dok. CNBCI-HS
Bagi penulis, awal tahun 2025 ini merupakan permulaan tahun yang membuat telapak tangan tak bosan mengeluskan dada seraya berkata “sabar, jangan kau keluarkan umpatan itu melalui mulut, dipendam saja, mudah-mudahan ini yang terakhir”.
Padahal, tangan ini juga yang selalu ‘scrolling’ media sosial untuk mencari informasi-informasi keterkinian. Namun, memang dasar bukan salah tangan dan hati yang menciptakan kebencian-kebencian pada perilaku para penguasa, tapi merekalah penyebab kedengkian itu terus tumbuh, astagfirullah.
Bangsa Indonesia di awal tahun 2025 selalu dipertontonkan dengan kebijakan dan perilaku oknum pemerintah yang sering menyakiti hati masyarakat, dan saat ini (mungkin) tidak sedikit yang sudah skeptis bahwa kehidupan mereka akan lebih baik dengan adanya pemerintahan baru.
Bukan tanpa alasan, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan disampaikan melalui jagat media sosial, membuahkan nilai pesimis yang memuat banyak komentar pada setiap postingan yang bersangkutan dengan berbagai kebijakannya, kecuali para Buzzer is god.
Kenikan PPN, kebijakan ‘mematikan’ subsidi LPG 3 Kilogram, pemberedelan karya, pembungkaman kritik, dan yang terbaru korupsi Pertamina serta kasus dan perilaku oknum para penguasa lainnya, membuat masyarakat khawatir terhadap keterwakilan rakyat melalui para pimpinan mereka. Jangan-jangan wakil-rakyat itu bukan yang mewakili keinginan rakyatnya, tapi membungkam dan mematikan keinginan-keinginan yang diharapkan masyarakat, mungkin.
Tapi, bangsa Indonesia selalu mencari untung dalam setiap kejadian buruk. Seperti saat kecelakaan, rakyat Indonesia masih bisa ngomong “untung cuma lecet”, saat langka LPG “untung masih bisa antre”, saat PPN naik “untung cuma buat barang berharga”, saat diberi makan gratis tak bergizi “untung masih bisa makan”, saat para pejabat korupsi “untung bukan senior saya,” dan untung-untung lainnya. Sabar banget ya, kita heuheu.
Meski begitu, kita tidak boleh berdiam pada situasi terpuruk. Kita harus bisa memperbaiki yang harus diperbaiki, kita harus merubah apa yang sudah rusak, dan kita harus lawan apa yang bertentangan dengan kemanusiaan. Meski kamu pasrah dengan keadaan yang begini-begini saja, apakah kepasrahan itu juga akan diterima oleh anak-anak kita di masa yang akan datang? Maukah anak-anak kita merasakan situasi yang serupa di masa yang akan datang?.
Mungkin saat ini, kita tidak bisa apa-apa selain bermohon pada Tuhan, agar paling minimal setiap kebijakan pemerintah tidak berdampak pada kehidupan kita. Tapi, nyatanya tetap saja Tuhannya bangsa Indonesia kini, belum juga mengabulkan “ingin hidup yang sejahtera di negeri yang kaya plus subur makmur” itu.
Barangkali, Tuhan memberikan jawaban lain atas kerasahan dan kekhawatiran kita semua. Bukan hanya menengadahkan kedua tangan melalui doa, tapi Tuhan ingin kita ikhtiar dahulu dengan mengepalkan tangan untuk melawan setiap kezaliman, memperbaiki apa yang rusak dan merubah apa yang salah.
Padahal ya, kita tidak berharap apa-pun dari para pemangku kepentingan, kita kadang cuma minta apa yang saat ini kita jalani (baik pekerjaan maupun lainnya), tidak terganggu oleh apa yang mereka inginkan dengan atas nama kita juga. Padahal kita enggak minta apa-apa. Ya, tapi bagaimana lagi, kita hidup di negara ini.
Kejadian yang kita rasakan saat ini, pernah juga dirasakan oleh rakyat Perancis tahun 1780-an di bawah pemerintahan arsitokrat raja Louis XVI. Masalahnya ya tetap ekonomi, saat itu negara banyak hutang, tapi hutang itu malah dibebankan kepada rakyat dengan menekankan pajak setinggi-tingginya demi membayar hutang ke Bankir Yahudi. Terlebih, di tengah kondisi tersebut, para pejabat tetap menikmati kehidupan dengan kemewahan, bagaimana tidak emosi rakyatnya? Layak banget kan kalau rakyat, misal, meludahi raja Louis XVI?.
Tapi rakyat saat itu tidak memilih untuk meluapkan emosi mereka masing-masing melalui umpatan dan ucapan-ucapan buruk antar mereka. Tapi mereka membuat gerakan yang akhirnya pacahlah sebuah revolusi. Eits, tapi sebentar, sebelum dilanjutkan, apakah kondisi di atas sudah serupa dengan kondisi kita saat ini? Nanya aja sih.
Kalau serupa, rakyat yang mengalami kemelut yang sama, bukankah biasanya saling berkumpul dan menceritakan penderitaan, keresahan, dan kekhawatiran mereka guna mencapai jalan keluar bersama, entah melalui revolusi atau apalah namanya. Tapi kenyataannya, pertemuan rakyat biasa di Indonesia saat ini tidak jarang hanya sekadar dijadikan sebagai wadah “adu nasib” saja, bukan wadah pergerakan merubah nasib mereka. Bener gak? Atau penulis salah?
Pertamax atau Pertalite?
Rakyat Indonesia ini emang selalu menciptakan gelak-tawa untuk mengobati kesedihan mereka. Seperti kasus terbaru saat ini, banyak sekali meme-sindiran yang berseliweran, gambar pegawai SPBU dengan konsumen yang tengah mengisi BBM, kurang lebih sepeti ini percakapannya;
“Pertamax atau Pertalite, mas?” tanya pegawai.
“Pertamax,” timpal konsumen.
Budaya kita setelah percakapan tersebut, pegawai SPBU biasanya langsung mengisikan Pertamax dengan nominal yang kita ingin sekaligus sebutkan. Tapi pada meme itu, pegawai malah seperti sedang main tebak-tebakkan dengan konsumen dengan jawaban “salah itu hanya ilusi, isi Pertamax itu ya Pertalite itu sendiri”.
Meski kasus dugaan pengoploasan BBM subsidi Pertalite untuk dijadikan Pertamax masih belum 100 persen kebenaran pengoploasannya, tapi meme di atas menggambarkan betapa sering kita dibohongi. Sampai, Pertamax yang disebut bisa membuat halus dan enak kepada performa mesin, ternyata itu cuman ilusi, ternyata kita pakai Pertalite juga, “bonusnya cuma gak antre aja, jir lah!”. Apakah negara ini yang melalui pemerintahannya selalu mempropagandakan wakil-rakray untuk kesejahteraan rakyat ternyata hanya ilusi juga? Benarkah kita hidup ternyata di dalam bayangan ilusi melulu?
Jadi, sekarang jalan keluarnya adalah menimbang ulang, kita mau Pertalite atau Pertamax? Atau perlawanan agar Pertamax menjadi benar-benar Pertamax yang RON 92, yang bisa bikin ilusi mesin halus itu jadi kenyataan? Kita mau sejahtera atau ilusi-sejahtera? Atau perlawanan agar sejahtera benar-benar kesejahteraan yang membuahkan kebahagiaan bersama?
Pembangkangan Sipil
Kalau kita mau perlawanan untuk menjadikan ilusi itu menjadi nyata, formulasi atau konsep gerakan sosial atau pembangkangan sipil yang digagas oleh Filsuf abad ke-19 Henry David Thoreau sepertinya bisa dijadikan rujukan kita dalam mengawali dan menciptakan Indonesia ke arah yang mungkin lebih baik daripada hari ini.
Pada buku Pembangkangan Sipil karya Henry David Thoreau, dia menyebut bahwa “pemerintahan terbaik adalah yang paling sedikit memerintahkan” , “jika hukum itu menyebabkan kamu menjadi agen ketidakadilan bagi orang lain. Maka saya katakan: langgar hukum tersebut,” serta beberapa kutipan-kutipan lainnya yang membuat kita berpikir dua kali untuk terus mengikuti semua titah para penguasa negeri. Jangankan kita, Mahatma Gandhi dan sejumlah tokoh penggerak sosial juga terpengaruh oleh pemikiran dia.
Thoreau mengajarkan bagaimana kita melawan segala ketidakadilan dan penyimpangan kekuasaan dengan cara perlawanan tanpa kekerasan, tanpa pertumpahan darah dan tanpa hal-hal menyeramkan seperti yang terjadi pada revolusi-revolusi negara besar lainnya, dan yang sudah-sudah.
Ia menekankan bahwa perubahan besar diciptakan dari perlawanan yang sangat kecil yakni di tingkat individu atau perseorangan. Setiap orang memiliki kewajiban moral dalam menanggapi dan merespons situasi politik-sosial di kehidupannya.
Thoreau membuktikan dalam kehidupannya sendiri betapa penting satu manusia dalam melawan ketidakadilan. Contohnya, Thoreau membangkang dan menolak membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika yang berakhir di jeruji besi. Meski begitu, Thoreau membuktikan bahwa betapa berpengaruh satu manusia bermoral terhadap sistem pemerintahan yang menindas rakyat, bagaimana jika ada ribuan hingga jutaan Thoreau ada di negara ini? Pasti ada, tapi mungkin tingkat keberaniannya masih belum setingkat dengan Thoreau.
Meski perlawanan individu sangat penting dalam setiap pergerakan sosial, namun di negara yang berkembang ini kuantitas selalu diutamakan dan akan mudah didengarkan untuk membuat suatu kebijakan baru. Contoh beberapa kasus dan protes yang ditindaklanjuti penguasa setelah kasus tersebut banyak didesak dan diketahui rakyat.
Kesadaran individu itu harus kita rawat dengan kesadaran individu lainnya yang akan membentuk suatu kesadaran kolektif. Sehingga, semakin banyak rakyat Indonesia yang menyadari kondisi politik-sosial, maka makin banyak juga para penguasa yang tidak berani berperilaku sewenang-wenang. Makin banyak masyarakat yang memahami pergerakan sosial, maka makin banyak juga para penguasa yang ketakutan terjungkil kekuasaannya. Makin banyak rakyat yang berpikir, maka makin sedikit juga penguasa yang akan membodohi rakyatnya.
Penulis tidak sama sekali mengajak kepada sebuah pembangkangan bersama untuk negara ini, namun penulis mengajak rakyat Indonesia lebih mencintai negaranya sendiri, sehingga tidak sudi jika negaranya dipimpin oleh orang-orang yang tidak bijaksana, yang tidak mengedepankan keadilan dan kemanusiaan, atau yang dengan sengaja mengacuhkan kelima sila dari Pancasila itu sendiri.