ilustrasi: @Alanwari
—Pengantar Surat-surat Untuk Bogor #2
Untuk memulai ini semua, coba kita memikirkan terlebih dahulu tentang mengapa banyak kota-kota di Indonesia hari jadi-nya lebih tua ketimbang Indonesia itu sendiri? Katakanlah semisal DKI Jakarta, Medan, Ciamis, Palembang, Surabaya, Jogjakarta, juga Bogor, yang usianya sudah mencapai ratusan tahun bahkan ribuan tahun (Palembang, 1341 tahun), padahal Indonesia sendiri masih berusia mau menginjak delapan puluh tahun. Apakah itu sebuah masalah? Tentu tidak sama sekali! Bahkan bukan suatu persoalan yang akan mengganggu aktivitas dan kegiatan pemerintahan juga masyarakat. Hanya saja, kami rasa, banyak orang yang belum tahu jawabannya, juga memahami mengapa fenomena ini terjadi.
Jika sudah mengetahui jawabannya, apakah itu suatu nilai tambah dan akan membuat kehidupan masyarakat jadi lebih baik? Kami jawab dengan yakin bahwa itu tidak berpengaruh sama sekali! Namun, yang jelas, pengetahuan ini menjadi suatu keharusan untuk dimengerti oleh masyarakat dengan tujuan untuk lebih mengenal “siapa dirinya,” “siapa leluhurnya,” dan “dari mana asalnya” di tengah terjangan identity crisis yang terjadi di masyarakat. Atau, paling tidak, bagi perantau yang bukan berasal dari tanah yang dia tinggali, masyarakat bisa memahami sedikit banyak tentang bagaimana “asal tanah tempat tinggalnya” bermula.
Tujuan-tujuan itu mestinya menjadi niat utama bagi para pendahulu kita yang mengukuhkan “kelahiran” suatu daerah dengan berbagai pertimbangan sejarah, budaya, bahkan politik yang muncul di suatu daerah tertentu. Kami rasa, tak ada alasan lain untuk hal ini. Hal itu, seperti ingin menjelaskan pada kita semua bahwa ada suatu kedigdayaan identitas yang ditawarkan sebagai gambaran, bahkan salah satu pedoman demi mencapai titik tuju kehidupan bermasyarakat. Yang jelas, bagi suatu daerah yang besar bahkan sebelum Indonesia memerdekakan diri, mereka seakan berlomba-lomba berbicara terkait kejayaan sejarah, budaya, dan kehidupan politik leluhur mereka (yang dipuji-agungkan) pada setiap angka-angka hari jadi setiap tahunnya secara berulang.
Lebih mengerucut lagi pada daerah kita tercinta: Bogor, yang juga memiliki acuan sejarah, kebudayaan, dan kehidupan politik Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran sebagai hari jadinya, kami rasa informasinya harus lebih digencarkan lagi! Pada kesempatan Hari Jadi ke-543 Bogor ini, kami ingin berkontribusi secara mendalam terkait penyebaran informasi, pendalaman pemahaman, dan juga penawaran ulang untuk berpikir: “mengapa Bogor beracuan pada Kerajaan Pajajaran sebagai tolok ukur kelahirannya?” Maka, kami memberikan narasi keras dengan tujuan mengajak berpikir secara kritis demi mencapai pemahaman begitu eratnya Bogor dengan Pakuan Pajajaran.
Narasi yang kami maksudkan pada perkataan kami yaitu berbunyi; “Hari Jadi Bogor (HJB) ternyata adalah Hari Jadi (Ibukota Pakuan) Pajajaran (HJP)”. Di sini kami akan secara sengaja mencari irisan antara HJP dan HJB yang sering kita peringati pada tanggal 3 Juni setiap tahunnya. Tujuannya barang tentu seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya juga. Karena hal-hal inilah yang seharusnya kita bicarakan setiap tahunnya, untuk mengapresiasi sekaligus melanjutkan hasil para penelitian pendahulu, khususnya Saleh Danasasmita (dalam buku Sejarah Bogor: 1983).
Tapi, pernahkan kita menanyakan ulang mengapa hal itu bisa terjadi? Kenapa Bogor memilih masa Pakuan Pajajaran sebagai ujung identitasnya dibandingkan Tarumanagara misalnya, atau mengapa tidak memilih masa-masa ketika Bogor diberi nama Buitenzorg oleh Van Imhoff, atau lainnya lagi ketika masa-masa kemerdekaan bersama Negara Indonesia? Siapa sebenarnya yang memilih patokan Ibukota Pakuan Pajajaran itu? Pada tahun berapa dan pada momentum macam apa Bogor memilih hari jadinya?
Kami rasa, para pembaca sekalian yang berumah maupun yang lahir di Bogor “belum” semuanya mengetahui secara detail jawaban atas pertanyaan tersebut. Maka dari itu dan terlepas dari itu semua, kami rasa untuk menyambut Hari Jadi Bogor ke-543 ini, sudah seharusnya kita berpikir–mempertimbangkan kembali, meneroka ulang momentum itu kembali pada mulanya seperti apa dan apa capaian Bogor memilih masa Pakuan Pajajaran. Sebabnya sederhana, pertama; belum ada wahana pembacaan dalam kerja tulisan yang dihidangkan kepada para pembaca secara umum, baik oleh media arus utama maupun media alternatif yang ada di Bogor. Kedua; setiap tahunnya persoalan Hari Jadi Bogor itu hanya dirayakan (secara seremonial) dengan atau tanpa sajian informasi yang mendalam sebagaimana diutarakan dalam pesta pertanyaan di atas. Dan ketiga; kami rasa sangat perlu diberlakukan seminar atau simposium secara berseri-berkelanjutan oleh para peneliti-budayawan kita pra atau pasca perayaan HJB, yang tujuannya tentu saja menginformasikan pengetahuan berikut pembelajaran apa saja yang terhimpun dari nilai-nilai leluhur: baik yang tersirat maupun tersurat, baik yang lisan maupun tulisan, guna menjadi bekal pembelajaran hidup mendatang.
Celah sensitif itulah yang akan kami tempuh dalam Surat-surat Untuk Bogor #2 ini, dengan menyajikan sebundel catatan yang berpuncak pada 3 Juni 2025 nanti, melalui proses pembelajaran bersama-sama untuk kembali membaca kepustakaan yang ada, mengkaji pesan-kesan yang terhimpun di dalamnya, dan memaknai ulang dalam apresiasi-interpretasi serta mendekonstruksi segala bahasan menyangkut Bogor, Hari Jadi-nya, dan persoalan yang ada di antaranya. Capaian kami sangat sederhana, semoga pembelajaran kami ini bisa menjadi wahana aksi-reaksi berikut kritik-saran untuk membenahi kekurangan-kekeliruan kami, melanjutkan-membenahi apa yang tidak kami mengerti, dan seterusnya—dan sebagainya.
Sebab, kami menyepakati uraian Umar Kayam tentang “kebudayaan adalah kerjaan banyak orang,” yang kami lanjutkan dengan “pengarsipan juga adalah kerjaan banyak orang.”
Maka selanjutnya, dengan mengambil spirit Chairil, kami rasa inilah saatnya: “semua mesti dicatat, semua mesti dapat tempat.”