Jika bukan karena Indonesia, barangkali kita tidak akan pernah merasakan sakit yang sama. Marah yang sama. Kepedihan yang sama. Dan hal-hal lain yang memang kita sama-sama merasakannya. Jika tidak tinggal di Indonesia, barangkali kita tidak akan pernah mengerti dan memahami cinta yang marah. Cinta yang sakit. Cinta yang pedih. Sehingga dalam suka-dukanya peristiwa manusia yang begitu banyak itu kini menjadi berarti dan bermakna. Jika bukan Indonesia, barangkali kita tidak akan mengalami banyak hal yang membuat kita tangguh dan gagah. Begitulah Indonesia, bisa melemahkan, sekaligus menguatkan dirimu.
Indonesia adalah antologi tumbuh berisi kumpulan masalah-masalah yang setiap hari terus di-upgrade dan diperbarui. Masalahlah yang membuat diri kerasan-tangguh-tahan sebagai pembelajar kehidupan. Kita belajar menjawab berbagai persoalan itu atau bahkan sanggup mengatasi masalah-masalahnya. Tapi kalau tidak bisa, itu-pun tak mengapalah. Karena yang penting kita tidak menambah atau menciptakan masalah-masalah baru.
Pada sekarang, bagi sebagian orang, memang memungkinkan “kabur aja dulu”. Konon, kabur ialah bentuk kekecewaan anak muda terhadap kondisi Negara. Ia juga mengindikasikan bahwa rakyat Indonesia sudah capek dengan masalah yang ada saat ini. Kabur karena tidak puas dengan kondisi Negara. Kabur karena kekecewaan terhadap berbagai masalah sosial di Indonesia. Kabur demi kehidupan yang lebih baik di luar Negeri.
Kabur aja dulu bagaikan suara yang datang dari ekonomi dan finansial yang utuh, kalau boleh disebut mapan. Dan sejujurnya saya tidak tahu apa artinya suara kabur aja dulu. Suaramu tak mungkin bisa diucapkan oleh bibirku yang mengandalkan hidup sepenuh-penuhnya pada ekonomi bergerak: ora obah ora mamah. Alias bergantung pada ekonomi keseharian dan tak menentu ini. Suara kabur aja dulu tidak relevan dalam telinga saya. Suaramu tak bisa menggantikan suara yang datang dari romannya orang miskin kagak dikasih senang pisan, disuruh susah melulu. Suaramu mungkin tak mampu menyaingi kerasnya suara jangan ganggu kemiskinan kami. Suaramu tak lebih punk kedengarannya ketimbang suara arus bawah yang selalu membersamai hidupku.
Itulah mengapa saya menantikan, saya rindukan penyambung lidah suara yang keluar dari kerewelan Ibu kita semua terhadap aturan yang tak kunjung menjawab kebutuhan orang banyak. Suara orang tua kita yang hari ini kena PHK karena imbas efisiensi anggaran untuk menunjang program-program pemerintah. Suara yang kapan saja kalau kita kritik habis-habisan dan mengucapkan suatu kebenaran, maka bersiaplah menanggung konsekuensinya. Suara yang kedengarannya sumbang di Negara yang seolah-olah ingin selalu terpandang baik dan merdu. Suara yang selalu disalah-gunakan dan disalah-artikan ketika mereka telah jadi penguasa. Tetapi suara kita masih sama, masih akan merasakan sakit yang sama.
Seperti suara karyawan yang terpaksa gajinya dipotong untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tak lain sebagai modus Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi pemerintah, yang alasannya untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat memiliki rumah dengan cicilan ringan. Punya rumah sendiri atau mengontrak itu merupakan pilihan hidup dan kedaulatan tiap pribadi. Ada orang yang memang rezekinya mampu punya rumah sendiri, tapi jangan lupa ada orang yang memang seumur hidupnya hanya bisa mengontrak. Karena tak pernah terbayangkan bila kerja sudah lebih keras atau bahkan sangat keras hanya untuk hidup miskin di rumah yang baru akan lunas menjelang kita mati?
Saya menemukan seorang kawan yang rela membeli gelisah (dengan cicilan KPR) selama 15 tahun. Entahlah apa yang membuat ia berani mengambil lebih banyak beban pikiran dengan membeli tekanan yang nyata selama belasan, bahkan puluhan tahun. Baru beberapa bulan saja fokus hidupnya dipenuhi oleh KPR. Tak ada apa-apa di luar KPR. Segalanya cuma untuk dan demi urusan KPR. Mungkin ia lupa bahwa masih ada Tuhan yang membersamainya dan telah menganugerahi kebebasan agar kita menerimanya dengan penuh rasa syukur, tapi kita iseng dan coba-coba membuat penjara pada diri sendiri. Memang dalam hidup harus berani ambil keputusan apapun resikonya, kan? Dan ia berani mengambil tanggung-jawab yang sangat lebih besar daripada saya, itu berarti suatu kemuliaan hidup dan insyallah Allah tinggikan derajatnya. Syukur-syukur menguatkan dirinya dalam segala urusan.
Seperti kata Rendra, kita menyandang tugas karena tugas adalah tugas, bukan demi sorga atau neraka, tetapi demi kehormatan manusia. Ini lapangan kita, maka di sinilah kita bermain. Ini perjuangan bersama, maka di sinilah kita mengemban tugas nasional di wilayah masing-masing.
Kalau mendayagunakan wejangan Mbah Nun, yang terpenting ialah “Anda jangan terbebani oleh sesuatu yang tidak seharusnya membebani Anda. Makanya saya mengatakan tadi Anda tidak wajib, itu hanya sunnah, dan Anda jangan terbebani. Jangan semua hal Anda masukan ke otak Anda, nanti jebol otakmu. Jangan semua hal Anda masukan ke hati Anda. Anda harus mulai kreatif dan berdaulat untuk menemukan kegembiraan hidupmu. Bahkan dalam kesedihan itu ada kegembiraan, jangan khawatir. Di dalam frustasi itu ada kandungan ilmu, kegembiraan dan barokah. Karena Rabbana Ma Khalaqta Hadza Bathila rumusnya dari Allah.”
Tidak mungkin Allah menciptakan semua ini dengan sia-sia, atau dengan kata lain, tak ada sesuatu apapun ciptaan Allah di muka bumi ini yang sia-sia. Sehingga adanya suara kabur aja dulu itu mungkin karena ia tidak bisa menemukan segala sesuatu yang tidak sia-sia. Tidak menemukan suara orang yang sudah kena PHK, ditindih oleh cicilin bertumpuk-tumpuk pula. Tidak menemukan kegembiraan pada setiap detail kecil penderitaan. Tidak menemukan bahwa menghubungkan apa-apa dengan siapa-siapa yang saling berkelindan ini adalah suatu upaya tauhid itu sendiri.
Memang luar biasa pemerintahan kita ini di luar batas culasnya, mereka menggiring kita ke dalam pertempuran yang bias. Pemahaman yang saling menyalahkan. Pengertian yang saling menandingi satu sama lain. Seolah-olah kita sedang adu pendapat tentang hal yang semestinya bukan untuk kita perdebatkan. Kita membuat hal-hal remeh menjadi seakan-akan tampak besar. Sementara, Mbah Nun sudah mewanti-wanti, caranya mereka maling bukan lagi mengambil duit, tetapi mengubah aturan. Jadi itu namanya penjajahan regulasi dan kita mengalaminya sekarang.
Gelap. Memang gelap. Lagipula kita telah menjadi “bangsat” (kutu busuk) yang hanya bisa hidup dalam kegelapan. Mereka menghisap ketika kita tidur. Mereka terus menghisap ketika kita tak sadarkan diri. Mereka makin menghisap ketika banyak orang memilih kabur aja dulu. Mereka akan senantiasa leluasa menghisap kalau kita melupakan hal-hal yang sewajarnya menjadi tuntutan dan aspirasi kebutuhan orang banyak.
Dan di tengah sebagian orang siap kabur aja dulu demi dirinya sendiri, mengapa kita siap menderita, bahkan mati demi bangsanya, atau demi temuan imajinasinya sendiri pula? Atas nama pemaknaan hidup dan kegembiraan hidup yang manusiawikah? Padahal, revolusi dan nasionalisme terlalu mudah kita lupa bahwa sosok kembar ini, sama halnya kapitalisme dan marxisme adalah hasil ciptaan yang hak patennya mustahil disimpan, kata Benedict Anderson.
Maka, kalau sebagian orang kabur aja dulu, lantas siapa yang akan memberikan maintenance bagi pemerintahan sekarang? Siapa yang seharusnya meng-upgrade sistem pemerintahan saat ini? Tidak penting jawabannya apa, melainkan yang utama dan terutama ialah bagaimana caranya kita memberikan kesaksian suara arus bawah. Bagaimana caranya kita merawat ingatan melawan lupa. Bagaimana caranya melawan segala bentuk penjajahan regulasi tersebut. Bagaimana caranya menjawab tantangan sosial dan kegaduhan politik. Bagaimana caranya, eh, kenapa pada kabur!
12-13 Februari 2025