Saini KM: Penyair Yang Durhaka Pada Kesundaannya(?)

Saini KM: Penyair Yang Durhaka Pada Kesundaannya(?)

dok. haripuisi


Faktor-faktor yang memengaruhi sastra Indonesia sampai hari ini melulu tentang kritikus dan media. Tidak pernah berubah. Kritikus sastra, dengan analisis dan penilaiannya, membantu pembaca memahami dan menghargai karya sastra. Sedangkan media, khususnya media massa, berperan dalam menyebarkan dan membentuk persepsi masyarakat tentang karya sastra. Dua faktor ini seolah jadi candu. Akan tetapi, di tengah gempuran lahirnya penulis dan karya sastra hari ini, ada berapa banyak kritikus sastra yang kita miliki? Media massa mana saja yang mampu menampung dan menyeleksi karya-karya yang lahir setiap hari? Di sini, komunitas punya tempat. Setiap komunitas, khususnya komunitas sastra, bertujuan untuk menumbuhkan girah bersastra dan berperan penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Barang tentu, dengan kegiatan-kegiatan pendukung yang sesuai dengan visi komunitas sastra itu sendiri. Seperti komunitas Semaan Puisi. 

Semaan Puisi edisi repetisi ke-76 berlangsung hidup dan cukup meriah di rumah baru pasangan penyair Jamal D. Rahman dan Maftuhah Jakfar, tepatnya di Wisma Mas, Sawangan, Depok. Penyair Saini KM terpilih untuk diangkat sebagai pengganti dari tokoh puisi yang disepakati pada pekan kamis malam sebelumnya, yakni Taufik Ismail. Sedang penyair Taufik Ismail, akan dihelat pada edisi berikutnya di Utan Kayu, kediaman langsung penyair Indonesia tersenior hari ini yang akan merayakan hari ulang tahun ke-90 bulan juni nanti. 

Nama dan puisi-puisi Saini KM memang tidak sepopuler dan ramai diperbincangkan seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Goenawan Mohamad, dan sastrawan lain di angkatannya. Mungkin, karena bentuk puisi-puisinya yang baku dan konvensional. Atau, karena tidak mengikuti jalur penyebaran puisi seperti penyair lain yang dengan getol mengirimkan karya ke media massa di masanya. Jalur yang dipilih adalah jalur personal dan selektif. Ia menulis puisi, dikumpulkan, diseleksi, kemudian diterbitkan. Pada 1968, lahirlah Nyanyian Tanah Air, buku kumpulan puisi pertamanya dan sekaligus menjadi tonggak penting dalam kesusastraan Indonesia. Lalu, menyusul kumpulan puisi berikut; Rumah Cermin (1979), dan Sepuluh Utusan (1989). Artinya, dalam tiap-tiap sepuluh tahun, hanya satu kali Saini KM berhasil membukukan puisi-puisinya. Entah disengaja atau tidak. Akan tetapi, kita bisa menerka-nerka, bahwa hal demikian, barangkali, adalah bagian dari ritus kepenyairannya.  

Puisi-puisi Saini KM kuat dalam isi. Baginya, ide adalah inti dari puisi. Sehingga bentuk, estetika, dan eksplorasi teknis lain tidak perlu diseriusi. Sebagaimana kredo sekumpulan penyair Bandung pada masanya, ‘bentuk itu bukan tuhan’. Sebab bukan tuhan, maka bentuk tidak layak disembah, tak patut diagung-agungkan. Dan tema-tema puisinya sarat membumi–yang sering dijumpai adalah renungan tentang nilai-nilai kemanusian, nyaris tidak ada dunia langit dalam puisinya. Daripada itu, Saini tidak dikenal sebagai penyair religius. “Urusan saya dengan tuhan telah selesai”, kira-kira begitu ungkapannya yang fenomenal, suatu ketika. Seperti pada puisi “Parthenon”, Saini begitu apik memuisikan sebuah kuil kuno runtuh di Athena, kota yang tak pernah ia kunjungi.  Seolah dekat. Seolah lekat. sia-sia./ betapa pun mata khayal mencoba/ membangun kembali kemegahan kuil dari puing-puing ini,/ perang dan gempa bumi menetapkan/ bahwa abad-pualam para dewa telah pergi. Dan sikap humanisme sekulernya sangat tegas pada saat mengembara mencari dewata baru, namun tak mampu/ mempersembahkan iman kanak-kanak yang murni; tak mampu/ mendirikan Parthenon baru, karena menolak setiap pilar/ setiap penopang lain, kecuali tangan dan kaki sendiri.  

Saini Kosim atau yang dikenal dengan Saini KM adalah penyair berdarah Sunda. Ia lahir di Sumedang, 1938. Meski darah Sunda mengalir di tubuhnya, tapi kesundaannya tidak mengalir dalam puisi-puisinya. Ari Batubara, anggota tidak tetap Semaan puisi, mengutuk kepenyairan Saini KM. “Orang Sunda itu durhaka ketika menjadi penyair,” ungkapnya dengan nada geram. “Bukan karena benci, tapi karena cintanya yang terlalu. Seperti cinta Sangkuriang pada Dayang Sumbi. Cinta seorang anak sampai ingin menikahi ibu kandungnya sendiri,” lanjutnya. Akan tetapi, ketika dipikir-pikir lagi, perumpamaan semacam itu tidak pas di nalar. Ada yang ganjal di pikiran. 

Bagaimanapun, terlepas dari polemik kedurhakaannya—dalam versi kutukan Ari Batubara, Saini KM menerima dan mendapat penghargaan atas dedikasinya telah menumbuhkan dan menghidupkan minat kepenyairan di kalangan muda, yakni “Anugerah sastra” dari forum sastra Bandung. Tidak hanya itu, Saini juga mendapat hadiah sayembara dalam penulisan lakon DKJ 1973, 1977, 1978, 1980, dan 1981. Dan penghargaan tertingginya adalah Hadiah Sastra Asia Tenggara pada tahun 2001 (SEA Write Awards) dari pemerintah Thailand.

Tahniah.  

2025