Wadah Ilmu dari Allah: Secarik Surat untuk “Man OF All Seasons”

Wadah Ilmu dari Allah: Secarik Surat untuk “Man OF All Seasons”

Ilustrasi @FihrilKamal


Pengalaman ikut maiyahan yang paling menggembirakan hati saya adalah kekhusyukan saat duduk dan mendengarkan Simbah Nun (Emha Ainun Nadjib) berbicara. Rasanya saya belum pernah merasakan lagi kenikmatan begitu, sesaat sebelum Simbah ditarik ke kedalaman sunyinya sunyi. Saya sendiri heran. Seperti ada yang tak bisa terjelaskan, tapi sangat jelas kalau tak ada Simbah, terutama sekali di forum maiyah Kenduri Cinta (KC). Sebulan sekali saya rutin ke sana, kecuali alpa kalau ada adegan lain.

KC, Mbah, KC sekarang lain daripada KC Simbah. Lain di sini menurut sebagian jamaah saja, lebih banyak jamaah yang tenang-tenang saja (pura-pura mengerti yang saya tidak tahu). Maksudnya, sebagian orang tentu menyadari adanya perubahan semenjak tak ada Simbah, sebagian lain justru membiarkan arah dan gerak perubahan—yang mohon maaf kalau saya katakan—benar-benar belum jelas juntrungannya, Mbah. Sangkan paraning dumadi-nya yang mana? Dari mana mau ke mana? Mana sumber dan tujuannya? Mana hulu dan hilirnya? Mana keseimbangan wa’tashimu bihablillahi yang pernah diajarkan Simbah itu?

Mbah, pegangan saya cuma tali itu. Tali yang Allah sedia-ulurkan untuk kemudian saya aktivasikan agar mampu merasakan dan membayangkan dengan imajinasi. Meski saya selalu bertanya-tanya sendiri, tali itu dari bumi tegak lurus ke langit atau dari langit terarah ke bumi? Saya ini aslinya penduduk langit yang sedang mengalami ujian turun ke bumi melalui tali itu atau penduduk langit yang sedang menghadapi persoalan di bumi agar jangan melupakan tali sejati yang senantiasa menghubungkan saya dengan Allah, mbah? Bukan soal tali itu dari bumi atau langit yang menjadi fokus saya kemudian, melainkan seperti yang telah Simbah katakan “berpeganglah pada tali Allah.” Ya, tali Allah yang terulur itulah yang saya pegang erat-erat, meski terkadang tangan-hati-batin saya tak sanggup menjangkaunya. Saya terus mencobanya, sebab saya sudah terperosok, terpental, terjebak, dan tak sanggup mengandalkan kekuatan tangan laiknya seorang pemanjat tebing. Tak ada kekuatan itu pada saya. Makanya saya butuh tali Allah itu, Mbah. Dan saya datang ke KC karena saya membutuhkan tali Allah. Tali keseimbangan dalam segala hal. Tali yang menjadi mizan untuk menjawab seluruh persoalan di dalam kehidupan. Tali yang selalu ingin saya peroleh. Dan kalau perlu biarlah tali itu yang mengikat saya supaya tidak jauh-jauh dari Allah, Mbah. Tali itu adalah perjuangan dari pelaksanaan “wa’tashimu“ terus menerus supaya kita dapat menemukan keseimbangan dalam skala maupun konteks kehidupan yang beragam kan, Mbah. Kemudian saya merasa bahwa tali yang selalu diajarkan itulah tali kemesraan yang menghubungkan konsep segitiga cinta: Allah, Muhammad, dan manusia. Ikat saya di tali itu, Mbah. Saya ingin bergabung ke dalam barisan-Mu, Ya Allah. Saya berharap KC kemudian hari tak memutuskan tali ikatan kasih sayang yang menyambungkan antara kemanusiaan dan kesejatian hidup, Mbah. Karena tanpa tali yang Allah ulurkan itu, besar kemungkinan kalau nanti saya mati, masak iya saya tak menghadap-Nya dan menemui kekasih-Nya, Mbah. Hanya karena selama hidup, juga pada kenyataannya, saya belum berpegang teguh pada tali Allah itu. Terus apa gunanya saya hidup, kalau tujuan akhir hidup saya bukan ketemu Allah, Mbah.

Sementara, tahu nggak Mbah, sebagian orang yang mengeluhkan keadaan KC sekarang menyadari bahwa seolah-olah kita hendak melupakan tali itu. Pelatihan KC sekarang seolah-olah tidak meneruskan apa yang sudah menjadi kurikulum Simbah dulu yaitu kita berlatih keras supaya menep, jernih, dan manusiawi di dalam kewajaran kemanusiaan. Sekarang kalau melalui KC, seakan-akan semua bisa dijangkau oleh ilmu dan pengetahuan, tak ada tempat buat iman turun tangan, bahkan untuk sekedar Ya Hafid, ihfadznaa penjagaan dari Allah pun—yang seharusnya itu kita mohonkan terus menerus untuk menghadapi keadaan tak menentu ini belum terulang lagi, Mbah. Kan sudah banyak wirid dan shalawat yang dihadiahkan Simbah, tapi kenapa sukar sekali untuk kita menabalkannya jadi doa di sela-sela diskusi KC berlangsung. Fast Charging itu yang saya perlukan dari KC, Mbah. Sekarang KC recharger-nya lama sekali, apa karena baterai iman saya sudah melemah dan bocor, Mbah?

KC kebanyakan orang pinter, Mbah, tetapi enggan menyelami pengertian bahwa semuanya bisa terhubung dalam konsep tauhid: menghubungkan apa pada apa, menghubungkan apa pada siapa, menghubungkan siapa pada siapa, menghubungkan siapa pada apa, dan di antara “pada” itulah Simbah menegaskan bahwa Allah berada pada denyut antara keduanya, sehingga keberadaan Allah menjadi begitu terasa kehadiran-Nya. KC tidak kekurangan ilmu pengetahuan, Mbah, tetapi sedang mengalami kering kerontang makna dan kemarau rohani yang panjang. KC, terutama juga saya, membutuhkan alat bantu dengar rohani, Mbah. Tidak ada yang mengajarkan rohani-religiusitas-historisitas Islam selain Simbah, semuanya berkutat pada ngalor-ngidul keilmuan modern. Dan di dalam perspektif keilmuan modern, Tuhan hanya merupakan sesuatu yang terpinggirkan, bahkan seringkali juga terlupakan. Allah tidak menjadi pokok pembicaraan suatu esai, melainkan cuma sebatas catatan kaki. Allah bukan subyek yang Maha Segala Sumber, tetapi cuma predikat yang sewaktu-waktu bisa diusung atau ditanggalkan. Allah begitu sukar dilibatkan dalam setiap keputusan maupun dipertimbangkan untuk menjawab segala macam persoalan, meskipun saya tahu yang bertahta di singgasana hatinya itu tetap Allah, Mbah. Dan saya menulis ini dengan hati yang robek, Mbah, karena telah merindukan seseorang sepertimu yang terus mengajak kita bercinta kepada Yang Maha Memberi Kehidupan. Barangkali karena memang Allah menganugerahi orang seperti Simbah untuk mengingatkan bahwa kita semua butuh berpegang pada talinya Allah, itupun kalau kita benar-benar mau ditolong oleh-Nya. Kalau tidak, biarlah kita usahakan pakai ilmu dan pengetahuan dulu, sedangkan Al-Qur’an dengan segala idiom dan metafor khasnya, plus seluruh iktibar perjalanan hidup Kanjeng Nabi Muhammad beserta historisisme Islamnya kita nantikan, kita rindukan saatnya untuk dibicarakan.

Tetapi, Mbah, ini semua bukan karena saya enggan atau tidak kuat menanggung penderitaan belajar, melainkan karena saya merasa kehilangan atau dihilangkan dari sumber segala sumber. Sebab, seluruh kekayaan ilmu yang dihadirkan oleh KC tidak didukung oleh perangkat sistem religiusitas yang mempertimbangkan informasi atau referensi dari Allah melalui agama dan tidak meng-upgrade Qur’an sesuai permintaan zaman. Hal inilah yang mungkin lupa di-update dari KC, Mbah. KC sekarang seperti terombang-ambing dalam kumparan persoalan demi persoalan, sehingga abai untuk melayani permintaan hati yang teraniaya ini karena ketika saya datang ke KC, syukur-syukur yang teringat hanya Allah, yang lain saya lupakan untuk sementara waktu. Hanya Allah yang ingin terus saya penuhi dalam diri saya ketika datang ke KC, karena seluruh ilmu pengetahuan kan berasal dari-Nya, Mbah. Yang penting itu “imunitas” jiwa saya bertambah dan badan saya dikuatkan untuk menyerap apapun yang Allah hamparkan sebagai rezeki, ujian, musibah, cobaan maupun tantangan. Perkara ilmu tergantung bagaimana gembiranya hati kan, Mbah, sebab kalau kita gembira, ilmu akan lebih mudah terserap dan tercerna. Nah, rasa-rasanya KC membutuhkan kegembiraan hidup yang wajar dan mengena di hati setiap orang sebelum mewedarkan ilmu, Mbah. Berbeda halnya kalau ada Simbah, kan ada humornya, ada seriusnya, ada heningnya, ada menepnya, dan semuanya itu hadir dalam satu paket saja. Kalaupun ada bahasan pengetahuan bermacam-macam, cuma Simbah master chef yang handal memasak segala olahan pikiran orang banyak menjadi kesadaran ilmu kelakone kanthi laku. Seolah-olah apa yang kusut menjadi terurai, apa yang sukar dipahami menjadi dimengerti, apa yang langit menjadi membumi, apa yang batu menjadi cair, apa yang tak tersambung menjadi berpola, dan apa yang bertabrakan menjadi sinkron. Simbah memang ajaib. Tahu momen kapan harus serius, kapan harus guyon, kapan harus menghayati, dan kapan harus menangis sejadi-jadinya. Orang bisa diajak tertawa sekaligus merenung, begitupun sebaliknya. Allah, Kanjeng Nabi Muhammad, dan segala penemuan-penemuan pikiran mutakhir manusia bisa ketemu satu sama lain dan saling terkoneksi. Simbah ke mana-mana selalu membawa Al-Qur’an paling mutakhir dan Islam paling kontemporer. Simbah pulalah yang membuat forum KC menjadi medium pembebasan bagi setiap orang untuk berekspresi, menyatakan diri, dan berdaulat. Selain sebagai kebutuhan untuk mendekatkan diri bagi setiap orang yang merasa jauh dari Allah. Simbah juga pernah menuliskan bahwa “kita ini bergenap-genap, bermiliar-miliar manusia hidup bersama, berjuang untuk menyatu dengan Maha Sangkan Kehidupan. Ketika penyatuan itu terjadi, yang berlangsung bukan bersama lagi, bahkan bukan menyatu lagi, melainkan Satu. Kalau bersama harus tidak satu. Kalau menyatu berarti belum satu. Tapi kalau Satu, sudah sirna kebersamaan, sudah tiada kegenapan, tinggal ahad” (Tauhid, Wahid, Ahad, Daur II).

Tugas Maiyah ialah mendiskusikan segala hal yang menjadi permasalahan kita untuk menemukan solusi bersama dalam setiap gelaran KC maupun sinau bareng lainnya kan, Mbah. Cuma yang menjadi aksentuasi di sini tidak melulu belajar bersama, melainkan juga berwirid, bershalawat, dan sungguh mantap kepada Allah, dan juga menyadari keterbatasan plus segala kelemahan diri agar senantiasa bersandar kepada Allah. Karena di tengah segala kemungkinan, yang pasti jawabannya hanya Allah. Kita semua cuma makhluk kemungkinan. Dan di dalam kemungkinan itu, kita semua memiliki peluang atau potensi kemungkinan untuk benar maupun salah. Barangkali, satu-satunya “kepastian” yang terus kita lakukan ialah bagaimana kita menjadi pribadi yang bermanfaat seluas-luasnya, baik itu dengan mengerjakan kebaikan, kebijaksanaan dan keindahan yang senantiasa berpegang pada talinya Allah. Allah-lah yang menjadi alasan dari segala kenikmatan kita dalam berbuat baik. Sama Allah kudu online terus kan, Mbah.

Tetapi fenomena KC selepas Simbah, membuat saya teringat lagi pada pasase dialog dalam drama “Mlungsungi”, “…Sekarang manusia merasa menang melawan apa saja. Manusia saking merasa menang sendiri sampai Tuhan diusir dari kesadaran dirinya. Bahkan, pada era sekarang ini ideologi yang berlangsung adalah merebut Tuhan dari kesadaran manusia. Menyingkirkan manusia dari kesadaran bertuhan.” Aimak! Hal demikian seia-sekata dengan “siapa yang melupakan Tuhan, akan dilupakan segala-galanya” ini ialah yang saya hayati dan akan terus saya perbarui pemaknaannya, Mbah. Disadari atau tidak, kita sedang membuang jauh Tuhan dari kesadaran diri. Karena di dalam perkembangan ilmu humanisme, kemanusiaan adalah puncak tertingginya. Di atas puncak itu, seolah tidak ada apa-apa lagi, Tuhan pun tiada. Begitupun kalau dalam perspektif keilmuan modern, lanjut Simbah, “ilmu-ilmu modern mengalami alienasi. Sebab, sejak semula memang melakukan suatu proses elitisasi, proses untuk menjadi asing, untuk mengasingkan diri. Sehingga ilmu-ilmu modern sangat tidak tanggap terhadap berbagai macam gejala yang sesungguhnya realistis.” Tampaknya, kita masih terjangkiti sekularistik, Mbah: agama tidak boleh berpacaran dengan akademis, kebenaran tidak boleh balikan dengan kebaikan dan keindahan, dunia sebagai syariat tidak boleh dijodohkan dengan akhirat sebagai hakikat maupun makrifat, dan inilah yang terjadi kalau seandainya ketetapan Allah untuk berpasang-pasangan tidak kita maknai sebagai upaya untuk mengawinkan kehidupan sosial-politik-budaya-ekonomi-agama dan seterusnya.

Syukurlah semenjak ada dirimu, Mbah. Setidak-tidaknya saya berusaha dan berproses mengalami kesadaran religiusitas yang mungkin punggungnya kini mulai dijauhi atau kian menjauh. Saya ingin mendekat. Lebih dekat lagi sambil belajar memahami apa arti pacaran yang sejati dan sesungguhnya itu. Aduhai, ternyata makin bertambah menjadi-jadi pula rasa syukur saya kepada Allah karena telah dipertemukan denganmu, Mbah, seorang penghulu yang dengan kerelaan hatinya, kesediaan waktunya, keikhlasannya dalam melayani siapa saja untuk mengawinkan-memperjodohkan segala hal yang berlangsung di dalam kehidupan. Allah sendiri yang mengungkapkan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Dan kalau model pacarannya begini, sejak awal mungkin saya tak mau mengenal kata putus, Mbah. Saya mau balikan, deh. Balikan dengan “Ilmu Berwadah Kesucian” seperti yang telah Simbah tuliskan, “adapun kita yang orang biasa dan awam, merespons itu semua secara bersahaja juga. Yang penting langkah kita sebagai manusia kita upayakan semaksimal mungkin lebih mendekat menuju Allah dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya. Bagaimana menjalani hidup yang lebih baik, lebih benar, lebih indah, lebih tepat, lebih bijaksana, syukur mendekat ke kesucian, supaya bisa membangun frekuensi jiwa yang berjodoh dengan ilmu, hidayah dan tuntunan Allah. Semoga meskipun kadarnya tidak tinggi, tapi pencapaian kesucian kita membuat jiwa kita diperkenankan untuk menjadi wadah ilmu dari Allah.”

Salam padamu, man of all seasons-ku, penghulu hidupku, Mbah. Saya tulis surat ini sebagai kado untuk ulang tahunmu ke 72 tahun, 27 Mei. Sebuah angka yang istimewa, ajaib, ulang-alik, dan berjodoh untuk dikawinkan. Tapi saya tidak tahu harus merayakan seperti apa perkawinan angka ini, kangen saya belum juga terobati, tapi hati saya gembira karena telah menulis ini. Seluruh hal yang ingin saya tuliskan sebenarnya bisa sangat sesederhana mengucapkan: aku cinta padamu. I love you full, Mbah.

24 Mei 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos