Pagelaran Un-Loading di Ambang antara Tragikal dan Pembungkaman

Pagelaran Un-Loading di Ambang antara Tragikal dan Pembungkaman

dok. Rusydi Jamil Fiqri & LTC


Setiap lampu blackout. Tepuk tangan bergemuruh. Pertunjukan dinyatakan telah usai, meski belum benar-benar berakhir. Sebagian orang lekas menuju pintu keluar, sebagian lain mencoba bertahan di tempat. Karena monolog akan diakhiri dengan diskusi, ditutup dengan dialog antara moderator, aktor-kreator, penanggap, dan para penonton. Tapi selama pertukaran impresi plus interpretasi, saya cenderung pasif dan hanya mendengarkan lalu-lintas pemaknaan heuristik maupun hermeneutik. Alih-alih ingin lebih lanjut membicarakan dengan/dalam tulisan.

Tiga dari lima pertunjukan Lab Teater Ciputat (LTC) “Program Un-Loading” jilid kedua telah saya tonton, antara lain “Black Dots” Sarah Nurmala, “Rudra Samsara” Yova, dan “Nota Agraria” Ari Sumitro. Sedangkan, dua pertunjukan lain yang tidak sempat saya tonton ialah “U-Turn” Muhammad Ramdhani dan “Suara Abivara” Bangkit Sanjaya. Pertunjukan berlangsung pada 17-22 Desember 2024, di Museum Kebangkitan Nasional, boleh jadi ini merupakan persembahan tutup buku akhir tahun dengan menghadirkan isu-isu lembaran kelam yang aktual sekaligus faktual.

Aktor-kreator lantas menjadi penyambung lidah korban. Sensitivitas isunya membawa rapor merah sebagai suatu bangsa. Kegagalan dalam mewujudkan keadilan. Kemunduran bagi kebudayaan hidup. Penyimpangan atas nilai-nilai dan kehormatan manusia. Demikian setiap monolog membawa dilema-problematikanya masing-masing, sebagaimana setiap zaman menghadirkan tanda-tandanya sendiri. Terserah mau direnungkan, dijawab dengan tuntutan, atau disikapi dengan kritis. Di situlah aktor-kreator akan meretrospeksi, menelisik, serta menemukan “sentrum” suatu gejala yang vital untuk dapat menjadi pengingat kesadaran bersama, sekaligus upaya ingatan melawan lupa.

Dalam tiga pertunjukan di atas, terdapat kecenderungan sebagai suatu, katakanlah, monolog sosial. Meski dua di antaranya (Black Dots dan Rudra Samsara), temanya lebih mencolok ke masalah-masalah personal-privat-individual dengan segala kompleksitas hidupnya. Sumber konfliknya adalah kompleksitasnya itu baik secara rohani maupun jasmani, yang kemudian menjadi ketegangan antar traumatik antar memori. Ketiganya sama-sama menyuarakan apa yang tragis dan pembungkaman yang sedang berlangsung. Selanjutnya, tergantung pada waktu, sejauh mana karya-karya itu dapat memberi harga pada hidup dan berarti bagi masa kini. Tugas kita memberi makna dan menjangkau kemungkinan proyeksi nilai-nilai yang hendak diarahkan karya-karya tersebut.

“Black Dots” Pergulatan Mencari Suaka

Belakangan ini ada satu kejadian, seorang suami berinisial A mengadu soal kasus kekerasan seksual yang dialami istri dan anaknya. Istrinya diperkosa dan anaknya dicabuli oleh salah satu penghuni kos. Tetapi saat ia melaporkan kasus itu, polisi justru menuduhnya sebagai pelaku. Bahkan, ia sempat ditahan polisi tanpa alasan yang jelas. Seperti banyak laporan kasus serupa lainnya, nasib kasus ini pun berakhir tanpa ada kejelasan, tidak ada penyelidikan lebih lanjut. Tampaknya, yang terjadi bukan cuma banyak kasus-kasus pelecehan seksual, ditambah maraknya pelecehan di ruang-ruang sosial, tetapi juga meningkatnya pelecehan hukum oleh penyidik.

Memprihatinkan memang. Kalau keadilan sudah dilecehkan sedemikian rupa, mesti ke manakah korban-korban itu pergi berlindung dan mencari perlindungan? Apakah korban-korban itu “hanya perkara biasa” dalam kacamata hukum sehingga sukar dilindungi oleh lembaga pengadilan? Apakah kesaksian korban-korban itu dianggap lemah sehingga tak cukup kuat untuk mendapat perlindungan? Bagaimanakah korban-korban itu akan bisa mempertahankan dirinya dengan segala kelemahan dan ketidakberdayaan? Akan ke manakah perginya korban-korban itu?

Itulah yang ditampilkan dalam Black Dots, sebuah monolog karya aktor-kreator Sarah Nurmala. Menyoal kenyataan pedih sejarah pada kasus “Jugun Ianfu” atau wanita penghibur atau budak seks pada zaman Jepang. Yang lalu menyeruak ke masa kini sebagai pelecehan, kekerasan seksual, hingga pemerkosaan. Korban ditelantarkan tanpa memiliki apa-apa selain trauma mendalam. Ia merasa hidupnya telah menanggung beban moral yang berat, merasa sangat berdosa, bersalah, dan sedemikian kotor.

Adegan yang terekam dari penampilannya ialah ketika ia menceburkan diri ke dalam bak mandi. Membersihkan seluruh tubuh. Menyucikan diri. Memelihara diri. Tapi yang bisa dibersihkan hanya secara jasad, dan bukan secara rohani. Hatinya belum tentu. Pikirannya belum tentu. Jiwanya belum tentu. Perasaannya belum tentu. Pengalaman pahit memaksanya terkurung dalam trauma dan memori yang berjejalan. Ingatan dan perasaan berdosa saling tumpang-tindih menekannya. Inilah yang terkuak ketika seorang korban pemerkosaan terbentur pada sebuah realitas yang tak menyenangkan dirinya. Ia menjelajahi ketegangan psikologi (yang divergen maupun konvergen), menyibak karakter, perubahan/gangguan mental pribadi seorang korban serta berbagai tipologi sikap, mengemuka sebagai pengalaman ketubuhan.

Berkat penggalian psikologis yang dalam, ia menguliti karakter korban. Lewat konstruksi tubuhnya pula, ia tidak sekedar “mengilustrasikan” konflik batin seorang perempuan korban pemerkosaan, melainkan justru menginginkan agar penonton mengembangkan imajinasi sesuai visinya. Tubuhnya mengalami pergulatan panjang mencari suaka dalam hubungan subjek dengan kepribadian, sosial, dan hukum. Di mata hukum, ia mungkin disalahkan dengan pertanyaan kenapa bisa sampai diperkosa. Di mata sosial, ia mungkin dipandang sebagai perempuan yang telah ternodai. Di mata pribadi, ia mungkin merasa dirinya tak suci lagi. Di mata dosa, apakah ia akan menjalani hidup terus menerus tergerus oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang berkecamuk?

Memang persoalan itu amat sangat membutuhkan kejernihan, ketepatan, serta kelengkapan pandang yang menyeluruh dan seutuh-utuhnya dalam memandang korban secara kemanusiaan. Setidaknya, dengan mengangkat tema yang seringkali dianggap tabu, vulgar, atau tidak senonoh itu, ia telah berusaha mengungkap kontradiksi atau represi dalam budaya dominan. Monolog yang provokatif ini sebagai upaya untuk menguak apa yang tersembunyi atau tidak terkatakan dalam masyarakat. Juga sebagai upaya untuk mengusik, mengganggu, dan mengguncang tatanan kebudayaan. Melalui kengerian atau tragikal yang ditampilkan, menantang penonton untuk melihat ulang-alik di luar fasad nilai-nilai atau moralitas yang mapan secara umum. Dan pada akhirnya, bahwa dalam menghadapi realitas seperti itu, Black Dots tidak ditampilkan untuk fantasi, melainkan untuk kejujuran.

Ruwatan “Rudra Samsara”

Sedari awal monolog realis “Rudra Samsara” karya aktor/kreator Yova ditampilkan, saya menonton dengan empati. Suasananya terasa menggetarkan hati. Semula ia bangkit dari tidurnya dengan kondisi memprihatinkan. Ingusnya meler. Air matanya mengalir. Ekspresi wajahnya atau mimik mukanya sayu. Ada kesedihan dalam dirinya yang dapat langsung menyentuh penonton. Kesedihan seorang Ibu/perempuan yang telah mengalami perbuatan buruk berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Setting panggung menampilkan kamar yang berantakan dengan segala properti seperti baju-baju, kasur, kursi, lemari, pintu, dan jendela. Tiap properti menyimbolkan sesuatu, sekaligus menjadi perangkat artistik yang menopang performatifnya. Area eksplorasi tubuhnya seputar kasur tempat mengidentifikasi ketidakstabilan emosionalnya, kursi menduduki guncangan batin, lemari membuat dirinya merasa tak pantas, pintu menciptakan reflektif secara sugestif, dan jendela menyiratkan kompleksitas individual-sosial.

Kemungkinan eksplorasi ketubuhan itu, sayangnya, dipatahkan oleh tampilan visual yang, agaknya, terlalu lama dan banyak mengisi pertunjukan. Durasi visualnya menguras waktu, menyita tubuhnya sendiri. Membatasi ruang gerak dan menyegel suara dari monolognya. Hampir tak ada aksi-reaksi aktor-kreator atas proyeksi visualnya. Media visualnya tak lebih dari sekedar menyalin sekumpulan berita—yang setiap orang dapat menjangkaunya. Berita mungkin belum dapat mewakili kesaksian korban, sehingga tugas aktor-kreator untuk memberi suara lain dari yang apa terabaikan dan tertekan. Melalui ketidaknyamanannya itulah, kemungkinan aktor-kreator dapat menebalkan “proposisi” lewat ketubuhan (tubuh yang berbicara atas nama subyek) serta berbagai gaya ungkap monolognya.

Seandainya ia sedia menggali masalah-masalah, ketegangan, atau bentangan karakter, psikologi, hingga tipologi sikapnya. Barangkali akan lebih tampak perkembangan/perubahan psikologi penjiwaannya; sebelum dan sesudah kejadian. Terserah mau ditubuhkan, dilontarkan dengan monolog yang retrospektif—laiknya cermin yang memicu reflektif—sambil tetap membersitkan nuansa tragis. Efek pantul ini akan memperkaya atau lebih kuat secara personal dan intens.

Monolog ini kendati berhasil mengundang haru, lalai dalam menyunggi rasa beban yang dituntut dari seorang korban KDRT. Barangkali memang diniati sebagai reportatif dan informatif, meski belum cukup padat dan bernas. Belum menjangkau kemungkinan resepsi antara amatan disruptif dan keliaran imajinasi. Antara menghadapi dan menyelamatkan pernikahannya. Maka, dalam belenggu ganas KDRT, dalam mengorek permasalahan keluarga, korban-korban yang telah menderita begitu banyak itu ternyata membutuhkan suara. Suara yang datang dari kesubliman realisme. Suara yang mungkin dan membebaskan dirinya. Sebagaimana dalam pernikahan, keluarga sakinah adalah apa yang diperjuangkan terus-menerus.

Nota Agraria” Krusial

Tak bisa disangkal, monolog bergaya lecturer “Nota Agraria” yang dimainkan oleh Ari Sumitro, merupakan “vitalitas” dari penciptaan dan pemanggungan. Vitalitas seorang aktor/kreator dalam mengekpresikan dirinya melalui monolog sebagai refleksi kehidupan. Pertunjukan terarah pada upaya mengkomunikasikan problem sosiologis yang dihadapi dirinya, maupun para tokoh lainnya. Permasalahan yang diangkat erat kaitannya dengan sejarah (penguasaan) tanah, hilangnya tanah penghidupan dan tempat tinggal dalam sebuah ruang hidup yang dibangun oleh pertanyaan mendasar nan krusial: “Sampai kapan kita harus membayar ruang hidup?”

Tanah dengan segala persoalan agrarianya merupakan isu yang seksi lagi hangat, kian pelik dan terang repot. Tinjauan atas tanah juga memuat banyak segi, faktor, dan kemungkinan variabel lainnya. Menjadi jelaslah ini persoalan nyata yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat, juga masyarakat secara menyeluruh. Kalau masyarakat adat tengah berjuang untuk merebut, mempertahankan, dan menuntut hak atas tanah. Maka, apa yang ditampilkan oleh aktor/kreator ini, tak lain tak bukan tanah sebagai ruang hidup. Ruang, yang diidamkan dalam bayangan revolusionernya, telah menjadi harapan bagi semua orang, bahwa hamba Allah sekalian warga Negara, semestinya mempunyai hak atas tanah agar dapat mengelola dan mengendalikan sendiri secara berdaulat.

Namun, di balik kompleksitas tanah ini, seberat apapun masalahnya, penonton seolah bisa diluruh-diluluhkan dengan monolog yang komikal. Ia kelihatan main-main, padahal sungguh-sungguh serius. Garapannya unik, kocak, dan diskursif. Saya kira memang khas Ari Sumitro. Kehadirannya di panggung selalu mencairkan suasana. Mencairkan segala kebekuan, kebatuan, dan kepadatan. Ia dengan monolognya bukan untuk melucu, melainkan karena ia dengan segala kepribadian maupun karakternya selalu larut dalam humor. Ia tak perlu melucu agar penonton tertawa, tapi tingkah aktor-kreator ini di atas panggung sudah pasti lucu. Ya, karakternya. Gerak-geriknya. Gestur ketubuhannya. Ekpresinya. Plus gaya pengucapan monolognya. Paket lengkap dalam menghibur sambil menyelipkan permenungan mendalam. Renungan dari pengetahuan dan kegembiraan atas tanah. Pengetahuan akan mudah diterima apabila disampaikan dengan kegembiraan. Kegembiraan adalah jalan lain ke pintu pengetahuan melalui permenungan, penghayatan, dan perhatian untuk menangkap seluk-beluk persoalan tanah.

Selama kurang lebih satu jam, penonton dibikin tertawa, serius, sampai tertawa dan serius tak ada bedanya. Banyak penonton ketawa ngiklik hingga tergelak, tiba-tiba mendadak fokus. Hal ini disebabkan oleh, pertama, eksperimen pemanggungannya dengan menampilkan set panggung, kostum, serta perangkat properti lainnya yang, hendak menyerupai seorang dalang, tapi pada praktik monolognya hampir mirip (presentasi) ludruk, penuh banyolan di sela-sela antara aktor-kreator dan penonton. Kedua, pilihan pada pola ucap penampilan monolognya, cara bertuturnya penuh kegagapan, terbata-bata, dan tidak memakai retorika satir, pandai bersilat lidah, kefasihan dalam berbahasa—yang kalau dilakukan mungkin dapat menimbukan kebosanan dan efeknya biasa-biasa saja.

Kegagapan di atas adalah “nyawa” dari monolognya. Mungkin karena ia merasa, bahwa ngomong gagap aja bisa dibungkam, apalagi kalau ngomongnya lancar. Di lain sisi, kegagapan sebagai suatu gaya ungkap monolog ternyata mampu menyimbolkan sesuatu. Kegagapan ini bisa ditandai sebagai limitasi pengetahuan seseorang, atau dirinya. Biasanya orang akan sulit mengucapkan sesuatu kalau dirinya merasa tidak tahu banyak mengenai pokok-pokok pembicaraannya. Sehingga hal ini menandai pula bahwa ia ingin terhubung dengan apa yang dibicarakan atau persoalan yang sedang dibicarakan, meski belum seberapa tahu. Setidaknya ia dapat menambah wawasan pengetahuannya. Kegagapan juga dapat mengindikasikan suara orang kecil, suara rakyat, yang senantiasa merasa diri bahwa omongannya tidak akan pernah bisa didengarkan oleh penguasa.

Sebagai karya monolog yang mewedar tanah secara linimasa, agaknya juga perlu pembahasan mengenai topografi alam: ada hutan, lembah, lahan/kebun, lingkungan hidup, dan seterusnya. Karena kebanyakan perusahaan atau institusi atau segolongan kaum pemodal yang merampas dan merampok tanah itu tidak mengerti tentang topografi alam. Dalam pandangannya, topografi alam adalah apa yang dapat kelihatan secara ekonomi dan materialistik. Meski demikian, monolog ini punya jangkauan proyeksi estetika yang lebih luas, visi artistiknya pun lumayan tajam dalam menyoroti inti permasalahan dan terarah sebagai gangguan terhadap tatanan yang timpang, sehingga perjuangan untuk mewujudkan hak pemerataan ruang hidup bersama harus terjaga dan dikabarkan.

Setali Tiga Konflik

Tragikal dan pembungkaman yang ditampilkan tiga aktor-kreator melalui karya-karya monolognya telah mengoyak hati dan menggedor isi kepala penonton. Pertunjukannya membicarakan masalah sosial yang merupakan refleksi, inzar aktor-kreator kepada dunia pertunjukan, maupun kepada kenyataan di dalam kehidupan yang banyak mengalami beragam krisis ini. Tapi tampaknya persoalan-persoalan yang diangkat bukanlah persoalan substansial. Ada yang lebih esensial dari itu, tujuan tragedi ialah katarsis, tujuan pembungkaman ialah perlawanan. Tujuan ini kemungkinan akan menjadi benar dan tepat apabila “maksud” dan “sasaran” aktor-kreator dapat teruji secara penciptaan maupun pemanggungan, dan perlu diuji dalam pandangan (di luar otoritas keilmuan) yang mungkin menentukan perkembangan masyarakat, di mana perubahan dan peralihan kebudayaan dimungkinkan karena ada keadaan masyarakat yang nyata.

Penyajian monolog masih berkutat pada dampak-dampak, akibat-akibat, dan bukan penggalian dari sebab-sebab dan penciptaan yang menyebabkan. Penciptaan rasa tragis dan takut dalam pembungkaman tidak melulu harus dilalui dengan data-posisi-imajinasi, tapi melalui gairah menjelajahi hubungan subjek antara tubuh, identitas, dan keinginan. Dengan demikian, posisi aktor/kreator yang mungkin, barangkali harus dilakukan sebagai modus kreatif, adalah meneliti dan menghitung ulang sebab-sebab, menyelaminya dengan ilmu, merayakan terus menerus dengan penghayatan, menjunjung dengan semangat tak jemu-jemu demi memelihara keindahan hidup, serta menghidupkan atau menciptakan peristiwa yang terlibat (ada aktor-kreator dan penonton) dalam kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang dapat dan senantiasa berubah. Sikap artistiknya berikhtiar mengganggu, mengusik, mendobrak, mengatasi, melampaui, atau mungkin membebaskan belenggu dalam kehidupan. Tawaran dari tantangan-tuntutan-permintaan ini membuatnya tangguh tahan, menjalani misi penciptaan-pemanggungan, seperti sedang meletakkan estetika-visi artistik yang mengguncang bagi jalannya kebudayaan. Salut!

25-26 Desember 2024

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos