Ada satu pertanyaan yang mungkin patut kita renungi bersama, yaitu untuk bisa memecahkan masalah itu kamu harus selidiki problem mendasarnya apa?
Membicarakan masalah berarti akan merujuk sebagian dari serumpun permasalahan bangsa ini, tapi apa yang menyebabkan itu bermasalah maka itu yang perlu dicari, digali, dan ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan problem mendasarnya dapat disimpulkan terutama pada akar pendidikannya. Pendidikan pada mulanya berbasis human, kini telah mengalami pergeseran menjadi sekedar pemenuhan kebutuhan society. Pendidikan yang tadinya semata-mata berproses dengan intens ke dalam, sekarang terlontar jauh dalam perjalanan ke luar dirinya. Pendidikan yang sebenarnya bermakna lebih meluas dan lebih mendalam, akan tetapi yang diambil cuma permukaan yang berguna bagi society.
Berdasarkan penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN), sebanyak 87% pekerjaan orang Indonesia justru berada di luar bidang yang digelutinya. Hal ini dikarenakan bahwa jurusan yang mereka ambil semasa kuliah itu tidak sesuai dengan minatnya, atau karena ia belum mengerti apa yang menjadi minat ketertarikannya sehingga tak ada alasan yang lebih kuat selain menyelesaikan kuliah, lalu kemudian mendapatkan pekerjaan. Dan pekerjaan untuk menghasilkan uang. Saat itulah pendidikan untuk belajar apa yang tidak tahu menjadi tidak ada artinya.
Pendidikan saat ini telah mengalami degradasi ke titik paling nadir, yang capaian utamanya ialah uang. Bahwa untuk mendapatkan uang, ia harus bekerja. Untuk mendapatkan pekerjaan, ia harus kuliah. Dan untuk kuliah, ia tinggal masuk jurusan manapun, usah peduli pada passion yang diinginkan. Akibatnya pula, seperti telah diketahui bersama, baik elit politik pemerintahan hingga mahasiswa yang terpaksa kuliah, setiap mengambil kebijakan maupun dalam aktivitas akademiknya selalu cenderung menerapkan prinsip “pokoknya beres”. Seolah-olah mereka diajarkan bahwa pendidikan untuk uang, dan bukan untuk menggali pengetahuan atau potensi di dalam dirimu.
Ada satu aforisme masyhur yang diperkenalkan oleh Jalaluddin Rumi yaitu, “yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya.” Tetapi, bagi saya yang mencoba berpikir kebalikannya justru, lebih mengena kalau yang melupakan Tuhannya, maka akan lupa dirinya pula. Kalau lupa Tuhan, bukan saja kamu dilupakan pada dirimu sendiri, tetapi juga akan dilupakan dari pengetahuan dan ilmu. Kamu akan lupa bahwa hal-hal yang seharusnya kamu ingat-kenali dan camkan itu malah melupakanmu begitu saja. Karena kamu diberi akal oleh Allah, tetapi kamu tidak mempergunakan akalmu untuk berpikir. Kamu menjadi lupa tentang banyak hal. Kamu lupa bahwa kekuasaan sedang menipumu dan politik sedang membohongimu. Yang bisa kamu ingat dalam masa-masa yang terlupakan itu mungkin hal-hal yang kamu inginkan berdampak secara ekonomis dan konkrit. Karena memang kamu dilupakan tentang siapa yang telah memberimu rezeki tak terkirakan itu, dan itulah sebabnya kalau melupakan Allah Yang Maha Memberi Kehidupan.
Menjadi wajarlah apabila di media sosial, kebohongan enam kali lebih cepat menyebar daripada kebenaran. Sama halnya dalam AI, yang bisa kamu ketahui hanyalah sekedar informasi, bukan kebenaran. Demikian juga kalau tanpa pengajaran dan pendidikan berbasis human, kamu akan lebih mudah menerima kebohongan sebagai kebenaran, meskipun kebenarannya itu adalah suatu kebohongan. Kita ini begitu menghamba pada kebohongan, tapi takut dibohongi orang di satu sisi, dan di sisi lain, berani mendiamkan kebohongan para penguasa. Ditambah pula maunya hidup surgawi, tapi tidak pernah mau mengalami apa itu neraka belajar.
Padahal, selama berabad-abad, manusia mencoba mempelajari langit hanya untuk memahami bumi. Tapi ke mana pendidikan tentang kamu mengetahui hal yang ingin kamu ketahui itu? Bukankah pengetahuan manusia ter-update secara berkala dalam kurun delapan jam sehari, lantas kenapa kurikulum tidak bisa diubah agar para pembelajar kehidupan itu dapat merelevansikan dirinya di dalam keseharian hidup? Ah, sudahlah kita menghamba pada kebohongan, sekarang harus mempercayai syarat dan ketentuan tertulis yang berlaku demi ketaatan peraturan. Kurikulum tak bisa diubah karena ada peraturan, begitupun kalau ganti ember tunggu biaya APBD turun. Terkadang peraturan membuatmu lebih sering menunggu dan terlambat dalam setiap tindakan. Sehingga human-individu yang kritis-kritis minggir dulu, inilah saatnya orientasi pendidikan untuk society.
Dalam menghadapi keadaan pendidikan seperti itu, kamu harus segera mencari dan menemukan apa passion-mu. Passion adalah suatu penderitaan, maka neraka mana yang kamu pilih. Kamu tahu akan menderita tapi kamu tetap menjalani penuh kesukacitaan. Suatu upaya yang wajar, misalnya, ialah memilih neraka belajar yang asyik. Artinya, dengan atau tanpa sekolahan, kamu akan senantiasa terbuka dan memposisikan diri sebagai pembelajar kehidupan yang mengamati, memahami dan menelaah sesuatu dari dekat di sekitarnya. Mengalami langsung untuk kemudian menyadari, lalu menghayati berbagai fenomena yang sedang berlangsung. Dan saat itu, kewajaran ialah melakukan suatu hal dengan merasa santai tanpa tekanan, meski tiba-tiba tekanan bisa datang dari mana saja. Karena begitulah kamu baru akan benar-benar bisa mengerti dan memahami sesuatu kalau sudah berada pada puncak frustrasi, tapi kalau mengerti setengah-setengah, boleh jadi gagal paham.
Penderitaan adalah jalan terbaik menuju kebahagiaan. Itulah mengapa di dalam sedih, ada kesenangan. Di dalam senang, adapula kesedihan. Itu namanya dialektika antara senang-sedih maupun derita-bahagia, yang lalu kemudian diberi makna apapun yang dapat menumbuhkan hidupmu dan, syukur-syukur, dapat memperbaiki tingkah laku juga. Sehingga upaya yang wajar yang mungkin bisa dilakukan ialah manjing ing kahanan bahwa semua orang adalah guru sekaligus murid bagi lainnya, dan semua tempat adalah sekolah. Semangat menggali, mencari tahu, menemukan paham, mengalami ilmu kapanpun dan di manapun. Belajar kapanpun dan di manapun.
Sebagaimana di maiyah, Cak Nun pernah mewedarkan bahwa pendidikan ialah menemani anak didik untuk mengetahui kehendak Tuhan pada diri sendiri. Terkadang juga saya lebih manut pada asalkan itu “diperjalankan oleh Allah”. Karena apa yang kamu sukai belum tentu Allah sukai. Begitupun apa yang Allah sukai belum tentu kamu sukai, padahal itu baik untukmu. Jadi temukan atau pilihlah apa yang kamu sukai dan semoga juga Allah menyukainya. Kalau kamu ridho, insyallah Allah pun meridai. Apapun saja pilihanmu asalkan itu mempertimbangkan kewajaran, holistik dan seimbang.
Pendidikan dan atau passion-mu ialah lakukan yang terbaik meskipun tidak enak, lakukan yang paling sehat meskipun tidak enak, dan jangan lakukan yang mengancam kesehatan dan kebaikan hidupmu, meskipun itu sangat enak.
14 Januari 2025