjianten). Pada pertempuran itu, Jepang menghadapi pasukan Blackforce dari Australia yang beberapa saat sebelum Jepang datang telah menghancurkan jembaran Tjianten agar menghambat pergerakan pasukan Jepang. Belum lagi, saat itu adalah musim hujan yang menyebabkan air sungai cukup tinggi dan sulit untuk diseberangi.

Pada pertempuran itu terlibat Pasukan Detasemen Nasu dan Blackforce Australis dan mengakibatkan gugurnya ratusan orang dari dua belah pihak. Pada beberapa laporan menyebutkan bahwa kurang lebih 500 prajurit Jepang mati dan 150 orang prajurit dibawah komando Blackburn tewas dalam pertempuran hari itu. Namun, pertempuran belum selesai. Bagaimana pun, Jepang harus dapat menyeberang untuk menuju pusat Kota Buitenzorg. Akhirnya, mereka mencari jalan untuk menyeberang dan mengarah ke Gunung Galuga di seberang Leuwiliang.

Pasukan Nasu tersebut akhirnya mencari jalan kearah Puraseda untuk dapat menyeberangi sungai Tjianten. Di daerah tersebut mungkin penjagaan pasukan ABDACOM sangat longgar hingga akhirnya pasukan Jepang tersebut dapat menyeberang dan sampai di daerah Gunung Handeuleum dan daerah Cimayang. Di daerah tersebut pun terjadi peperangan-peperangan kecil yang terjadi di antara kedua belah pihak. Hingga sampai didaerah Kampung Jawa, pasukan Nasu terbagi dua yang menuju Tjakimun Cemplang dan menuju Cimayang tempat para pasukan Sekutu ABDACOM berkumpul.

Semudah itukan Jepang melawab Sekutu? Tentu ternyata, pasukan Jepang tersebut dibantu oleh masyarakat sekitar dalam perlawanannya terhadap pasukan Blackforce tersebut. Ketika penyerangan Jepang di daerah Tjakimun Cemplang, misalkan, Sekutu dapat dipukul mundur hingga ke daerah Bantar Karet dan bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Dalam penyerangan itu banyak penduduk yang tertembak dan membuat penduduk semakin tak suka dengan pasukan sekutu.

Ketidaksukaan tersebut juga tergambar pada penyergapan pasukan Sekutu oleh pasukan Jepang di daerah Cimayang dan Cibeureum. Penduduk desa menunjukkan tempat-tempat persembunyian pasukan Sekutu hingga menyebabkan tak adanya perlawanan yang berarti dari pihak Sekutu. Bahkan, penduduk sekitar, ketika ditanya arah oleh pasukan Sekutu, penduduk desa malah mengarahkan arah menuju perkumpulan pasukan Jepang. Dengan demikian, pasukan sekutu dapat dilibas habis oleh pasukan Jepang dalam waktu singkat.

Turun tangannya penduduk desa dalam membantu pergerakan pasukan Jepang membuktikan bahwa mereka telah benar-benar percaya pada kekuatan besar Asia yang dibawa Jepang dan berharap dapat membebaskan mereka dari belenggu penjajahan Belanda selama ini. Masyarakat bersorak gembira atas kemenangan Jepang, di Leuwiliang, hingga pasukan tersebut dapat bergabung kembali dengan Kolone Tangerang di daerah Rancabungur-Semplak. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Bandung untuk mengepung pusat pemerintahan Hindia Belanda. Sepanjang perjalanan mereka menuju Bandung, pasukan Jepang tersebut disambut gembira oleh masyarakat lokal di Cianjur dan sepanjang jalan Kota Bandung. Hingga akhhirnya tanggal 8 Maret 1942 Jepang secara sah menerima penyerahan kekuasaan Hindia Belanda dari Kerajaan Belanda.

Penyerahan tersebut disambut gembira oleh masyarakat Indonesia. Teriakan-teriakan Jepang Cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia diserukan. Hingga akhirnya, jika menonton kembali tiga seri film Human Condition, kondisi masyarakat China yang diperlakukan seperti binatang oleh Jepang, benar-benar terjadi di Indonesia, eh salah, bekas Hindia Belanda, maksudnya.

Daftar Bacaan dan Referensi

Ardhana, I Ketut, et al. 2011. The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In cooperation wuth the Netherlands Institute for War Documentation. Hal 231-235. Leiden and Boston.

Goldstein, Donald M. and K.V. Dillon. 2004. The Pacific War Papers: Japanese Documents of World War II.  Virginia: Potomac Books, Inc.

Ham, Ong Hok. 2018. Waktu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Japanese Monograph. 1958. The Invasion of The Netherlands East Indies. Headquarters, USAFFE, and Eight U.S. Army.

Oktorino, Nino. 2016. Di Bawah Matahari Terbit. Jakarta: Elex Media Komputindo

Remmelink, Willem, Ed. 2015. The Invasion of the Dutch East Indies. Leiden University Press.

Zuhdi, Susanto. 2017. Bogor Zaman Jepang 1942 -1945. Tangerang Selatan: Komunitas Bambu.

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/11/03/mengenang-pertempuran-leuwiliang-di-situs-purbakala-pasundan
https://www.kompas.id/baca/utama/2018/03/03/mengenang-76-tahun-pertempuran-leuwiliang
https://www.zenius.net/blog/perang-dunia-ii-jepang

Pearl Harbour. 2001. Film by Michael Bay.

Trilogi Human Condition. 1959-1961. Film by Masaki Kobayashi